JAKARTA - Stabilnya harga minyak mentah dunia mencerminkan dinamika yang kompleks antara permintaan energi, kebijakan perdagangan, dan gejolak geopolitik. Di tengah kekhawatiran atas dampak kebijakan tarif AS dan ketegangan di kawasan Laut Merah, pasar minyak menunjukkan ketahanan.
Minyak mentah Brent ditutup naik tipis sebesar 4 sen atau sekitar 0,06% menjadi US$ 70,19 per barel. Sementara itu, minyak mentah West Texas Intermediate (WTI) Amerika Serikat naik 5 sen atau 0,07% menjadi US$ 68,38 per barel.
Pergerakan tipis ini mengindikasikan bahwa para pelaku pasar sedang mencerna berbagai faktor penting yang membentuk arah pasar energi global. Salah satu faktor utama adalah laporan terbaru dari Badan Informasi Energi (EIA) AS yang memperlihatkan bahwa meskipun persediaan minyak mentah meningkat, permintaan bensin di negara itu juga melonjak.
Menurut EIA, stok minyak mentah Amerika Serikat naik 7,1 juta barel, menembus angka 426 juta barel. Namun, persediaan bensin dan sulingan justru mengalami penurunan dalam periode yang sama. Permintaan bensin sendiri melonjak signifikan sebesar 6%, mencapai 9,2 juta barel per hari pada pekan lalu.
Lonjakan konsumsi bahan bakar di AS ini memberikan sinyal bahwa aktivitas ekonomi, khususnya sektor transportasi dan industri, masih cukup aktif. Hal ini sekaligus menepis kekhawatiran akan perlambatan drastis permintaan energi yang sempat muncul akibat prospek perlambatan ekonomi global.
"Permintaan tampaknya solid dan tidak melambat," ujar Phil Flynn, analis senior dari Price Futures Group.
Sentimen positif juga datang dari proyeksi produksi minyak AS ke depan. Dalam laporan terbarunya, EIA memperkirakan bahwa produksi minyak di Amerika Serikat pada 2025 akan lebih rendah dibandingkan sebelumnya. Penurunan harga minyak global telah mendorong banyak produsen untuk mengurangi aktivitas pengeboran dan eksplorasi baru.
Pengurangan produksi ini menciptakan keseimbangan terhadap kenaikan stok minyak mentah, sekaligus menjaga harga agar tidak jatuh lebih dalam. Pasar pun melihat bahwa penurunan pasokan dalam jangka menengah bisa membantu menopang harga.
Namun, pasar minyak juga dibayangi oleh ketegangan kebijakan perdagangan, khususnya setelah Presiden AS Donald Trump mengumumkan rencana tarif baru sebesar 50% terhadap impor tembaga. Tembaga merupakan komoditas penting dalam industri kendaraan listrik, infrastruktur jaringan listrik, perangkat keras militer, serta barang konsumsi lainnya.
Kebijakan tarif tersebut dinilai dapat memberikan tekanan tambahan pada sektor industri dan menghambat pemulihan ekonomi. Dalam pengumumannya, Presiden Trump menyatakan bahwa tarif akan diberlakukan namun pelaksanaannya ditunda hingga 1 Agustus. Penundaan ini menimbulkan harapan di kalangan mitra dagang utama AS bahwa kesepakatan untuk melonggarkan kebijakan bea masuk masih mungkin tercapai.
Kendati demikian, ketidakpastian masih tinggi. Kabar ini membuat pelaku pasar bersikap hati-hati dalam mengambil posisi, terutama karena potensi dampaknya terhadap permintaan global akan komoditas energi seperti minyak.
Selain faktor ekonomi dan kebijakan, faktor geopolitik juga turut mempengaruhi stabilitas harga minyak. Salah satu isu yang kembali mengemuka adalah serangan terhadap jalur pelayaran strategis di Laut Merah. Dalam sepekan terakhir, serangan terbaru menyebabkan tenggelamnya sebuah kapal kargo.
Tim penyelamat dilaporkan berhasil mengevakuasi enam orang awak dari kapal tersebut. Namun, sebanyak 15 orang lainnya masih dinyatakan hilang. Serangan ini diklaim oleh kelompok milisi Houthi di Yaman yang memiliki hubungan erat dengan Iran.
Insiden ini menegaskan kembali betapa rentannya pasokan energi global terhadap ketegangan regional. Jalur pelayaran di Laut Merah merupakan salah satu rute penting pengiriman minyak dan gas, serta barang-barang perdagangan internasional lainnya. Gangguan di jalur ini bisa berdampak pada distribusi minyak dunia dan berpotensi menyebabkan lonjakan harga jika situasi memburuk.
Gabungan antara meningkatnya permintaan bensin, ekspektasi penurunan produksi minyak di AS, serta risiko geopolitik, menciptakan kondisi di mana harga minyak tetap stabil meski tekanan dari sisi ekonomi cukup kuat.
Pasar saat ini berada dalam posisi menunggu perkembangan lebih lanjut, baik dari sisi kebijakan perdagangan AS maupun kondisi keamanan di kawasan Timur Tengah. Di sisi lain, optimisme masih terjaga karena permintaan energi belum menunjukkan tanda-tanda melemah secara drastis.
Dengan kondisi yang fluktuatif ini, para analis dan pelaku pasar terus memantau laporan mingguan dari EIA dan dinamika kebijakan di Gedung Putih sebagai indikator utama arah harga minyak dalam jangka pendek hingga menengah.
Stabilnya harga minyak mentah saat ini mencerminkan respons hati-hati pasar terhadap sinyal yang beragam—antara kekuatan permintaan dan bayang-bayang kebijakan proteksionis serta konflik regional. Dalam jangka pendek, keseimbangan antara pasokan, permintaan, dan geopolitik akan terus menjadi penentu utama bagi harga energi global.