JAKARTA - Harga minyak mentah dunia kembali tertekan di awal pekan ini seiring meningkatnya ketegangan dagang antara Amerika Serikat (AS) dan China.
Konflik ekonomi dua negara dengan ekonomi terbesar di dunia itu memunculkan kekhawatiran pasar terhadap prospek permintaan minyak global, di tengah proyeksi surplus pasokan yang diperingatkan oleh Badan Energi Internasional (IEA).
Pada awal perdagangan Rabu 15 Oktober 2025, harga minyak mentah berjangka Brent turun 0,19 persen menjadi 62,27 dolar AS per barel, sedangkan minyak mentah West Texas Intermediate (WTI) melemah 0,17 persen ke level 58,60 dolar AS per barel.
Kedua kontrak acuan tersebut kini berada di titik terendah dalam lima bulan terakhir, memperpanjang tren pelemahan yang telah berlangsung sejak awal Oktober.
Ketegangan Dagang AS-China Tekan Sentimen Pasar
Pasar energi global kembali bergejolak setelah hubungan dagang AS dan China memanas. Ketegangan terbaru dipicu oleh keputusan Beijing memperluas kontrol ekspor terhadap tanah jarang, bahan penting untuk industri teknologi dan energi bersih.
Sebagai respons, Presiden AS Donald Trump mengancam akan memberlakukan tarif impor hingga 100 persen terhadap produk asal Tiongkok serta memperketat pembatasan ekspor perangkat lunak mulai 1 November.
Kebijakan saling balas ini menimbulkan kekhawatiran bahwa eskalasi perang dagang dapat menekan aktivitas manufaktur, memperlambat pertumbuhan global, dan pada akhirnya mengurangi kebutuhan energi, termasuk minyak mentah.
Selain itu, kedua negara juga mulai mengenakan biaya tambahan di pelabuhan untuk operator kapal, yang menambah tekanan biaya pada rantai logistik global.
Pemerintah China bahkan menjatuhkan sanksi terhadap lima anak perusahaan pembuat kapal asal Korea Selatan, Hanwha Ocean, karena dianggap memiliki keterkaitan dengan perusahaan-perusahaan AS.
Situasi ini memperburuk sentimen investor yang sebelumnya sudah berhati-hati menghadapi ketidakpastian geopolitik dan fluktuasi ekonomi global.
Surplus Pasokan Kian Membayangi Harga Minyak
Selain ketegangan politik, penurunan harga minyak juga dipicu oleh faktor fundamental, yakni meningkatnya potensi kelebihan pasokan di pasar global. IEA memperkirakan pasar minyak dunia dapat menghadapi surplus hingga 4 juta barel per hari pada 2026, lebih tinggi dari perkiraan sebelumnya.
Kondisi tersebut disebabkan oleh peningkatan produksi dari negara-negara anggota OPEC+ dan para produsen besar non-OPEC, sementara permintaan global masih bergerak lambat akibat tekanan ekonomi dan perlambatan konsumsi industri.
Analis energi dari Haitong Futures, Yang An, menyebut bahwa kelebihan pasokan menjadi kunci utama yang menentukan arah harga minyak dalam waktu dekat.
Ia menilai perubahan tingkat persediaan global menjadi indikator utama bagi investor untuk menilai apakah harga minyak masih akan melanjutkan tren penurunan.
“Di luar isu perdagangan AS-Tiongkok dan perkembangan perundingan, faktor utama yang memengaruhi harga minyak adalah tingkat kelebihan pasokan, yang tercermin dalam dinamika persediaan global,” ujar Yang An, dikutip Reuters.
Produksi Naik, Permintaan Tetap Lesu
Meski pasar sudah diwarnai ketidakpastian sejak awal tahun, produsen minyak utama tampak tetap menambah output.
Negara-negara anggota OPEC+ seperti Arab Saudi dan Rusia berupaya mempertahankan pangsa pasar mereka dengan meningkatkan produksi secara bertahap, terutama setelah harga sempat menguat pada kuartal kedua 2025.
Namun, di sisi lain, permintaan dari sektor industri dan transportasi belum menunjukkan tanda-tanda pemulihan kuat. Perlambatan ekonomi di China, yang merupakan importir minyak terbesar dunia, turut memperburuk prospek permintaan global.
Faktor lain yang menekan pasar adalah meningkatnya produksi dari Amerika Serikat. Lonjakan output minyak serpih (shale oil) di negara itu membuat pasokan global semakin longgar, sekaligus menekan harga jual dari negara-negara produsen tradisional.
Risiko Ekonomi Global Masih Tinggi
Ketegangan dagang yang kembali meningkat juga menimbulkan risiko domino terhadap stabilitas ekonomi global. Investor khawatir jika konflik AS-China berkepanjangan, maka pertumbuhan ekonomi dunia akan melambat, mengurangi permintaan energi secara struktural.
Ekonom memperingatkan bahwa sektor-sektor padat energi seperti manufaktur dan logistik bisa terkena dampak langsung. Aktivitas industri yang menurun berarti konsumsi minyak dan gas juga ikut melemah, sehingga memperburuk keseimbangan antara pasokan dan permintaan.
Selain faktor ekonomi, sentimen pasar juga dipengaruhi oleh kebijakan moneter global yang ketat. Suku bunga tinggi di berbagai negara menyebabkan permintaan energi tertekan karena biaya produksi dan transportasi meningkat.
Harapan Pemulihan Masih Bergantung pada Kebijakan Global
Meski tekanan harga masih kuat, sebagian analis melihat peluang rebound apabila ketegangan perdagangan bisa diredam dan kebijakan fiskal global kembali mendukung pemulihan ekonomi.
Jika perundingan antara AS dan China menghasilkan kompromi baru, permintaan energi berpotensi meningkat seiring membaiknya aktivitas industri.
Namun, selama risiko geopolitik masih tinggi dan proyeksi surplus pasokan belum terselesaikan, harga minyak kemungkinan akan bergerak dalam tren lemah dalam jangka pendek.
Pasar kini menunggu sinyal dari pertemuan Organisasi Negara-Negara Pengekspor Minyak (OPEC) berikutnya untuk melihat apakah akan ada langkah konkret dalam menyeimbangkan kembali pasar minyak global.
Keputusan pengurangan produksi atau kebijakan stabilisasi harga diyakini akan menjadi faktor penting dalam menentukan arah harga energi hingga akhir tahun.
Dalam kondisi saat ini, pelaku industri minyak dihadapkan pada dilema antara menjaga produksi untuk mempertahankan pendapatan dan menghindari kelebihan pasokan yang justru menekan harga.
Ketidakpastian global membuat strategi bisnis di sektor energi harus lebih adaptif terhadap perubahan kebijakan ekonomi dan geopolitik dunia.