Mendorong Kedaulatan Daerah dalam Pertambangan

Senin, 04 Agustus 2025 | 11:55:01 WIB
Mendorong Kedaulatan Daerah dalam Pertambangan

JAKARTA - Sistem pengelolaan pertambangan di Indonesia kembali menjadi sorotan setelah pernyataan Gubernur Sulawesi Tengah, Anwar Hafid, yang menyoroti ketimpangan dalam pembagian manfaat tambang di daerah. Wilayah yang kaya akan sumber daya alam seperti Sulteng disebut sebagai salah satu penyumbang devisa terbesar bagi negara. Namun, sayangnya, masyarakat setempat belum merasakan hasil signifikan dari aktivitas pertambangan yang begitu intensif di wilayahnya.

Menanggapi kondisi ini, pendiri Haidar Alwi Institute, Haidar Alwi, menilai bahwa sudah saatnya dilakukan evaluasi menyeluruh terhadap tata kelola sektor pertambangan nasional. Menurutnya, permasalahan yang dihadapi oleh daerah penghasil tambang menunjukkan adanya persoalan serius dalam penerapan sistem hukum dan perundang-undangan yang berlaku.

“Kalau gubernur di wilayah tambang tidak diberi kuasa, padahal dia adalah wakil rakyat di provinsi, maka ada yang sangat keliru dalam penerapan undang-undang,” ujar Haidar, Senin, 4 Agustus 2025.

Haidar menyoroti kenyataan bahwa pemerintah daerah tidak memiliki akses terhadap kawasan industri tambang, termasuk yang berada di Morowali. Seluruh izin dan pengendalian kawasan telah ditetapkan pemerintah pusat, menjadikan pemerintah provinsi sekadar penonton di tengah geliat industri yang begitu besar.

Lebih jauh lagi, ia menambahkan bahwa sebagian besar perusahaan tambang besar yang beroperasi di daerah justru memiliki Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP) yang terdaftar di Jakarta. Artinya, meskipun kegiatan operasional dilakukan di daerah, kontribusi pajaknya tidak masuk ke kas pemerintah daerah setempat.

"Ini bukan hanya tentang kewenangan administratif, tapi soal harga diri dan tanggung jawab konstitusional seorang kepala daerah," jelas Haidar.

Ia mengkritik keras sistem hukum yang kini dianggap telah meminggirkan peran gubernur dan kepala daerah lainnya dalam pengelolaan kekayaan alam di wilayahnya. Padahal, menurutnya, daerah harus dilibatkan sebagai mitra dalam pembangunan nasional, terutama yang berkaitan dengan sektor strategis seperti pertambangan.

Menurut Haidar, banyak kepala daerah kini hanya berfungsi sebagai simbol politik semata, tanpa kendali nyata atas potensi alam di wilayahnya. Di sisi lain, perusahaan-perusahaan besar yang mengelola tambang justru menikmati hasil maksimal, sementara masyarakat lokal hanya menanggung dampak sosial, ekonomi, hingga ekologis.

“Kita menyaksikan fenomena ironis: provinsi kaya sumber daya, tapi dana bagi hasil hanya ratusan miliar rupiah. Sementara dampak ekologis, sosial, dan ekonomi ditanggung sepenuhnya oleh rakyat lokal,” tambahnya.

Untuk itu, ia mengingatkan kembali pentingnya menjadikan Pasal 33 UUD 1945 sebagai dasar dalam menyusun seluruh kebijakan sektor pertambangan. Haidar menekankan bahwa pengelolaan kekayaan alam harus dilakukan demi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat, termasuk rakyat di daerah penghasil.

Menurutnya, beberapa regulasi seperti UU Minerba, UU Perizinan Berusaha, dan pasal-pasal dalam UU Cipta Kerja telah berpotensi mengurangi kedudukan daerah dalam mengelola sumber daya alam. Ia menegaskan, akar konstitusional daerah tidak boleh diabaikan.

“UU Minerba, UU Perizinan Berusaha, bahkan beberapa pasal dalam UU Cipta Kerja, telah mencabut akar konstitusional daerah. Padahal UUD 45 sudah sangat jelas: rakyat adalah pemilik sah kekayaan alam, bukan hanya pusat pengendali administrasi,” tegasnya.

Sebagai bentuk solusi konkret, Haidar mengusulkan sejumlah langkah pembenahan. Ia menyebut bahwa revisi terhadap undang-undang terkait harus segera dilakukan demi mengembalikan kewenangan daerah, terutama dalam hal pengawasan dan pengendalian dampak lingkungan tambang.

Selain itu, Haidar menyarankan agar pajak tambang dikenakan di hilir, bukan di hulu, sehingga nilai tambah dari industri tersebut juga dapat dinikmati langsung oleh daerah penghasil. Ia juga menegaskan pentingnya mewajibkan perusahaan-perusahaan tambang besar mendaftarkan NPWP mereka di lokasi operasional utama.

Lebih lanjut, ia mengusulkan pembentukan Koperasi Daerah Sumber Daya (KDSD) yang mengakomodasi kepemilikan saham masyarakat lokal dalam setiap proyek tambang. Menurutnya, hal ini penting agar masyarakat tidak hanya menjadi penonton, tetapi turut menjadi bagian dari pertumbuhan ekonomi di wilayahnya.

Haidar juga menggagas adanya Dana Konstitusional Keadilan Sumber Daya (DK2SD), yakni alokasi 5 persen dari nilai ekspor hasil tambang yang langsung disalurkan ke daerah. Dana ini diharapkan bisa mendukung pembangunan di daerah, baik dalam bidang pendidikan, kesehatan, hingga infrastruktur.

Tak kalah penting, ia juga mendorong pembentukan lembaga audit sosial independen di tingkat provinsi. Lembaga ini bertugas memantau dampak dan akuntabilitas setiap proyek ekstraktif, sekaligus menjadi saluran transparansi informasi bagi masyarakat.

Dengan berbagai langkah ini, Haidar berharap keadilan dalam pengelolaan kekayaan alam dapat benar-benar diwujudkan. Menurutnya, sudah saatnya kebijakan sektor pertambangan tidak hanya berpihak pada kepentingan ekonomi nasional semata, tetapi juga menjunjung tinggi hak-hak daerah dan masyarakat lokal.

“Jangan sampai kita terus membiarkan rakyat daerah tambang hidup dalam ketimpangan, sementara kekayaannya dibawa keluar. Kalau kita masih percaya pada UUD 45, maka inilah saatnya menegakkannya dengan sungguh-sungguh,” pungkas Haidar.

Terkini