JAKARTA - Kinerja industri perbankan nasional pada semester pertama 2025 menunjukkan dinamika yang beragam. Di tengah pertumbuhan yang positif dari bank-bank swasta, perbankan milik negara atau BUMN tetap menunjukkan komitmen kuat dalam mendukung program-program strategis pemerintah, meski harus menghadapi tekanan terhadap laba bersih.
Jika dilihat dari sisi profitabilitas, bank swasta memang mencatatkan hasil lebih tinggi. Namun, di balik angka tersebut, bank BUMN tetap mengambil peran penting dalam menopang perekonomian nasional, khususnya dalam mendukung sektor produktif dan program kerakyatan yang menjadi prioritas pembangunan.
Sebagai gambaran, PT Bank Rakyat Indonesia Tbk (BRI) melaporkan laba bersih sebesar Rp 26,53 triliun atau turun 11,5% dibandingkan periode yang sama tahun lalu. Sementara PT Bank Negara Indonesia Tbk (BNI) mencatatkan penurunan laba sebesar 5,6% YoY menjadi Rp 10,69 triliun. Penurunan tersebut bukan disebabkan melemahnya kinerja operasional, melainkan karena meningkatnya beban provisi yang menunjukkan adanya langkah antisipatif dalam menjaga kualitas kredit.
BRI, misalnya, mencatatkan beban provisi sebesar Rp 23,3 triliun, meningkat 25,8% secara tahunan. Sementara beban provisi BNI naik 7,9% menjadi Rp 3,78 triliun. Kenaikan ini mencerminkan komitmen kedua bank dalam memperkuat cadangan untuk menghadapi potensi risiko kredit.
Sementara itu, bank-bank swasta seperti PT Bank Central Asia Tbk (BCA) dan PT Bank CIMB Niaga Tbk menunjukkan pertumbuhan laba yang positif. BCA membukukan laba Rp 29 triliun atau naik sekitar 8%, dengan beban provisi yang menurun drastis sebesar 43,4%. Di sisi lain, CIMB Niaga berhasil mempertahankan pertumbuhan laba sebesar 1,4% YoY menjadi Rp 3,45 triliun, juga dengan penurunan beban provisi sebesar 24,9%.
Pengamat perbankan Moch. Amin Nurdin menilai perbedaan kinerja ini tidak lepas dari kualitas kredit yang disalurkan. Menurutnya, jika kualitas kredit baik, maka kebutuhan pembentukan cadangan atau provisi menjadi lebih rendah. Sebaliknya, apabila kualitas menurun, bank harus memperbesar cadangan sehingga dapat mengurangi laba.
Lebih lanjut, Amin menjelaskan bahwa bank-bank pelat merah memiliki tanggung jawab tambahan dalam menjalankan program-program pemerintah. Hal ini membuat mereka harus melaksanakan penyaluran kredit meskipun margin keuntungan sangat tipis. “Karena ini sifatnya kewajiban bagi bank milik negara, maka margin setipis apa pun juga tetap mereka laksanakan, dan ini makin menekan kinerja,” ujar Amin.
Sementara itu, Ekky Topan, Investment Analyst Infovesta Kapital Advisori, menilai bahwa bank swasta memiliki fleksibilitas lebih besar dalam fokus pada efisiensi operasional dan selektivitas penyaluran kredit. Ini memberi ruang untuk menjaga kualitas aset dan meminimalkan risiko kredit, sehingga profitabilitas lebih terjaga.
Ia juga menambahkan bahwa keterlibatan bank BUMN dalam berbagai program pemerintah turut memengaruhi profil risiko portofolio mereka. Segmen penerima program tersebut, seperti UMKM atau kelompok berpenghasilan rendah, dinilai lebih rentan terhadap perlambatan ekonomi. “Risiko gagal bayar juga menjadi tantangan tersendiri bagi mereka,” kata Ekky.
Meski demikian, bank BUMN tidak bergeser dari komitmennya terhadap pembangunan nasional. Direktur Utama BRI, Hery Gunardi, menegaskan bahwa perusahaannya tetap fokus mendukung sektor produktif dan ekonomi kerakyatan, serta mengambil bagian dalam program-program prioritas pemerintah. Hingga pertengahan tahun, BRI telah menyalurkan Kredit Usaha Rakyat (KUR) hingga Rp 83 triliun, termasuk berbagai program lain seperti Bantuan Subsidi Upah, Koperasi Desa Merah Putih, dan kredit rumah subsidi sebesar Rp 13 triliun.
“BRI tidak hanya tumbuh secara sehat, tapi juga mendukung keberpihakan pada sektor produktif dan juga ekonomi kerakyatan. Ke depan, BRI akan terus menjaga kualitas asetnya dan meningkatkan pertumbuhan secara berkelanjutan,” ujar Hery.
Di sisi swasta, strategi manajemen risiko dan efisiensi biaya menjadi kunci utama dalam menjaga stabilitas. Presiden Direktur CIMB Niaga, Lani Darmawan, menjelaskan bahwa pengelolaan biaya yang disiplin menjadi fondasi untuk menjaga kualitas aset. Dengan rasio kredit bermasalah (NPL) di kisaran 1,88%, CIMB Niaga mampu menjaga kinerja tanpa harus mengalokasikan beban pencadangan secara berlebihan.
“Kami tahu kapan harus kencangkan ikat pinggang tapi investasi kunci tetap berjalan,” ujar Lani.
Secara keseluruhan, perbedaan strategi antara bank swasta dan BUMN memang membawa hasil yang berbeda dalam hal laba. Namun, keduanya tetap memainkan peran penting di ekosistem perbankan nasional. Bank swasta menawarkan efisiensi dan fokus pada profitabilitas, sementara bank BUMN tetap menjadi tulang punggung dalam mendorong pertumbuhan inklusif melalui program pemerintah.
Bagi investor, kondisi ini tentu menjadi bahan pertimbangan strategis dalam melihat prospek jangka menengah. Bank swasta mungkin terlihat lebih menarik dari sisi return, namun keberadaan bank BUMN tetap vital dalam mendukung stabilitas dan pembangunan ekonomi nasional.
Dengan demikian, meskipun terdapat tekanan terhadap laba, bank-bank BUMN tetap berada pada jalur positif dengan kontribusi nyata terhadap masyarakat dan pembangunan. Perbedaan fokus ini justru memperlihatkan bagaimana sektor perbankan Indonesia mampu menjaga keseimbangan antara misi sosial dan kinerja bisnis yang berkelanjutan.