Ekonomi Digital ASEAN Melejit, E-Commerce Jadi Motor Utama Pertumbuhan

Jumat, 10 Oktober 2025 | 11:16:54 WIB
Ekonomi Digital ASEAN Melejit, E-Commerce Jadi Motor Utama Pertumbuhan

JAKARTA - Percepatan transformasi digital di kawasan Asia Tenggara terus menciptakan peta baru ekonomi regional. 

Dalam satu dekade terakhir, berbagai sektor — mulai dari e-commerce, transportasi digital, InsureTech, hingga keuangan — mengalami lonjakan signifikan yang mengubah cara masyarakat bekerja, berbelanja, dan berinvestasi.

Laporan e-Conomy SEA 2024 yang dirilis oleh Google, Temasek, dan Bain & Company mencatat, nilai ekonomi digital Asia Tenggara tahun 2024 mencapai USD 263 miliar atau sekitar Rp4.344 triliun (kurs Rp16.583 per USD). 

Angka ini tumbuh 15% secara tahunan (YoY) dan menunjukkan betapa cepatnya masyarakat beradaptasi dengan gaya hidup berbasis digital.

Pertumbuhan ekonomi digital tersebut terutama didorong oleh sektor e-commerce, yang mencatatkan Gross Merchandise Value (GMV) sebesar USD 65 miliar atau Rp1.082 triliun. 

Laporan tersebut menegaskan bahwa e-commerce kini menjadi tulang punggung ekonomi digital, sekaligus pembuktian bahwa pola konsumsi masyarakat telah beralih ke kanal daring secara masif.

“Pertumbuhan itu sebagian besar didorong oleh sektor e-commerce dengan GMV senilai USD 65 miliar atau sekitar Rp1.082 triliun,” tulis laporan tersebut.

Regulasi dan Kepercayaan Publik Jadi Pilar Utama Transformasi

Meski kemajuan digital berlangsung pesat, tantangan terbesar justru muncul pada aspek kepercayaan dan tata kelola. Sektor keuangan dan asuransi yang tengah bertransformasi digital harus menyeimbangkan antara inovasi teknologi dan kepatuhan terhadap regulasi yang kian ketat.

Otoritas Jasa Keuangan (OJK) melalui kebijakan seperti POJK 11/2023 dan POJK 23/2023 menekankan pentingnya governance, manajemen risiko, serta transparansi pelaporan. Regulasi ini ibarat “rem dan pedal gas” yang memastikan industri tetap tumbuh tanpa kehilangan arah akuntabilitas.

Di sisi lain, kepercayaan publik kini menjadi modal terbesar. Dalam era media sosial, reputasi keuangan perusahaan bukan lagi ditentukan oleh laporan tahunan, melainkan oleh pengalaman nyata pengguna. 

Transparansi, kecepatan layanan, dan konsistensi menjadi kunci keberlanjutan di tengah arus digitalisasi yang serba cepat.

Big Data dan Inovasi Produk: Cara Baru Menakar Risiko

Salah satu bentuk konkret transformasi digital di sektor keuangan adalah pemanfaatan big data analytics. Industri asuransi, misalnya, kini mengolah data gaya hidup, histori kesehatan, dan perilaku finansial nasabah untuk menilai risiko lebih akurat serta menciptakan produk yang lebih personal.

Beberapa perusahaan telah mengembangkan produk asuransi berbasis penggunaan (usage-based insurance) — di mana premi disesuaikan dengan perilaku pengguna, seperti jumlah langkah harian atau frekuensi berkendara.

Pendekatan ini bukan hanya meningkatkan efisiensi, tetapi juga mengurangi potensi kecurangan (fraud) yang selama ini menjadi masalah klasik industri asuransi.

 Berdasarkan data Asosiasi Asuransi Umum Indonesia (AAUI), fraud dalam klaim asuransi umum dapat mencapai 10% dari total klaim tahunan.

