Garuda Indonesia

Garuda Indonesia Kembali Disuntik Dana

Garuda Indonesia Kembali Disuntik Dana
Garuda Indonesia Kembali Disuntik Dana

JAKARTA - Garuda Indonesia kembali menerima suntikan dana jumbo dari Danantara senilai Rp6,65 triliun. Kucuran dana ini disebut sebagai bagian lanjutan dari proses restrukturisasi maskapai pelat merah tersebut, yang sudah dimulai sejak pasca-pandemi. Ini tentu bukan kabar baru, mengingat pada 2022 lalu, pemerintah juga telah menggelontorkan dana sebesar Rp7,5 triliun untuk menyelamatkan Garuda Indonesia dari ancaman kebangkrutan.

Dengan demikian, total dana yang telah disuntikkan ke tubuh Garuda Indonesia dalam tiga tahun terakhir telah mencapai Rp14,15 triliun. Angka yang luar biasa besar, dan tentu mengundang banyak tanya dari berbagai pihak.

Jika diibaratkan manusia, Garuda Indonesia seperti pasien yang terus menerima suntikan dosis tinggi. Hal ini tentu membuat publik bertanya-tanya: sakit apa sebenarnya yang diderita Garuda Indonesia, hingga membutuhkan bantuan berulang kali dan belum kunjung sembuh juga?

Pertanyaan ini muncul bukan tanpa alasan. Dalam dunia medis, kondisi seorang pasien yang terus-menerus harus mendapatkan suntikan tentu mengindikasikan adanya penyakit serius yang belum berhasil diatasi. Dalam konteks korporasi, suntikan dana sebesar puluhan triliun rupiah pun mengindikasikan adanya masalah mendasar yang belum sepenuhnya terselesaikan.

Sebagai maskapai kebanggaan nasional, Garuda Indonesia seharusnya menjadi tulang punggung dalam menggerakkan sektor pariwisata, memperlancar pengiriman logistik, dan tentu menjadi salah satu motor pemasukan negara. Namun kondisi keuangannya justru menunjukkan gejala sebaliknya: rentan, lemah, dan tergantung pada intervensi eksternal dalam bentuk dana talangan.

Mengapa perusahaan sebesar Garuda Indonesia bisa terus membutuhkan dana tambahan dalam skala jumbo? Di mana letak penyakitnya?

Publik tentu sulit mendapat jawaban pasti dari pertanyaan itu. Sama seperti dalam dunia kedokteran, rekam medis seorang pasien tidak bisa begitu saja dibuka ke publik. Begitu pula dalam dunia bisnis dan korporasi: masalah internal perusahaan kadang tidak bisa diungkap ke luar secara transparan karena menyangkut strategi, reputasi, dan kepercayaan investor.

Yang menjadi pertanyaan berikutnya adalah: siapa sebenarnya “dokter” yang memutuskan bahwa Garuda Indonesia harus kembali disuntik dana sebesar itu?

Dalam hal ini, tentu yang dimaksud adalah pihak-pihak yang memiliki wewenang dalam pengambilan keputusan strategis perusahaan, termasuk pemegang saham utama dan Kementerian BUMN sebagai pemilik mayoritas. Mereka yang dianggap memahami betul kondisi internal perusahaan dan menilai bahwa suntikan dana adalah opsi terbaik untuk mempertahankan eksistensi Garuda di tengah tantangan operasional dan keuangan yang belum kunjung mereda.

Namun, publik tetap berhak bertanya dan menuntut transparansi. Karena pada akhirnya, dana yang disuntikkan berasal dari kantong negara—yang tak lain dan tak bukan merupakan milik rakyat.

Apakah suntikan dana kali ini akan menjadi yang terakhir? Atau justru akan ada episode lanjutan dalam skenario penyelamatan Garuda Indonesia?

Jika mengikuti logika medis, maka harus ada pengobatan yang menyeluruh dan menyasar akar masalah. Hanya dengan begitu, pemulihan jangka panjang bisa benar-benar tercapai dan pasien (dalam hal ini, Garuda Indonesia) tidak perlu terus-menerus mengandalkan terapi suntik.

Menariknya, bersamaan dengan suntikan dana terbaru ini, Garuda Indonesia juga melakukan perombakan sejumlah direksi. Ini menjadi semacam “obat tambahan”, yang diharapkan bisa membawa efek positif terhadap pengelolaan internal perusahaan. Reposisi manajemen diyakini sebagai upaya untuk menyuntikkan semangat dan arah baru agar restrukturisasi berjalan efektif, efisien, dan memberi dampak signifikan.

Namun tentu, tidak cukup hanya mengubah struktur direksi. Dibutuhkan langkah-langkah konkret dalam restrukturisasi bisnis, efisiensi biaya, pengelolaan armada, layanan pelanggan, dan pembukaan rute yang menguntungkan agar maskapai nasional ini bisa kembali terbang tinggi tanpa terus-terusan disuntik dana publik.

Apalagi, dalam era persaingan global saat ini, maskapai penerbangan dituntut untuk adaptif, inovatif, dan profesional. Ketergantungan berlarut pada penyelamatan negara justru bisa mengikis kepercayaan pasar serta investor.

Garuda Indonesia kini berada di persimpangan penting. Apakah akan pulih dan bangkit menjadi perusahaan yang sehat dan menguntungkan? Ataukah akan terus menjadi “pasien kronis” yang selalu butuh suntikan?

Waktu yang akan menjawab.

Satu hal yang pasti, dengan total Rp14,15 triliun yang telah dikucurkan, publik tentu berharap besar agar dana tersebut tidak sia-sia. Garuda Indonesia harus mampu menunjukkan transformasi nyata dalam performa operasional dan keuangan, agar publik tidak hanya melihatnya sebagai “pasien”, melainkan sebagai simbol kebangkitan industri penerbangan nasional.

Rekomendasi

Index

Berita Lainnya

Index