Perusahaan Tambang Fokus Rehabilitasi DAS

Senin, 28 Juli 2025 | 15:32:32 WIB
Perusahaan Tambang Fokus Rehabilitasi DAS

JAKARTA - Komitmen perusahaan tambang dalam menjalankan rehabilitasi Daerah Aliran Sungai (DAS) sebagai bagian dari kewajiban pemegang izin pinjam pakai kawasan hutan (IPPKH) kembali mendapat sorotan penting dari DPR RI. Namun kali ini, sorotan itu diarahkan kepada potensi besar di balik kewajiban tersebut, terutama dalam mendukung ketahanan pangan dan energi nasional.

Anggota Komisi XII DPR RI dari Fraksi PKS, Ateng Sutisna, menyuarakan pemikiran progresif terkait pemanfaatan program rehabilitasi DAS oleh perusahaan tambang. Ia menekankan bahwa kegiatan tersebut seharusnya tidak dipandang hanya sebagai beban administratif, melainkan sebagai kesempatan strategis untuk turut memperkuat perekonomian dan ketahanan lingkungan Indonesia.

Dalam forum rapat dengar pendapat antara Komisi XII DPR RI dengan MIND ID dan anak usahanya di Gedung DPR/MPR RI, Jakarta, Ateng menyampaikan bahwa pendekatan rehabilitasi DAS harus dikembangkan lebih luas. Ia merespons pandangan dari Direktur PT Bukit Asam yang menyebutkan kewajiban penanaman di luar wilayah Izin Usaha Pertambangan (IUP) sebagai bagian dari regulasi pemanfaatan kawasan hutan.

Menurut Ateng, pendekatan konvensional terhadap kewajiban tersebut belum mampu menciptakan dampak yang maksimal. Oleh karena itu, diperlukan pemikiran baru yang lebih menyeluruh dan berorientasi pada keberlanjutan.

“Kami mendorong agar rehabilitasi DAS tidak hanya dipahami sebagai kewajiban menanam pohon, tetapi harus dirancang untuk memberikan nilai tambah ekologi dan ekonomis. Tanaman yang dipilih bahkan juga harus mampu menyerap karbon sekaligus bermanfaat bagi masyarakat, misalnya sebagai sumber pangan atau energi terbarukan,” ujar Ateng.

Ia menilai, bila rehabilitasi dilakukan dengan perencanaan matang, maka perusahaan tidak hanya memenuhi kewajiban hukum, melainkan turut berkontribusi pada solusi jangka panjang terhadap isu-isu global seperti perubahan iklim dan krisis pangan.

Dalam konteks yang lebih luas, Ateng juga menyoroti peran strategis rehabilitasi DAS IPPKH dalam mendukung upaya Indonesia mencapai target net-zero carbon emission pada 2060. Ia mengingatkan bahwa lahan yang telah direhabilitasi dapat berfungsi sebagai area serapan karbon yang signifikan.

“Kalau hanya ditanam karena kewajiban, hasilnya tidak akan optimal. Tapi jika dirancang dengan pendekatan multi-manfaat, rehabilitasi DAS IPPKH bisa jadi instrumen pembangunan berkelanjutan yang sangat strategis,” lanjut Ateng.

Dijelaskan pula bahwa rehabilitasi DAS IPPKH memiliki perbedaan mendasar dengan program reklamasi pasca tambang. Reklamasi dilakukan di dalam kawasan IUP sebagai bagian dari tanggung jawab terhadap lingkungan pasca aktivitas tambang. Sedangkan rehabilitasi DAS IPPKH menyasar kawasan di luar IUP, namun berada dalam ruang lingkup pinjam pakai kawasan hutan.

Bagi perusahaan tambang yang tidak menggunakan kawasan hutan, kewajiban IPPKH ini tidak berlaku. Namun jika wilayah operasional mereka mencakup kawasan hutan, maka ada dua tanggung jawab lingkungan yang harus dijalankan secara bersamaan, yaitu reklamasi pasca tambang di dalam IUP dan rehabilitasi DAS IPPKH di luar IUP.

Ateng menyarankan agar seluruh perusahaan yang memiliki kewajiban tersebut mampu menjalankan kedua hal itu secara paralel dan dengan perencanaan jangka panjang yang berbasis kolaborasi. Menurutnya, pendekatan kolaboratif dengan masyarakat sekitar akan meningkatkan keberhasilan program sekaligus membuka potensi ekonomi baru.

“Melalui pendekatan ini, perusahaan-perusahaan tambang bisa menjadi contoh dalam mewujudkan rehabilitasi yang berkelanjutan dan berdampak nyata bagi masyarakat dan lingkungan. Selain itu kewajiban rehabilitasi DAS IPPKH bisa didesain sebagai kegiatan yang bernilai tambah ekonomi bagi perusahaan juga,” jelasnya.

Dalam implementasinya, Ateng menyoroti peluang yang sangat terbuka bagi perusahaan tambang untuk memanfaatkan hasil rehabilitasi DAS sebagai instrumen karbon offset. Apabila program dilakukan secara serius dan dirawat selama lima tahun bersama masyarakat, area tersebut berpotensi menjadi sumber serapan karbon yang signifikan.

Tidak hanya sebagai bagian dari tanggung jawab lingkungan, keberhasilan rehabilitasi DAS IPPKH dapat menjadi aset perusahaan yang bisa diperhitungkan dalam perdagangan karbon, baik di pasar dalam negeri maupun internasional.

“Jika dilakukan dengan komprehensif, perusahaan bahkan bisa menjadikannya setelah lima tahun ditanam dan dirawat bersama masyarakat, serapan karbon dari kawasan tersebut bisa menjadi pengurang bagi emisi gas-gas rumah kaca (GRK) serta bisa diperdagangkan di dalam bursa karbon Indonesia maupun Internasional,” terang Ateng.

Ia pun mengajak perusahaan untuk melihat peluang ini secara terbuka. Rehabilitasi DAS IPPKH, menurutnya, bukan hanya sebuah kewajiban, tetapi sebuah kesempatan besar dalam transisi menuju ekonomi hijau yang inklusif dan berkelanjutan.

“Masalahnya perusahaan hanya melihat rehabilitasi DAS IPPKH sebagai kewajiban semata. Justru kita bisa mendorong dan membantu perusahaan untuk merealisasikan hasil dari rehabilitasi DAS tersebut menjadi bernilai ekonomi melalui mekanisme pengurang emisi karbon perusahaan dan bahkan menjual serapan karbonnya dalam bursa karbon,” tutupnya.

Dengan semangat tersebut, perusahaan tambang diharapkan mampu membuktikan kontribusinya tidak hanya dalam aspek industri dan ekonomi, tetapi juga dalam peran aktif menjaga keberlanjutan alam dan kesejahteraan masyarakat luas.

Terkini