JAKARTA - Industri nikel Indonesia kini tengah melangkah cepat menuju transformasi strategis melalui pengembangan fasilitas pemurnian berbasis teknologi high pressure acid leach (HPAL). Smelter jenis ini memegang peran vital dalam menghasilkan bahan baku utama untuk baterai kendaraan listrik, yakni mixed hydroxide precipitate (MHP). Dalam praktiknya, pabrik-pabrik tersebut harus mengolah bijih nikel limonit dengan dukungan asam sulfat dalam jumlah besar, yang merupakan bagian penting dari proses pelindian.
Namun, tantangan mulai muncul seiring kenaikan harga sulfur di pasar global. Lonjakan ini berimbas langsung pada peningkatan biaya produksi smelter HPAL, yang dalam jangka panjang dapat menekan kelangsungan industri. Ketua Umum Perhimpunan Ahli Pertambangan Indonesia (Perhapi), Sudirman Widhy Hartono, mengemukakan pentingnya peran negara dalam mendukung industri strategis ini.
“Pemerintah pun mendapat manfaatnya karena memperoleh royalti dan pajak yang besar. Namun, di satu sisi, kegiatan pabrik HPAL masih kerap mengalami kendala, dan pemerintah semestinya hadir untuk turut menyelesaikan kendala tersebut,” ujar Sudirman.
Imbas Harga Sulfur dan Perlunya Insentif
Salah satu faktor utama yang mempengaruhi profitabilitas smelter HPAL adalah melonjaknya harga sulfur yang digunakan sebagai bahan baku utama. Berdasarkan catatan Sudirman, harga sulfur global meningkat sekitar 30 hingga 32 persen pada paruh pertama 2025 dibandingkan rata-rata tahun sebelumnya. Hal ini menyebabkan biaya produksi bertambah antara US$1.500 hingga US$2.500 per ton jika dibandingkan dengan tahun lalu.
Smelter HPAL skala besar yang memiliki dua jalur autoclave dapat menghabiskan asam sulfat sebanyak 1 hingga 2 juta ton per tahun. Beban biaya ini tentu memberikan tekanan terhadap margin keuntungan yang sebelumnya cukup besar.
“Dampaknya sangat terasa. Pabrik HPAL yang sebelumnya sangat menguntungkan, saat ini mengalami squeeze margin yang sangat besar. Nilai investasi pabrik HPAL padahal sangat besar dan mahal bisa berkisar antara Rp10 triliun hingga Rp20 triliun,” tambah Sudirman.
Kebutuhan Reformasi Regulasi dan Kemudahan Impor
Selain tantangan harga, aspek regulasi juga menjadi sorotan. Sudirman menilai bahwa prosedur importasi asam sulfat yang cukup kompleks perlu dibenahi. Hal ini sempat menyebabkan kelangkaan bahan baku di beberapa pabrik HPAL, sehingga berdampak pada stabilitas produksi.
Tidak hanya itu, proses perizinan untuk pengelolaan sisa hasil olahan juga perlu diperhatikan. Mekanisme yang berbelit berpotensi memunculkan persoalan hukum bagi pelaku industri, padahal keberadaan pabrik HPAL sangat strategis bagi perekonomian nasional.
“Pemerintah harus hadir dan membantu, karena keberlangsungan pabrik HPAL ini berkaitan dengan kepentingan yang besar terkait keberlangsungan penambangan bijih nikel limonit, hilirisasi industri nikel, konservasi mineral, investasi, penerimaan negara serta devisa,” tegas Sudirman.
Potret Harga dan Perdagangan Produk Nikel
Saat ini, rata-rata harga nikel tercatat sekitar US$15.000 per ton, menurun dari posisi semula yang sempat menyentuh angka US$20.000 per ton di awal tahun lalu. Di sisi lain, harga MHP sebagai produk utama smelter HPAL juga mengalami koreksi, seiring dengan permintaan dari industri yang mulai melandai.
Berdasarkan data Shanghai Metals Market (SMM), harga free on board (FOB) MHP Indonesia per 1 Agustus 2025 berada di kisaran US$12.496 per ton nikel, setara dengan 83,5% hingga 84% dari harga nikel di indeks SMM. Meski permintaan saat ini belum pulih sepenuhnya, pasar tetap menunjukkan dinamika yang aktif, dengan sejumlah smelter mengajukan inquiry untuk pengiriman kuartal IV.
SMM juga mencatat bahwa pasokan MHP cenderung ketat, dengan volume perdagangan yang terbatas. Hal ini turut mempengaruhi harga acuan nikel sulfat, yang stabil di kisaran 27.130 hingga 27.610 yuan per metrik ton.
Kebutuhan Pasokan dan Potensi Investasi
Menurut data Asosiasi Penambang Nikel Indonesia (APNI), saat ini terdapat sepuluh proyek smelter HPAL yang tersebar di Indonesia. Enam di antaranya telah beroperasi, sementara empat lainnya masih dalam tahap konstruksi. Seluruh smelter ini diperkirakan membutuhkan pasokan bijih nikel limonit sebesar 119,20 juta ton basah (wet metric ton) setiap tahunnya.
Smelter HPAL yang sudah aktif mencakup 15 jalur produksi dengan kebutuhan bahan baku sebesar 62,25 juta wmt, sementara proyek yang dalam proses pembangunan mencakup enam jalur produksi dengan kebutuhan 56,94 juta wmt.
Dengan permintaan yang terus meningkat dari sektor kendaraan listrik, keberadaan fasilitas pemurnian ini menjadi tumpuan harapan untuk memaksimalkan nilai tambah komoditas nikel Indonesia.
Menatap Masa Depan Industri Nikel
Peningkatan harga sulfur sejak pertengahan menjadi salah satu pemicu perubahan dinamika industri ini. Laporan Argus Media menunjukkan bahwa harga sulfur granular cost on freight (CFR) Indonesia telah meningkat dari US$86 per ton pada 2024 menjadi US$297 per ton.
Di saat bersamaan, harga nikel intermediate dari Indonesia tetap bergerak dalam kisaran US$12.000 hingga US$14.000 per ton. Tekanan margin pun tak terelakkan, dengan laba kotor produk MHP turun dari sekitar US$10.000 per ton pada 2023 menjadi US$7.000 per ton di 2024, menurut estimasi Argus.
Meski menghadapi berbagai tantangan, pengembangan smelter HPAL tetap menjadi langkah penting dalam strategi hilirisasi mineral Indonesia. Dukungan nyata dari pemerintah melalui kebijakan fiskal, kemudahan impor, dan penyederhanaan regulasi akan menjadi kunci keberhasilan Indonesia untuk menjadikan nikel sebagai salah satu pilar industri masa depan.