JAKARTA — Maraknya penggunaan gadget di kalangan anak-anak, termasuk balita, kini menjadi perhatian serius kalangan medis dan psikolog perkembangan anak. Meski teknologi memberikan berbagai kemudahan dalam akses informasi dan hiburan, dampaknya terhadap tumbuh kembang anak bisa sangat merugikan bila tidak dikendalikan dengan baik.
Dalam sebuah seminar media yang digelar secara daring oleh Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI) di Jakarta, dokter spesialis anak, dr. Farid Agung Rahmadi, M.Si., Med., Sp.A (K), menegaskan bahwa penggunaan gadget secara berlebihan, terutama oleh anak usia di bawah dua tahun, dapat mengganggu perkembangan otak dan menurunkan kualitas interaksi sosial yang esensial bagi pertumbuhan kognitif mereka.
“Pada usia dini, otak anak sedang berada dalam fase perkembangan yang sangat cepat karena plastisitas otak sedang maksimal. Terjadi banyak proses sinaptogenesis atau pembentukan koneksi antar sel saraf yang krusial untuk perkembangan kognitif,” ujar dr. Farid.
Masa Kritis Tumbuh Kembang
Anak-anak berusia di bawah dua tahun berada dalam fase yang disebut sebagai golden age atau masa emas perkembangan. Pada fase ini, otak anak berkembang sangat pesat dan sangat bergantung pada stimulasi dari lingkungan sekitar serta kualitas interaksi dengan orang tua atau pengasuh. Namun, paparan layar secara berlebihan dapat mengganggu proses alami tersebut.
Dr. Farid menegaskan bahwa screen time istilah untuk menggambarkan lamanya seseorang terpapar layar digital seperti televisi, komputer, laptop, atau ponsel pintar jika berlebihan dapat mengurangi intensitas interaksi langsung antara anak dan orang tua. Padahal, interaksi semacam itu sangat penting untuk merangsang kecerdasan emosional, sosial, dan bahasa anak.
“Akibatnya, anak kehilangan banyak kesempatan untuk belajar melalui interaksi sosial dan eksplorasi langsung dengan lingkungan,” jelasnya.
Gangguan pada Pola Bermain dan Fokus Anak
Dalam paparannya, dr. Farid juga mengungkapkan bahwa saat anak menghabiskan terlalu banyak waktu di depan layar, kualitas permainan mereka menjadi berkurang. Permainan yang seharusnya bersifat aktif dan kreatif, seperti menyusun balok, menggambar, atau bermain peran, digantikan oleh aktivitas pasif seperti menonton video. Akibatnya, fokus perhatian anak menurun, dan kompleksitas permainan menjadi sangat terbatas.
Kondisi ini tak hanya menghambat kemampuan motorik halus dan kasar, tetapi juga memperlambat perkembangan sosial anak. Anak cenderung tidak memiliki cukup pengalaman dalam memahami ekspresi wajah, bahasa tubuh, dan intonasi suara semua itu merupakan elemen penting dalam proses belajar komunikasi.
Gawai Pribadi Gantikan Televisi
Jika dulu televisi menjadi sumber utama hiburan dengan waktu tayang terbatas, kini dominasi media telah berpindah ke gawai pribadi. Anak-anak bahkan memiliki akses sendiri ke perangkat seperti tablet dan smartphone, yang digunakan tidak hanya untuk hiburan, tetapi juga sebagai alat pembelajaran.
Namun, dr. Farid memperingatkan bahwa meskipun banyak aplikasi dan konten digital yang diklaim edukatif, penggunaannya tetap harus diawasi ketat dan dibatasi durasinya. Ia menyebutkan data dari Kanada, yang menunjukkan peningkatan signifikan dalam penggunaan gawai oleh anak-anak dalam rentang waktu singkat.
“Pada tahun 2011, sekitar 39 persen anak-anak telah terpapar gawai pribadi. Dua tahun kemudian, angka ini melonjak menjadi 80 persen. Seiring dengan itu, durasi screen time pun meningkat drastis hingga rata-rata mencapai empat jam per hari dari berbagai perangkat,” ungkapnya.
Perlu Upaya Bersama Orang Tua dan Pengasuh
Fenomena ini menurutnya menunjukkan perlunya keterlibatan aktif orang tua dan pengasuh dalam mengelola paparan media digital terhadap anak-anak. Mereka harus lebih sadar terhadap potensi risiko yang timbul dari penggunaan gadget berlebihan dan mulai menggantinya dengan aktivitas yang lebih sehat dan interaktif.
Dr. Farid menyarankan agar orang tua menyediakan lebih banyak waktu untuk berinteraksi secara langsung dengan anak, termasuk melalui kegiatan sederhana seperti membaca buku bersama, bermain di luar rumah, atau mengajak anak bercerita. Semua aktivitas ini lebih bermanfaat dalam membentuk jaringan saraf otak yang sehat dan membangun kemampuan sosial yang kuat.
“Interaksi langsung, permainan fisik, dan kegiatan kreatif jauh lebih bermanfaat bagi perkembangan otak dan kemampuan sosial anak dibandingkan paparan pasif dari layar digital,” ujarnya menegaskan.
Rekomendasi untuk Orang Tua
Berdasarkan rekomendasi IDAI dan organisasi kesehatan internasional seperti WHO dan American Academy of Pediatrics, berikut adalah beberapa pedoman penggunaan layar yang disarankan:
-Anak usia di bawah 2 tahun tidak disarankan untuk menggunakan perangkat elektronik, kecuali untuk video call yang bersifat interaktif dan didampingi oleh orang tua.
-Anak usia 2-5 tahun disarankan maksimal 1 jam screen time per hari, dengan konten yang berkualitas dan pendampingan orang tua.
-Orang tua dianjurkan untuk menjadi contoh dalam penggunaan gadget, serta menciptakan zona bebas layar di waktu-waktu tertentu seperti saat makan dan menjelang tidur.
-Pastikan anak tetap mendapatkan aktivitas fisik, tidur cukup, serta waktu bermain kreatif dan sosial setiap harinya.
Kesadaran Publik Jadi Kunci
Fenomena meningkatnya ketergantungan anak pada layar digital harus menjadi perhatian bersama. Edukasi kepada masyarakat, terutama orang tua dan pendidik, menjadi kunci untuk meminimalkan risiko dampak negatif teknologi terhadap generasi muda.
Dr. Farid mengajak seluruh pihak untuk tidak hanya fokus pada kecanggihan teknologi, tetapi juga memprioritaskan kebutuhan dasar perkembangan anak melalui interaksi sosial, kasih sayang, dan stimulasi lingkungan yang mendukung.
“Kita tidak bisa menghindari kemajuan teknologi, tetapi kita bisa mengelolanya agar tidak menjadi bumerang bagi anak-anak kita,” pungkasnya.