Suara Baru untuk Masa Depan Dokter

Selasa, 15 Juli 2025 | 07:54:31 WIB
Suara Baru untuk Masa Depan Dokter

JAKARTA - Ketika publik terbiasa mendengar kisah sukses di balik jas putih para dokter, jarang ada yang membicarakan sisi lain perjuangan mereka yang masih muda dan sedang menjalani pendidikan dokter spesialis. Di tengah realitas tersebut, aktris dan aktivis pendidikan Cinta Laura hadir sebagai suara keberanian yang menyuarakan hal-hal yang kerap disembunyikan dari mata publik.

Cinta Laura bukan seorang dokter. Namun kepeduliannya terhadap kualitas pendidikan dan kemanusiaan membuatnya mengambil posisi tegas dalam isu penting ini. Melalui akun Instagram pribadinya, Cinta menyampaikan kritik tajam terhadap sistem pendidikan dokter spesialis di Indonesia, yang dinilainya tidak hanya keras secara akademik, tetapi juga menyimpan kekerasan struktural dan tekanan psikologis yang berat.

Pernyataannya itu langsung menarik perhatian publik. Ia menyebut bahwa di balik narasi "pengabdian" dan "profesi mulia", tersembunyi sistem senioritas yang kadang melampaui batas, tekanan ekstrem tanpa supervisi memadai, serta perlakuan yang jauh dari nilai-nilai kemanusiaan.

Kritik tersebut bukan muncul tanpa alasan. Isu ini telah mengemuka setelah beberapa kasus menyedihkan mencuat ke permukaan. Salah satunya adalah kisah dr. Aulia Risma Lestari, seorang dokter muda peserta Program Pendidikan Dokter Spesialis (PPDS) Anestesi Universitas Diponegoro, Semarang. Ia meninggal dunia dalam dugaan tindakan bunuh diri yang diduga dipicu oleh tekanan luar biasa dalam sistem pendidikan yang ia jalani.

Dikenal sebagai pribadi ceria dan penuh semangat, dr. Aulia justru menjadi simbol betapa kerasnya tekanan mental yang dialami oleh peserta PPDS. Diduga, beban kerja berlebihan dan kekerasan verbal dari senior turut menjadi pemicu dari tragedi ini.

Pendidikan spesialis sejatinya menjadi bagian penting dalam menghasilkan dokter-dokter profesional yang kompeten. Namun, apa jadinya bila proses tersebut justru memuat praktik-praktik yang melemahkan mental peserta didik?

Fakta-fakta dari lapangan menunjukkan bahwa sistem PPDS di Indonesia bukan hanya soal ujian dan praktik klinis, tetapi seringkali mencakup beban kerja tak manusiawi, minimnya dukungan emosional, dan kurangnya bimbingan yang memadai. Para peserta residensi banyak yang mengaku bekerja lebih dari 18 jam sehari, nyaris tanpa istirahat yang layak.

Tidak sedikit dari mereka yang juga mengaku menjadi korban tekanan verbal, bahkan diminta mengerjakan tugas pribadi dari senior seperti mencuci pakaian atau membelikan makanan hal-hal yang seharusnya tidak terkait dengan proses akademik.

Cinta Laura menyuarakan harapan agar masyarakat dan institusi pendidikan kedokteran segera melakukan introspeksi. Ia mengajak publik untuk berpikir jernih dan melihat bahwa kualitas dokter tidak hanya dibentuk dari ujian tulis dan praktik lapangan, melainkan juga melalui lingkungan belajar yang sehat, suportif, dan manusiawi.

Kasus dr. Aulia hanyalah salah satu dari banyak cerita serupa yang kerap tidak terekspos. Fenomena ini disebut sebagai gunung es: hanya bagian kecil yang terlihat, namun di bawahnya menyimpan lebih banyak kisah yang belum terungkap.

Contoh lain adalah pengalaman dr. Wildan Ahmad Furqon, peserta PPDS ortopedi di Bandung. Ia mengaku pernah mendapatkan perlakuan kasar seperti dipukul dan bahkan harus membayar pajak kendaraan seniornya. Ia juga pernah dihina di hadapan pasien dan dipaksa terus bekerja tanpa waktu istirahat.

Sementara itu, seorang dokter berinisial N dari Surabaya juga menyampaikan kisahnya. Ia nyaris bunuh diri hanya dua bulan setelah menjalani program residensi. Tekanan yang dialami terlalu berat dan tidak didukung sistem pemulihan mental yang layak.

Pernyataan dan keberanian Cinta Laura dalam menyuarakan isu ini mendapat sambutan positif dari berbagai kalangan. Banyak yang merasa bahwa sudah saatnya dunia pendidikan kedokteran membuka ruang dialog untuk memperbaiki sistem yang ada. Pengabdian tidak boleh dibayar dengan penderitaan, apalagi kekerasan. Calon dokter spesialis seharusnya dibentuk melalui semangat belajar, bimbingan yang kuat, serta lingkungan yang mendukung pertumbuhan profesional dan emosional mereka.

Langkah kecil seperti membuka ruang diskusi dan mendengar keluhan para peserta PPDS bisa menjadi awal dari perubahan yang lebih baik. Dunia kedokteran Indonesia membutuhkan generasi yang tidak hanya cerdas dan terampil, tetapi juga kuat secara mental dan emosional. Untuk mewujudkan itu, sistem pendidikan yang manusiawi dan etis adalah kunci utamanya.

Cinta Laura mungkin bukan bagian dari dunia medis, tetapi keberaniannya menyampaikan kebenaran telah membuka mata banyak pihak. Ia telah menjadi pengingat bahwa suara dari luar sistem pun bisa menjadi katalis untuk perbaikan. Ketika banyak yang memilih diam, Cinta memilih bersuara.

Semoga, suara ini menjadi titik awal refleksi bagi semua pemangku kepentingan agar pendidikan dokter spesialis di Indonesia menjadi tempat bertumbuh, bukan ruang penderitaan. Demi masa depan dunia kesehatan yang lebih baik, demi para dokter muda yang layak mendapatkan dukungan penuh dalam menjalankan tugas mulianya.

Terkini