JAKARTA - Mantan Menteri Perdagangan, Thomas Trikasih Lembong atau Tom Lembong, menyampaikan pembelaan diri dalam kasus dugaan korupsi importasi gula. Dalam nota pembelaan (pleidoi) yang dibacakannya di Pengadilan Tipikor Jakarta Pusat, ia mengungkap sejumlah hal yang memantik perhatian publik, salah satunya adalah dugaan bahwa kasus hukum yang menjeratnya tak lepas dari latar belakang politik.
Tom Lembong saat ini tengah menjalani proses hukum setelah jaksa penuntut umum menuduhnya melakukan perbuatan melawan hukum dengan menerbitkan 21 surat persetujuan impor gula yang disebut merugikan negara hingga Rp 578 miliar. Ia dituntut 7 tahun penjara dan denda Rp 750 juta subsidair enam bulan kurungan.
Namun, dalam pleidoinya, Tom mengisyaratkan bahwa proses hukum yang dihadapinya berkaitan erat dengan pilihannya bergabung dalam Tim Kampanye Nasional pasangan Anies Baswedan dan Muhaimin Iskandar pada Pemilu.
Menyebut Sinyal Ancaman karena Dukung Anies Baswedan
Salah satu poin yang paling mengundang sorotan dalam pleidoi Tom Lembong adalah pengakuannya mengenai adanya sinyal ancaman dari kekuasaan karena ia memilih berseberangan secara politik. Ia menilai penerbitan Surat Perintah Penyidikan (Sprindik) dalam kasus importasi gula bukanlah kebetulan, melainkan bentuk peringatan dari pihak yang berkuasa.
“Timing atau waktu dari penerbitan Sprindik ini bukan sesuatu yang kebetulan. Sinyal dari Penguasa sangat jelas: saya bergabung ke oposisi, maka saya terancam dipidana,” ujar Tom dalam sidang.
Menurutnya, para elite politik telah mengetahui bahwa ia berusaha mendukung Anies Baswedan sebagai calon presiden. Ketika Kejaksaan Agung RI mengeluarkan Sprindik, ia menilai hal itu sebagai langkah awal tekanan terhadap dirinya.
“Meskipun demikian, saya resmi bergabung dengan Tim Kampanye Nasional sebuah pasangan Capres-Cawapres yang berseberangan dengan Penguasa,” jelas Tom lebih lanjut.
Yang membuat pernyataan Tom semakin menarik adalah ketika ia mengungkap bahwa penahanannya terjadi hanya dua pekan setelah presiden dan wakil presiden baru dilantik. Ia menilai peristiwa ini sebagai bukti bahwa sinyal ancaman tersebut menjadi nyata.
Menyoroti Ketidakteraturan Penegakan Hukum
Dalam bagian lain dari pleidoinya, Tom Lembong juga menyinggung ketidakteraturan dalam penegakan hukum yang ia alami. Ia menggambarkan bagaimana proses hukum terhadap dirinya dipenuhi dengan banyak kejanggalan, dan mengindikasikan adanya campur tangan pihak tertentu dalam upaya memidanakannya.
“Banyak pihak yang bertanya-tanya: kenapa kasus ini baru dibuka sekarang? Kenapa setelah saya mendukung calon dari kubu oposisi?” ucap Tom.
Ia juga menyinggung bahwa proses hukum ini tak ubahnya bentuk kriminalisasi terhadap individu yang berpandangan politik berbeda dengan penguasa saat ini. Tom bahkan menyampaikan bahwa yang sedang ia hadapi bukan hanya masalah hukum, tapi juga persoalan kebebasan demokrasi.
“Saya bukan satu-satunya yang menjadi korban. Ketika hukum dijadikan alat politik, maka demokrasi akan kehilangan maknanya,” ujar dia.
Dukungan dari Tokoh Nasional
Dalam situasi yang dihadapinya, Tom Lembong mengaku mendapat banyak dukungan dari berbagai tokoh nasional. Salah satunya adalah dari Anies Baswedan sendiri. Selain Anies, dukungan juga datang dari Komjen Purn Oegroseno serta berbagai kalangan masyarakat.
Hal ini disampaikan Tom dengan nada haru, mengingat tidak semua orang berani bersuara ketika dirinya tengah menghadapi tekanan berat.
Meski begitu, ia menyatakan bahwa dukungan tersebut menjadi sumber semangat baginya untuk menghadapi proses hukum dengan kepala tegak. Ia tetap berharap majelis hakim dapat melihat duduk perkara secara objektif dan tidak terpengaruh oleh nuansa politik yang menyelimuti kasusnya.
Tuntutan Jaksa dan Harapan Tom
Sebagaimana diketahui, jaksa dalam persidangan menuntut agar Tom Lembong dijatuhi hukuman 7 tahun penjara dan denda Rp 750 juta subsidair 6 bulan kurungan. Jaksa menilai, Tom telah memperkaya sejumlah pengusaha gula swasta dengan menerbitkan 21 persetujuan impor yang dianggap merugikan negara.
Namun, dalam pembelaannya, Tom tetap meyakinkan bahwa tindakannya sebagai pejabat publik saat itu berdasarkan pada regulasi yang berlaku dan tidak ada unsur memperkaya diri sendiri maupun orang lain secara melawan hukum.
Ia berharap pleidoinya mampu memberi sudut pandang yang lebih menyeluruh bagi majelis hakim untuk mempertimbangkan keputusan yang akan diambil dalam putusan nantinya.
“Semoga hukum tetap menjadi cahaya bagi kebenaran, bukan alat untuk membungkam suara,” pungkasnya.
Dengan pleidoi yang menyinggung keterlibatan politik dan dugaan kriminalisasi terhadap oposisi, kasus Tom Lembong bukan hanya menjadi perdebatan hukum, melainkan juga polemik politik. Pernyataannya yang menyebut dukungannya terhadap Anies Baswedan sebagai pemicu penindakan hukum membuka diskusi luas soal integritas penegakan hukum dan netralitas lembaga negara. Bagaimanapun hasil akhir dari proses ini, publik akan menaruh perhatian besar terhadap setiap langkah yang diambil aparat hukum dalam menangani kasus ini.