Komitmen Ilmiah Kampus dan Tantangan Evaluasi Global

Senin, 04 Agustus 2025 | 09:26:30 WIB
Komitmen Ilmiah Kampus dan Tantangan Evaluasi Global

JAKARTA - Dunia pendidikan tinggi terus berkembang dan menghadapi berbagai tantangan dalam menjaga kualitas, kredibilitas, serta integritas akademik. Di tengah semangat tersebut, muncul sorotan terhadap pemeringkatan kampus global yang menilai aspek integritas ilmiah sebagai salah satu indikator utama. Perhatian tertuju pada posisi sejumlah perguruan tinggi ternama di Indonesia yang masuk dalam kategori kampus dengan integritas ilmiah yang diragukan, menurut laporan dari lembaga internasional, NordPass-Academic Influence.

Salah satu temuan menarik dari laporan tersebut adalah tercantumnya Universitas Indonesia (UI) dan Institut Teknologi Bandung (ITB) dalam daftar 20 universitas yang integritas ilmiahnya dinilai lemah. Hal ini menimbulkan berbagai pertanyaan, sekaligus mendorong dialog kritis tentang bagaimana seharusnya sistem pendidikan tinggi nasional merespons dinamika global terkait etika akademik dan tata kelola riset.

Menurut laporan tersebut, indikator yang digunakan untuk menilai integritas ilmiah mencakup keberadaan tindakan manipulasi data, duplikasi publikasi, pelanggaran etika publikasi, hingga intervensi non-akademik dalam proses penelitian. Pemeringkatan ini, yang mengacu pada publikasi dalam jurnal ilmiah internasional serta analisis terhadap reaksi komunitas akademik global, menjadi cerminan dari reputasi akademik suatu institusi.

Pakar integritas akademik dari Academic Influence, Dr. Henry Underwood, menjelaskan bahwa pihaknya melakukan evaluasi berdasarkan hasil investigasi terhadap ribuan artikel yang ditarik dari jurnal bereputasi karena alasan pelanggaran etika. “Kami menelusuri tren yang muncul, seperti pola-pola pengulangan, pengabaian prosedur etis, serta tindakan plagiarisme yang mencoreng kredibilitas ilmu pengetahuan,” ujarnya.

Masuknya UI dan ITB dalam daftar ini bukan berarti keseluruhan institusi gagal menjaga integritas. Justru, ini menjadi momentum penting bagi kedua kampus besar tersebut untuk mengulas ulang sistem pengawasan dan pembinaan akademik yang ada di dalamnya.

Menanggapi laporan ini, Wakil Rektor UI bidang Riset dan Inovasi, Dr. Danang Agung menyatakan, “Kami memandang serius temuan ini dan menjadikannya bahan refleksi. UI terus memperkuat kebijakan integritas akademik, termasuk dengan pembentukan komite etik dan pelatihan intensif bagi dosen serta mahasiswa.” Ia menambahkan bahwa langkah korektif dan preventif sedang digalakkan untuk memperkuat fondasi ilmiah di semua fakultas.

Sementara itu, pihak ITB melalui Kepala Lembaga Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat (LPPM), Prof. Indra Maulana, menegaskan bahwa ITB tidak pernah menoleransi bentuk pelanggaran ilmiah dalam bentuk apa pun. “Kami berkomitmen untuk menindak tegas pelanggaran etika akademik dan senantiasa mendorong budaya ilmiah yang kuat dan etis,” tegasnya.

Menurut Prof. Indra, tantangan dunia akademik saat ini tidak hanya soal publikasi, tapi bagaimana memastikan setiap publikasi lahir dari proses yang jujur, valid, dan dapat dipertanggungjawabkan. Dalam beberapa tahun terakhir, ITB telah memperkuat sistem deteksi plagiarisme, memperluas pelatihan metodologi penelitian, dan mempromosikan keterbukaan data sebagai bagian dari good research practice.

Laporan dari NordPass-Academic Influence itu sendiri mengungkap bahwa dari 20 kampus yang masuk daftar, 13 di antaranya berasal dari Tiongkok, serta masing-masing dua dari Indonesia dan Rusia, dan satu dari Iran, Mesir, serta Arab Saudi. Artinya, sorotan terhadap integritas akademik tidak hanya menjadi isu lokal, tapi mencerminkan perhatian global terhadap kualitas dan etika dalam publikasi ilmiah.

Fenomena ini juga menjadi panggilan bagi dunia pendidikan tinggi di Indonesia untuk memperkuat sinergi antara kualitas akademik dan tata kelola riset. Penguatan integritas ilmiah bukan semata soal reputasi, melainkan tanggung jawab terhadap keilmuan, publik, serta masa depan generasi muda yang belajar di dalamnya.

Direktur Jenderal Pendidikan Tinggi, Riset, dan Teknologi Kemendikbudristek RI, Prof. Nizam, menanggapi temuan ini dengan pendekatan konstruktif. “Kami melihat hal ini sebagai pemacu untuk terus membenahi sistem pendidikan tinggi kita. Etika akademik harus menjadi budaya, bukan sekadar regulasi,” katanya. Ia menyampaikan bahwa kementerian tengah menyiapkan panduan nasional etika penelitian dan mekanisme audit ilmiah untuk memperkuat transparansi dan akuntabilitas akademik.

Kehadiran teknologi digital dan keterbukaan akses informasi menjadi peluang sekaligus tantangan. Di satu sisi, publik kini lebih mudah mengakses dan menilai karya ilmiah, namun di sisi lain, tuntutan terhadap kuantitas publikasi sering kali menekan kualitas dan integritas. Oleh karena itu, penting bagi semua pihak, mulai dari pemerintah, rektorat, dosen, hingga mahasiswa, untuk membangun ekosistem akademik yang sehat.

Upaya memperkuat integritas ilmiah juga dapat dimulai dari pendidikan karakter di perguruan tinggi. Kampus tidak hanya menjadi pusat keilmuan, tetapi juga arena pembentukan nilai dan moral akademik. Melalui seminar, pelatihan, dan diskusi terbuka tentang etika ilmiah, kampus dapat menjadi pionir dalam membentuk budaya akademik yang jujur dan bertanggung jawab.

Kesadaran akan pentingnya integritas ilmiah bukanlah sekadar bentuk reaksi terhadap pemeringkatan global, melainkan investasi jangka panjang bagi reputasi bangsa dan kemajuan ilmu pengetahuan. UI dan ITB, sebagai dua institusi pendidikan tinggi terbaik di Indonesia, memiliki peran strategis untuk menunjukkan keteladanan dalam memperbaiki sistem dan menjawab tantangan dengan transparansi dan komitmen.

Di tengah kritik dan evaluasi, selalu ada ruang untuk perbaikan dan pembaruan. Dengan semangat kolaboratif dan visi ilmiah yang kokoh, pendidikan tinggi di Indonesia dapat terus tumbuh sebagai kekuatan transformasi sosial, ekonomi, dan budaya yang berakar pada integritas serta keunggulan akademik.

Terkini