JAKARTA - Fluktuasi harga minyak global mencerminkan dinamika geopolitik yang semakin kompleks, terutama setelah pernyataan terbaru dari Presiden Amerika Serikat Donald Trump mengenai potensi dialog damai dengan Rusia. Sentimen pasar pun bergeser seiring ketidakpastian yang muncul, menciptakan tekanan baru pada komoditas energi ini.
Dialog AS-Rusia Ubah Arah Sentimen Pasar
Pelemahan harga minyak yang terjadi belakangan ini dipicu oleh pernyataan Presiden Trump terkait kemajuan diplomatik yang dibuat oleh utusannya, Steve Witkoff, dalam pertemuan dengan Presiden Rusia Vladimir Putin. Harapan akan terciptanya kesepakatan damai di tengah konflik Ukraina mulai tumbuh, namun bersamaan dengan itu, muncul keraguan pasar atas rencana sanksi tambahan yang sempat disiapkan Washington.
Harga minyak mentah Brent turun 1,1 persen, ditutup pada USD66,89 per barel, sementara West Texas Intermediate (WTI) turun 1,2 persen ke posisi USD64,35 per barel. Ini merupakan penurunan lima hari berturut-turut bagi kedua acuan, dengan Brent mencapai titik terendah sejak awal Juni dan WTI di level serupa.
Langkah diplomatik ini menimbulkan spekulasi bahwa sanksi tambahan terhadap Moskow mungkin ditunda atau dilonggarkan, sehingga membuka ruang bagi Rusia produsen minyak terbesar kedua dunia untuk meningkatkan ekspor energinya.
Potensi Peluang Baru di Tengah Ketidakpastian
Dalam pernyataannya, Presiden Trump mengungkapkan bahwa seluruh pihak yang terlibat sepakat perlunya penghentian perang. “Semua pihak sepakat bahwa perang ini harus segera diakhiri, dan kami akan mengupayakannya dalam beberapa hari dan pekan ke depan,” ujar Trump. Meski tanpa rincian spesifik, pernyataan tersebut cukup untuk menimbulkan pergeseran ekspektasi pasar.
Kemungkinan pelonggaran sanksi membuka proyeksi bahwa pasokan minyak global akan meningkat, meskipun proses menuju kesepakatan masih belum pasti. Ketidakpastian ini menjadi alasan utama mengapa pasar cenderung bersikap hati-hati dan reaktif terhadap setiap perkembangan terbaru dari jalur diplomasi tersebut.
India Kembali Jadi Sorotan Global
Sementara itu, perhatian pasar juga tertuju pada India setelah AS menerbitkan kebijakan tarif baru. Presiden Trump menetapkan tarif tambahan sebesar 25 persen terhadap sejumlah barang dari India, menyebut bahwa negara tersebut secara langsung maupun tidak langsung mengimpor minyak dari Rusia. Kebijakan ini dijadwalkan berlaku tiga pekan sejak pengumuman.
India, bersama dengan China, selama ini menjadi salah satu pembeli utama minyak Rusia. Dengan adanya masa tenggang 21 hari, pasar kembali berada dalam kondisi menunggu kepastian.
“Untuk saat ini, masa tenggang 21 hari sebelum tarif baru terhadap India berlaku, sementara Rusia mencoba menyusun semacam kesepakatan gencatan senjata menjelang tenggat 8 Agustus dari Trump, masih meninggalkan terlalu banyak ketidakpastian,” kata Direktur Energi Berjangka Mizuho, Bob Yawger.
Rencana OPEC+ Tambah Pasokan Perbesar Tekanan
Selain ketegangan diplomatik dan isu sanksi, rencana Organisasi Negara-Negara Pengekspor Minyak (OPEC) dan sekutunya untuk menaikkan volume produksi juga menjadi tekanan tambahan bagi harga minyak.
Dengan adanya kemungkinan bertambahnya pasokan dari negara-negara produsen utama, pasar menghadapi tantangan baru dalam menyesuaikan keseimbangan antara suplai dan permintaan. Hal ini turut menjelaskan mengapa harga minyak mengalami koreksi meskipun terdapat penurunan stok minyak mentah di AS.
Kabar Kunjungan Modi Tunjukkan Arah Baru Diplomasi Asia
Kabar lain yang turut mewarnai dinamika pasar adalah rencana kunjungan Perdana Menteri India Narendra Modi ke China, yang akan menjadi kunjungan pertama dalam lebih dari tujuh tahun. Ini dipandang sebagai langkah penting dalam memperkuat dialog antara dua negara ekonomi besar Asia tersebut, di tengah meningkatnya ketegangan India dengan AS.
Kunjungan ini menjadi sinyal positif bagi stabilitas kawasan dan bisa berimbas pada kerja sama energi di masa depan. Di saat yang sama, arah kebijakan energi dari negara-negara besar di Asia tetap menjadi faktor utama dalam menyusun peta permintaan minyak global.
Arab Saudi Naikkan Harga Jual, Permintaan Asia Tetap Kuat
Meskipun pasar minyak tengah menghadapi tekanan dari sisi geopolitik dan rencana suplai tambahan, Arab Saudi tetap menunjukkan optimisme. Negara eksportir minyak terbesar dunia tersebut kembali menaikkan harga jual resmi (OSP) untuk kawasan Asia pada bulan September.
Kenaikan ini merupakan yang kedua berturut-turut dan dipandang sebagai sinyal positif atas prospek permintaan yang tetap kuat di kawasan tersebut. Pasokan yang ketat dan kebutuhan energi yang terus tumbuh di negara-negara Asia menjadi alasan utama di balik keputusan ini.
Persediaan Minyak AS Menurun di Luar Ekspektasi
Pasar juga mencermati laporan mingguan dari Badan Informasi Energi AS (EIA) yang menunjukkan penarikan sebesar 3 juta barel dari stok minyak mentah selama satu pekan terakhir. Angka tersebut jauh melampaui prediksi sebelumnya yang memperkirakan penurunan hanya sekitar 0,6 juta barel.
Meski lebih kecil dibandingkan estimasi dari American Petroleum Institute yang memperkirakan penurunan sebesar 4,2 juta barel, data EIA tetap memberi dorongan fundamental bagi pasar. Penurunan cadangan menunjukkan bahwa konsumsi tetap tinggi di tengah ketidakpastian ekonomi dan geopolitik.
Optimisme Tetap Terjaga Meski Pasar Bergerak Hati-Hati
Meski harga minyak mencatat pelemahan beberapa hari terakhir, pasar tetap menunjukkan kehati-hatian yang wajar. Dinamika global masih terus berkembang, terutama dalam hal hubungan diplomatik antara negara-negara besar dan dampaknya terhadap pasokan energi dunia.
Harapan akan solusi damai antara Rusia dan Ukraina, konsistensi permintaan dari Asia, serta kebijakan produksi dari OPEC+ akan terus menjadi penggerak utama arah pergerakan harga minyak ke depan. Dalam situasi seperti ini, para pelaku pasar cenderung menanti kepastian sebelum mengambil posisi lebih agresif.