BMKG Prediksi Suhu Bumi Naik 3,5 Derajat Celcius

Jumat, 17 Oktober 2025 | 16:11:59 WIB
BMKG Prediksi Suhu Bumi Naik 3,5 Derajat Celcius

JAKARTA - Indonesia dan dunia tengah menghadapi ancaman serius akibat perubahan iklim. Kepala Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) Dwikorita Karnawati memprediksi, dalam skenario terburuk, suhu global bisa meningkat hingga 3,5 derajat Celcius pada akhir abad ini. 

Dampaknya, pola cuaca akan menjadi semakin ekstrem, dengan curah hujan dan kekeringan yang tidak menentu di berbagai wilayah.

“Apabila kita gagal mengendalikan laju kenaikan suhu, ini proyeksi skenario terburuk. Kenaikan suhu permukaan bisa melompat menjadi 3,5 derajat Celcius lebih hangat dibandingkan 200 tahun lalu, di tahun 2100,” ujar Dwikorita dalam acara Insight with Desi Anwar.

Target Paris Agreement

Prediksi ini jauh melampaui target dari Kesepakatan Paris (Paris Agreement) yang berupaya menjaga kenaikan suhu global tidak melebihi 2 derajat Celcius, dan idealnya hanya 1,5 derajat Celcius. 

Kegagalan mengendalikan laju pemanasan global akan menimbulkan konsekuensi serius bagi ekosistem, manusia, dan infrastruktur.

Dwikorita menekankan, jika skenario terburuk ini terjadi, kondisi ekstrem akan menjadi “kenormalan baru” di seluruh dunia. Curah hujan ekstrem akan lebih sering muncul, intensitasnya meningkat, dan durasinya lebih panjang.

Dampak di Indonesia

BMKG memproyeksikan dampak kenaikan suhu terhadap Indonesia tidak merata. Wilayah utara dan tengah Indonesia kemungkinan akan mengalami peningkatan curah hujan lebih dari 20 persen dibanding rata-rata 30 tahun terakhir. 

Sementara itu, wilayah selatan Tanah Air diperkirakan akan semakin kering akibat penurunan curah hujan. “Curah hujan ekstrem itu semakin sering. Intensitasnya semakin melonjak dan durasinya semakin panjang,” ujar Dwikorita. 

Artinya, bencana banjir, tanah longsor, dan kekeringan akan menjadi risiko yang lebih tinggi di berbagai wilayah. Selain itu, dampak suhu ekstrem akan menimbulkan efek domino pada sektor pertanian, perikanan, dan ketahanan pangan. 

Petani dan nelayan menghadapi tantangan baru karena pola curah hujan dan musim tanam yang berubah. Sementara wilayah perkotaan bisa menghadapi risiko banjir yang lebih tinggi, memperburuk kondisi infrastruktur dan transportasi.

Tren Peningkatan Suhu

Dwikorita menjelaskan, peningkatan suhu global yang drastis merupakan fenomena baru. Dari tahun 1900 hingga 1980, kenaikan suhu relatif landai. Namun, setelah 1980, suhu permukaan bumi meningkat cepat, terutama dalam dekade terakhir yang tercatat sebagai periode terpanas dalam sejarah.

“10 tahun terakhir ini peningkatan suhu permukaan bumi semakin melonjak. Tahun 2023 adalah tahun El Nino, dan 2024 adalah peralihan menuju kondisi La Nina. Fase-fase tersebut meningkatkan risiko kekeringan dan banjir di berbagai wilayah dunia, termasuk Indonesia,” tambahnya.

Pada Maret 2025, Dwikorita mengungkap bahwa tahun 2024 mencatat kenaikan suhu global hingga 1,55 derajat Celcius. Tren ini menunjukkan percepatan pemanasan bumi yang signifikan, memperkuat urgensi tindakan global untuk mitigasi.

Ancaman Ekstrem dan Ketahanan Nasional

Pemanasan global yang tidak terkendali tidak hanya berdampak pada cuaca, tetapi juga menimbulkan risiko bagi ketahanan pangan, energi, dan air. Perubahan curah hujan memengaruhi produktivitas pertanian, sedangkan kekeringan dapat mengancam suplai air dan energi hidroelektrik.

Dwikorita menekankan, seluruh dunia harus mengambil langkah cepat untuk mencegah skenario terburuk ini. Strategi mitigasi dan adaptasi harus menjadi prioritas, termasuk pengelolaan sumber daya alam berbasis sains, modernisasi infrastruktur, serta edukasi masyarakat mengenai ancaman perubahan iklim.

Salah satu perhatian khusus adalah tata kelola air dan sumber daya alam. Infrastruktur yang ada saat ini, seperti bendungan dan sistem pengairan, banyak dibangun puluhan tahun lalu dan belum mempertimbangkan dampak perubahan iklim. 

Hal ini membuat ketahanan infrastruktur semakin rentan menghadapi fenomena ekstrem.

Peran Indonesia dalam Penanganan Perubahan Iklim

Sebagai negara kepulauan dengan garis pantai panjang, Indonesia memiliki kerentanan tinggi terhadap cuaca ekstrem dan kenaikan muka air laut. Selain mitigasi bencana, pemerintah juga harus menyiapkan strategi adaptasi jangka panjang untuk menjaga ketahanan nasional.

Dwikorita menekankan pentingnya kebijakan berbasis data ilmiah (science-based policy), mulai dari tata kelola air, pengendalian banjir, hingga strategi pertanian yang tahan perubahan iklim. 

“Kebijakan bukan hanya untuk mencegah bencana, tetapi juga untuk menyiapkan ketahanan pangan hingga ketahanan energi,” ujarnya.

Penerapan kebijakan berbasis sains juga penting untuk menjaga keberlanjutan ekosistem dan mencegah degradasi lingkungan. Penanaman pohon, restorasi mangrove, serta pengelolaan kawasan pesisir menjadi langkah adaptasi yang bisa mengurangi risiko banjir dan abrasi pantai.

Kenaikan suhu global hingga 3,5 derajat Celcius merupakan skenario paling ekstrem, tetapi potensi terjadinya nyata jika tidak ada penanganan serius. Indonesia akan menghadapi perubahan curah hujan yang tidak merata, kekeringan, dan banjir lebih sering, sehingga risiko bencana meningkat.

BMKG menegaskan bahwa tindakan adaptasi dan mitigasi harus menjadi prioritas, dengan pendekatan terpadu dan berbasis sains. 

Tanpa langkah konkret, “kenormalan baru” berupa cuaca ekstrem akan menjadi bagian dari kehidupan sehari-hari, menantang ketahanan pangan, energi, dan keberlanjutan lingkungan di Indonesia dan seluruh dunia.

Dengan kata lain, prediksi kenaikan suhu ini menjadi peringatan keras: pemanasan global bukan sekadar isu masa depan, tetapi ancaman nyata yang membutuhkan respons segera dari semua pihak. 

Jika upaya mitigasi gagal, Indonesia dan dunia akan menghadapi risiko bencana yang jauh lebih tinggi dan berdampak luas pada kehidupan masyarakat, ekonomi, dan ekosistem bumi.

Terkini