JAKARTA - Upaya pemerintah untuk memperkuat stabilitas sektor keuangan nasional melalui pembentukan Program Penjaminan Polis (PPP) mendapat sambutan positif dari pelaku industri, khususnya sektor asuransi jiwa. Asosiasi Asuransi Jiwa Indonesia (AAJI) menyatakan dukungannya atas langkah ini, karena dinilai strategis untuk meningkatkan kepercayaan publik terhadap industri asuransi secara menyeluruh.
Program Penjaminan Polis yang ditargetkan mulai berlaku pada tahun 2028 akan diatur dalam bentuk Peraturan Pemerintah (PP). Dalam skemanya, setiap perusahaan asuransi wajib menjadi peserta dan menjalani mekanisme yang ditetapkan oleh Lembaga Penjamin Simpanan (LPS), yang bertugas sebagai pelaksana PPP.
Menurut Direktur Eksekutif AAJI, Togar Pasaribu, kehadiran PPP merupakan cita-cita lama industri yang kini mulai mendekati kenyataan. “Kami memandang PPP sebagai langkah strategis dalam memperkuat perlindungan konsumen dan meningkatkan kepercayaan masyarakat terhadap industri asuransi jiwa secara keseluruhan. PPP adalah elemen krusial dalam kerangka penguatan sektor keuangan,” ujarnya.
AAJI berharap pembentukan dan implementasi PPP dilakukan secara bertahap dan terukur. Menurut Togar, penting bagi pemerintah untuk mempertimbangkan kesiapan industri, termasuk kondisi keuangan dan manajemen risiko masing-masing perusahaan asuransi. Selain itu, ia menyoroti bahwa aspek-aspek teknis seperti kewajiban keanggotaan, skema penjaminan, batas manfaat, dan mekanisme teknis lainnya harus dirumuskan dengan cermat.
“Hal itu untuk memastikan bahwa operasional, manajemen risiko, dan keberlanjutan finansial masing-masing perusahaan asuransi dapat tetap terjaga dengan baik,” katanya.
Dalam berbagai pertemuan dengan LPS, AAJI telah menyampaikan sejumlah masukan penting terkait dengan PPP. Salah satunya adalah usulan agar yang dijamin dalam polis adalah unsur proteksi, sedangkan aset investasi milik pemegang polis dapat dipisahkan dan dikecualikan dari program penjaminan.
AAJI juga mengusulkan agar iuran keanggotaan disesuaikan dengan tingkat risiko masing-masing perusahaan. “Untuk perusahaan yang risikonya tinggi, maka perlu dikenakan iuran yang lebih tinggi juga,” ujar Togar. Ia menegaskan bahwa langkah ini penting untuk menghindari moral hazard dan memastikan keseimbangan antara jaminan yang diberikan dengan kontribusi yang dibayarkan.
Terkait indikator keanggotaan awal, AAJI menyarankan agar Risk Based Capital (RBC) dijadikan sebagai acuan. Namun, Togar juga menekankan bahwa LPS perlu melakukan pemantauan berkelanjutan terhadap kondisi keuangan perusahaan, bukan hanya berdasarkan laporan keuangan tahunan tertentu. Langkah ini dinilai penting agar keikutsertaan dalam PPP benar-benar mencerminkan kesiapan dan kesehatan keuangan masing-masing perusahaan.
Keberadaan PPP diyakini akan memberikan perlindungan nyata bagi pemegang polis jika suatu perusahaan asuransi mengalami kegagalan usaha atau kebangkrutan. “Dengan adanya LPS, kepercayaan publik terhadap industri asuransi jiwa akan makin meningkat, karena ada jaminan perlindungan yang diberikan oleh negara atas polis yang dimiliki mereka,” jelas Togar.
Ia menambahkan, rasa aman tersebut akan menjadi nilai tambah bagi pemegang polis dalam mengambil keputusan keuangan jangka panjang. Hal ini diharapkan berdampak pada meningkatnya penempatan dana masyarakat di industri asuransi jiwa, sehingga turut mendukung pertumbuhan ekonomi nasional secara berkelanjutan.
Lebih lanjut, Togar mengapresiasi keterlibatan aktif Otoritas Jasa Keuangan (OJK) dan LPS yang terus membuka ruang diskusi bersama asosiasi serta pelaku industri perasuransian. Diskusi yang inklusif ini dinilai akan menghasilkan regulasi yang lebih komprehensif, praktis, dan relevan dengan dinamika industri.
“Kami berkomitmen untuk terus memberikan kontribusi positif dalam setiap forum diskusi untuk mencapai tujuan bersama,” tutur Togar.
Sebagai bagian dari amanat Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2023 tentang Pengembangan dan Penguatan Sektor Keuangan (P2SK), PPP akan menjadi komponen penting dalam memperkuat sistem perlindungan konsumen di sektor asuransi. Dalam implementasinya nanti, LPS akan mengenakan iuran kepesertaan dua kali setahun kepada perusahaan asuransi, yaitu mirip dengan skema yang diterapkan di sektor perbankan.
Salah satu ketentuan yang masih dalam proses pembahasan adalah batas maksimum nilai pertanggungan yang dijamin. Hal ini dimaksudkan untuk mencegah moral hazard di kalangan peserta. Sementara itu, produk-produk yang mengandung unsur investasi, seperti unitlink, akan dikecualikan dari cakupan penjaminan. Hal yang sama juga berlaku untuk asuransi sosial dan asuransi wajib seperti BPJS.
“Kalau ada produk unitlink, kami (LPS) tak menjamin unsur investasinya. Selain itu, asuransi sosial dan asuransi wajib (BPJS) juga dikecualikan dari PPP,” jelas Direktur Eksekutif Manajemen Strategis dan Perumusan Kebijakan LPS, Ridwan Nasution.
Dengan dukungan penuh dari AAJI dan keterlibatan aktif seluruh pemangku kepentingan, diharapkan program ini dapat terwujud sesuai target dan memberikan manfaat optimal bagi seluruh lapisan masyarakat, khususnya pemegang polis.