Dalam laporan Triwulan IV-2024, premi industri asuransi umum tercatat sebesar Rp112,9 triliun, tumbuh 8,7% YoY dibandingkan tahun sebelumnya. Namun, peningkatan premi ini tidak serta-merta menurunkan potensi fraud — menandakan pentingnya digitalisasi dalam kontrol risiko dan validasi klaim.

AI Dorong Kecepatan dan Transparansi Proses Klaim

Transformasi digital juga ditopang oleh kecerdasan buatan (AI) yang kini banyak diadopsi di sektor keuangan dan asuransi. AI berperan penting dalam mempercepat validasi dokumen klaim, menganalisis anomali, dan mendeteksi indikasi penipuan.

Beberapa perusahaan melaporkan bahwa waktu penyelesaian klaim yang sebelumnya membutuhkan hingga 7 hari, kini dapat diselesaikan dalam waktu kurang dari 24 jam. Lebih dari itu, tingkat akurasi deteksi fraud bahkan mencapai lebih dari 90%.

Implementasi AI tidak hanya meningkatkan efisiensi, tetapi juga menjaga akuntabilitas. Semua proses kini terekam digital dan mudah diaudit, sejalan dengan arah kebijakan regulator yang menuntut transparansi tinggi di setiap tahap layanan keuangan.

Produk yang Lebih Inklusif dan Personal

Dengan dukungan data dan teknologi AI, perusahaan kini dapat menciptakan produk asuransi yang lebih personal dan inklusif. Contohnya, asuransi perjalanan berbasis jarak tempuh, proteksi kesehatan jangka pendek, hingga produk digital mikro untuk pengguna aktif layanan daring.

Langkah ini sekaligus mendukung agenda inklusi keuangan nasional. Berdasarkan data OJK per September 2024, penetrasi asuransi Indonesia tercatat 2,80% terhadap PDB, dengan densitas rata-rata Rp2.080.020 per kapita per tahun.

 Namun, per Februari 2025, penetrasi tersebut sedikit menurun menjadi 2,72%.

Angka itu masih jauh tertinggal dibandingkan negara ASEAN lain seperti Malaysia (4,8%) dan Singapura (11,4%). Data ini menunjukkan bahwa ruang pertumbuhan industri asuransi digital di Indonesia masih sangat besar.

E-Commerce dan Transportasi Digital Jadi Motor Pertumbuhan

Laporan e-Conomy SEA 2024 juga mencatat video commerce kini menyumbang 20% dari total GMV e-commerce, naik pesat dari di bawah 5% pada 2022. Selain itu, transportasi dan layanan pengantaran di Indonesia tumbuh 13% YoY hingga mencapai nilai US$9 miliar pada 2024.

Sektor perbankan pun tidak ketinggalan, dengan pengembangan super app finansial dan integrasi layanan multi-dimensi yang semakin kuat. 

Hal ini membuktikan bahwa transformasi digital bukan sekadar tren sementara, tetapi strategi jangka panjang untuk menjaga ketahanan ekonomi dan memperkuat kepercayaan publik.

Masa Depan Ekonomi Digital: Antara Akuntabilitas dan Adaptasi

Dengan penetrasi asuransi yang masih rendah dan ruang pertumbuhan e-commerce yang besar, transformasi digital di Asia Tenggara — khususnya Indonesia — masih akan terus berlanjut.

 Namun, pertumbuhan berkelanjutan hanya bisa dicapai jika akuntabilitas, kepercayaan, dan tata kelola menjadi pondasi utama.

Di era keterbukaan informasi, kesalahan sekecil apa pun bisa viral dan menggoyahkan reputasi perusahaan. Karena itu, yang bertahan bukanlah yang paling besar atau paling canggih teknologinya, melainkan yang paling adaptif, akuntabel, dan dipercaya.

Transformasi digital bukan lagi pilihan, melainkan keharusan — karena dalam ekonomi masa depan, kepercayaan adalah mata uang paling berharga.

Terkini