JAKARTA – PT Garuda Indonesia (Persero) Tbk kembali menjadi sorotan publik setelah diketahui menghentikan operasional sebanyak 15 unit pesawatnya. Langkah ini memunculkan berbagai spekulasi mengenai keberlanjutan operasional maskapai nasional tersebut di tengah tekanan finansial yang masih membayangi.
Informasi penghentian operasional ini dikonfirmasi oleh pihak Kementerian Perhubungan (Kemenhub). Direktur Angkutan Udara Kemenhub, Agustinus Budi Hartono, memastikan bahwa meski 15 pesawat dihentikan pengoperasiannya, layanan penerbangan komersial berjadwal Garuda Indonesia tetap berjalan seperti biasa tanpa gangguan signifikan. “Seluruh penerbangan komersial berjadwal Garuda Indonesia masih tetap beroperasi secara normal. Tidak ada kerugian komersial,” ujar Agustinus.
Kementerian BUMN Akan Telusuri
Sementara itu, Menteri Badan Usaha Milik Negara (BUMN) Erick Thohir menyatakan bahwa dirinya belum mendapatkan informasi resmi dari manajemen Garuda Indonesia mengenai alasan penghentian operasional 15 pesawat tersebut. Ia mengaku akan segera melakukan koordinasi dengan jajaran direksi maskapai pelat merah itu. “Saya belum tahu. Nanti akan saya tanyakan ke Pak Dirut (Garuda),” kata Erick kepada awak media saat ditemui di Jakarta.
Pernyataan Erick Thohir menunjukkan adanya perhatian serius dari pemerintah terhadap kondisi perusahaan pelat merah itu, terlebih Garuda Indonesia masih berupaya untuk memperbaiki kinerja dan memperkuat posisi keuangannya pasca restrukturisasi utang beberapa tahun terakhir.
Laporan Keuangan Masih Merah
Langkah penghentian operasional pesawat ini muncul tidak lama setelah Garuda Indonesia merilis laporan keuangan kuartal I 2025 yang menunjukkan kerugian. Maskapai mencatat rugi bersih sebesar USD 76,48 juta atau setara Rp1,26 triliun pada periode Januari hingga Maret 2025.
Meskipun demikian, angka ini sebenarnya menunjukkan perbaikan jika dibandingkan dengan periode yang sama tahun lalu. Pada kuartal I 2024, Garuda mencatat kerugian sebesar USD 87,03 juta atau sekitar Rp1,44 triliun. Artinya, terjadi penurunan rugi sebesar USD 10,55 juta atau sekitar Rp180 miliar secara tahunan (year on year/yoy).
Namun di sisi lain, beban usaha Garuda Indonesia justru mengalami kenaikan. Dalam laporan yang sama, tercatat beban usaha meningkat sebesar 2,19 persen (yoy), dari sebelumnya USD 703,97 juta menjadi USD 718,35 juta. Kenaikan ini disebabkan oleh lonjakan biaya operasional yang tidak sebanding dengan pendapatan yang berhasil dihimpun perusahaan.
Kemungkinan Efisiensi Armada
Meskipun belum ada keterangan resmi dari pihak manajemen Garuda Indonesia, penghentian operasional 15 pesawat ini diduga merupakan bagian dari strategi efisiensi armada. Sejak pandemi COVID-19, maskapai ini telah melakukan berbagai langkah untuk mengurangi beban keuangan, termasuk renegosiasi kontrak leasing, pengurangan rute penerbangan, hingga pengurangan jumlah pesawat yang aktif terbang.
Praktik seperti ini bukanlah hal baru dalam dunia penerbangan. Banyak maskapai global melakukan hal serupa sebagai bagian dari strategi efisiensi dan pengendalian biaya. Namun dalam konteks Garuda Indonesia, langkah ini menjadi sorotan mengingat statusnya sebagai maskapai nasional yang membawa nama negara di ranah penerbangan internasional.
Performa Bisnis Masih Tertekan
Sejumlah analis menilai, tekanan terhadap performa bisnis Garuda Indonesia masih cukup berat. Selain beban utang yang masih besar, persaingan dengan maskapai lain, fluktuasi harga avtur, serta nilai tukar rupiah yang tidak stabil turut menekan margin keuntungan Garuda.
“Garuda Indonesia harus benar-benar bisa menjaga keseimbangan antara operasional dan keuangan. Meskipun rugi berkurang, namun beban biaya masih tinggi dan pendapatan belum cukup optimal,” ujar seorang analis pasar modal yang tidak ingin disebutkan namanya.
Langkah efisiensi, seperti pengurangan armada yang aktif beroperasi, bisa jadi merupakan upaya taktis untuk menekan biaya, namun di sisi lain, dapat berdampak terhadap kapasitas layanan dan potensi pendapatan bila tidak dibarengi dengan optimalisasi rute dan frekuensi penerbangan.
Butuh Kepastian dan Transparansi
Hingga kini, pihak Garuda Indonesia belum mengeluarkan pernyataan resmi mengenai alasan spesifik dihentikannya operasional 15 pesawat tersebut. Publik dan para pemangku kepentingan berharap agar perusahaan segera memberikan klarifikasi resmi untuk menghindari spekulasi yang dapat merugikan citra perusahaan.
Transparansi menjadi penting, apalagi Garuda Indonesia merupakan perusahaan terbuka yang sahamnya diperdagangkan di Bursa Efek Indonesia (BEI) dan masih mendapatkan perhatian luas dari masyarakat sebagai simbol penerbangan nasional.
Pemerintah melalui Kementerian BUMN dan Kemenhub pun diharapkan dapat terus memantau perkembangan ini dan memastikan bahwa layanan publik tetap terjaga.
Masa Depan Garuda Indonesia
Ke depan, keberhasilan Garuda Indonesia untuk kembali ke jalur keuntungan akan sangat tergantung pada kemampuannya mengelola biaya operasional, menyesuaikan kapasitas armada dengan permintaan pasar, serta meningkatkan pendapatan dari lini bisnis utama dan pendukung.
Selain itu, faktor eksternal seperti kestabilan harga bahan bakar, kondisi makroekonomi, serta pemulihan sektor pariwisata juga akan turut menentukan kinerja perusahaan ke depan.
Sebagai maskapai milik negara, Garuda Indonesia masih memegang peranan strategis dalam mendukung konektivitas udara nasional. Maka dari itu, langkah-langkah yang diambil ke depan harus memperhitungkan kepentingan bisnis dan publik secara seimbang.