BUMN

BUMN dan Ancaman Bonus Semu di Balik Kursi Komisaris Pajangan

BUMN dan Ancaman Bonus Semu di Balik Kursi Komisaris Pajangan
BUMN dan Ancaman Bonus Semu di Balik Kursi Komisaris Pajangan

JAKARTA — Wacana bonus dan tantiem untuk jajaran direksi serta komisaris di lingkungan BUMN kembali menghangat. Sorotan tajam bukan lagi soal besaran nominal yang diterima, melainkan soal kelayakan dan keabsahan proses di balik bonus tersebut. Terutama ketika performa perusahaan tidak sejalan dengan besarnya insentif yang dibagikan.

Sorotan ini mencuat seiring pengakuan mengejutkan dari Dony Oskaria, Chief Operating Officer (COO) Badan Pengelola Investasi Daya Anagata Nusantara (Danantara), yang menyinggung adanya praktik rekayasa laporan keuangan oleh sejumlah direksi BUMN. Praktik ini, kata Dony, justru diduga mendapat restu dari para komisaris yang seharusnya bertugas mengawasi.

Dalam pernyataannya, Dony tidak sekadar menuding tanpa dasar. Ia menyebut bahwa direksi kerap menunda sejumlah biaya operasional untuk memberikan kesan bahwa perusahaan membukukan laba besar, sehingga tampak layak mendapatkan bonus besar. Padahal, itu hanyalah ilusi keuntungan jangka pendek yang bisa menjatuhkan perusahaan dalam jangka panjang. “Menurut saya, itu adalah manipulasi yang menyebabkan perusahaan itu jatuh,” ujar Dony saat menghadiri acara IKA Fikom Unpad Executive Breakfast Meeting di Hutan Kota by Plataran, Jakarta.

Dony yang juga merupakan Wakil Menteri BUMN menekankan bahwa banyak BUMN gagal bertahan karena tidak memiliki visi jangka panjang dan lemahnya sistem pengawasan. Ia menyebut praktik rekayasa laba demi bonus ini sebagai salah satu bentuk moral hazard yang sangat merusak.

Meski tak menyebut nama perusahaan secara spesifik, Dony memberi indikasi kuat bahwa fenomena tersebut terjadi, bahkan di lingkungan bank-bank pelat merah. Ia menyebut, di tengah harga saham yang merosot dan rasio kredit bermasalah (non-performing loan/NPL) yang meningkat, perusahaan tetap memoles laporan keuangan agar terlihat sehat. Sementara cadangan kerugian menipis, bonus justru membengkak.

Ironisnya, praktik ini berlangsung saat jajaran direksi seolah menikmati hak istimewa, dengan dorongan dari para komisaris yang nyatanya mulai banyak diisi oleh pejabat tinggi negara. Salah satu tren terbaru adalah penunjukan para Wakil Menteri (Wamen) sebagai komisaris BUMN.

Menurut catatan Biro Riset Infobank (birI), saat ini terdapat setidaknya 25 wamen yang merangkap jabatan sebagai komisaris BUMN. Dengan keberadaan 56 wakil menteri dalam Kabinet Merah Putih pimpinan Presiden Prabowo Subianto, angka ini diprediksi akan terus bertambah. Apalagi jika mempertimbangkan politisi yang mundur dari partai dan kemudian ditarik menjadi komisaris.

Pemerintah berdalih bahwa tidak ada pelanggaran hukum dalam hal ini. Mahkamah Konstitusi melalui putusannya hanya melarang menteri merangkap jabatan, bukan wakil menteri. Namun di balik dalih legal tersebut, muncul pertanyaan fundamental: apakah para wamen ini benar-benar mampu menjalankan fungsi pengawasan di BUMN, ataukah sekadar menjadi “komisaris pajangan”?

Situasi ini memunculkan persepsi bahwa rangkap jabatan tersebut lebih karena daya tarik bonus dan fasilitas ketimbang niat tulus memperbaiki tata kelola perusahaan milik negara. Terlebih, banyak yang menilai kehadiran wamen di posisi komisaris justru berpotensi melegitimasi praktik rekayasa kinerja yang dilakukan oleh direksi.

Jika benar demikian, maka ada krisis tata kelola yang lebih dalam. Dony pun mengingatkan bahwa sistem bonus seharusnya hanya diberikan jika sejalan dengan performa riil dan risiko yang dihadapi oleh perusahaan. Pemberian insentif besar tanpa dasar yang valid hanyalah bentuk pengingkaran terhadap prinsip remunerasi yang sehat. “Hal ini jelas bertentangan dengan prinsip dasar remunerasi: reward harus sejalan dengan risiko dan kinerja,” kata Dony.

Fenomena ini, menurut banyak pengamat, mengindikasikan adanya konflik kepentingan yang sistematis. Keberadaan wamen yang justru tidak memenuhi kompetensi sebagai komisaris malah menjadi pembenaran atas laporan keuangan yang direkayasa.

Kondisi ini memperlihatkan adanya anomali yang sangat membahayakan bagi masa depan BUMN. Terlebih, bila tidak segera dilakukan reformasi menyeluruh terhadap sistem pemberian bonus dan tantiem. Audit forensik independen harus dijalankan untuk memastikan bahwa bonus diberikan sesuai dengan pencapaian kinerja sesungguhnya.

Lebih jauh, sanksi personal juga harus dipertimbangkan apabila terbukti ada manipulasi atau rekayasa dalam laporan keuangan. Pemerintah, sebagai pemegang saham mayoritas, semestinya mengambil peran sentral dalam pembenahan ini sebelum publik kehilangan kepercayaan. “Bonus boleh ada, tapi hanya jika diiringi dengan tanggung jawab besar,” tegas Dony.

Namun, kenyataan di lapangan menunjukkan pesimisme. Banyak kalangan ragu bahwa kehadiran para wamen sebagai komisaris akan membawa perubahan signifikan. Alih-alih mengungkap praktik kotor di dalam tubuh BUMN, mereka justru dikhawatirkan ikut menikmati fasilitas dan bonus besar tanpa kontribusi nyata.

Jika dugaan tersebut benar, maka penempatan para wamen tak lebih dari strategi politik yang mengorbankan integritas perusahaan milik negara. Kesehatan BUMN dipertaruhkan demi akomodasi kekuasaan.

Pada akhirnya, yang disampaikan Dony Oskaria seharusnya menjadi alarm keras bahwa ada yang perlu dibenahi secara struktural. Rekayasa laba, pembagian bonus yang tidak proporsional, hingga keberadaan komisaris yang hanya simbolik semuanya merupakan cerminan dari rapuhnya tata kelola di lingkungan BUMN.

Rekomendasi

Index

Berita Lainnya

Index