Olahraga Jadi Sorotan karena Pajak

Minggu, 13 Juli 2025 | 13:00:38 WIB
Olahraga Jadi Sorotan karena Pajak

JAKARTA - Kebijakan fiskal terbaru di sektor olahraga tengah menjadi sorotan, menyusul langkah Pemerintah Provinsi DKI Jakarta menerapkan pajak sebesar 10 persen atas 21 jenis fasilitas dan aktivitas olahraga. Kebijakan ini masuk dalam kategori Pajak Barang dan Jasa Tertentu (PBJT) untuk jasa hiburan, sebagaimana diatur melalui Keputusan Kepala Bapenda DKI Jakarta No. 257 Tahun 2025.

Objek pajaknya cukup beragam, mulai dari sewa lapangan tenis, futsal, basket, voli, hingga aktivitas pusat kebugaran seperti yoga, pilates, dan zumba. Aktivitas rekreasional lainnya seperti panjat tebing, berkuda, ice skating, hingga olahraga yang sedang populer seperti padel juga ikut terdampak. Bahkan pemesanan, tiket masuk, hingga paket layanan juga termasuk dalam pengenaan pajak ini.

Namun, di balik penerapannya, muncul sejumlah pandangan yang menginginkan agar kebijakan ini dikaji lebih mendalam. Beberapa pihak menganggap bahwa pendekatan terhadap aktivitas olahraga semestinya tidak disamakan dengan hiburan mewah.

UMKM dan Komunitas Olahraga Sampaikan Harapan

Himpunan Pengusaha Muda Indonesia Jakarta Raya (HIPMI Jaya) menyoroti pentingnya evaluasi terhadap kebijakan tersebut, khususnya menyangkut dampaknya terhadap pelaku usaha kecil dan menengah (UMKM) serta komunitas olahraga.

Menurut Ketua Umum HIPMI Jaya Ryan Haroen, semangat gaya hidup sehat dan pembangunan fasilitas olahraga justru bisa terhambat jika pendekatan pajaknya tidak mempertimbangkan konteks sosial dan ekonomi yang ada.

"Pengenaan pajak 10 persen sesungguhnya tidak masalah, asalkan ada timbal balik yang sepadan khususnya kepada pengusaha yang ingin membuat sarana olahraga. Misalnya kemudahan izin, kemudahan sarana pembiayaan, dan lain-lainnya," ujar Ryan Haroen.

Ia juga menyatakan bahwa pendekatan yang menyamakan fasilitas olahraga dengan hiburan berbiaya tinggi berpotensi kurang tepat.

"Terlepas dari apakah padel atau cabang olahraga lain banyak dimainkan oleh kalangan mampu atau tidak, kita harusnya melihat pada tujuan aktivitas ini sebagai sarana kesehatan bukan semata dari sisi hiburan," tambahnya.

Harus Dibarengi Insentif dan Sosialisasi

Ketua Bidang Keuangan dan Perbankan HIPMI Jaya, Edlin Prabawa, menambahkan bahwa penerapan pajak semacam ini memerlukan pendekatan yang terstruktur, dengan dukungan data serta komunikasi publik yang menyeluruh.

Menurutnya, kajian terkait ekspektasi pendapatan yang ingin dicapai dari kebijakan ini perlu dilakukan secara transparan. Sebab jika tidak, potensi efek kontraproduktif bisa muncul.

"Pemprov perlu memiliki kajian, seberapa besar ekspektasi tambahan pendapatan dari pengenaan pajak hiburan pada aktivitas olahraga ini. Juga, apakah akan menimbulkan efek kontraproduktif, termasuk klasifikasi yang memperhitungkan kontribusi sosial dan kesehatan dari komunitas olahraga, contohnya pada olahraga padel," tutur Edlin.

Dalam hal teknis pelaksanaan, Edlin menekankan pentingnya diferensiasi atau klasifikasi yang adil terhadap pelaku usaha berdasarkan skala bisnisnya. Dengan begitu, pelaku UMKM tidak merasa dirugikan.

Seruan untuk Pemerataan dan Keadilan Tarif

Salah satu aspek krusial yang ikut disuarakan HIPMI Jaya adalah absennya klasifikasi tarif berdasarkan skala usaha. Ketua Banom Tenis HIPMI Jaya, Asa Dahlan, menyatakan bahwa kondisi ini bisa berdampak negatif pada pelaku kecil.

"Harus ada klasifikasi yang jelas tentang besaran pajak yang dikenakan mengingat skala lapangan tenis dan badminton sangat bervariasi, ada yang dari UMKM sampai korporasi. Begitupun juga dengan konsumennya, ada juga yang middle low yang sangat price sensitif," jelasnya.

Ia menilai bahwa pembebanan tarif seragam kepada seluruh pelaku usaha bisa memicu penurunan jumlah partisipasi masyarakat dalam aktivitas olahraga, khususnya dari kelompok masyarakat menengah ke bawah.

Komitmen Kolaboratif untuk Solusi Terbaik

Menyikapi perkembangan ini, HIPMI Jaya menyatakan kesiapan untuk berdialog secara konstruktif dengan Pemerintah Provinsi DKI Jakarta. Pendekatan kolaboratif dinilai penting agar kebijakan perpajakan dapat seimbang antara peningkatan pendapatan daerah dan keberlanjutan sektor olahraga lokal.

Menurut Ryan Haroen, solusi yang menguntungkan semua pihak bisa ditempuh bila pemerintah terbuka terhadap masukan pelaku usaha dan komunitas.

"Dengan pendekatan yang tepat, penerapan pajak ini dapat mendukung pertumbuhan ekonomi lokal sekaligus tidak mematikan semangat hidup sehat di tengah masyarakat," pungkas Ryan.

Momentum Refleksi Fiskal dalam Dunia Olahraga

Dengan meningkatnya minat masyarakat terhadap aktivitas fisik dan olahraga, baik secara mandiri maupun dalam komunitas, kebijakan pajak ini menjadi momentum refleksi penting. Bagaimana pemerintah menempatkan olahraga dalam kerangka kebijakan fiskal akan mempengaruhi arah kebiasaan hidup masyarakat.

Jika pendekatannya terlalu membebani, dikhawatirkan akan menurunkan animo masyarakat, terutama dari kalangan ekonomi menengah ke bawah, untuk terlibat aktif dalam olahraga. Namun jika dilengkapi dengan insentif, sosialisasi, dan dukungan ekosistem usaha, maka kebijakan ini justru dapat memperkuat infrastruktur dan akses olahraga bagi semua lapisan masyarakat.

Melalui dialog terbuka antara pemerintah, pelaku usaha, dan komunitas olahraga, diharapkan kebijakan ini bisa menjadi titik tolak sinergi yang lebih baik demi mendukung pola hidup aktif dan sehat bagi warga Jakarta dan sekitarnya.

Terkini