JAKARTA - Di tengah pengetatan belanja negara oleh pemerintah, PT PP Tbk. (PTPP) justru melihat peluang cerah dari sektor swasta dan Badan Usaha Milik Negara (BUMN) sebagai penopang utama perolehan kontrak barunya. Tak lagi sepenuhnya bergantung pada proyek pemerintah, perusahaan konstruksi pelat merah ini membidik kontrak senilai Rp 28,5 triliun sepanjang tahun 2025.
Strategi ini bukan tanpa dasar. Hingga Mei 2025, PTPP telah mengantongi kontrak baru senilai Rp 7,65 triliun, yang setara 26,9% dari target tahunan. Sumber pendanaan proyek-proyek tersebut menunjukkan arah baru: 44% berasal dari BUMN, 36% dari swasta, dan hanya 20% dari pemerintah. Angka ini menegaskan bahwa proyek non-pemerintah kini memainkan peran penting dalam pertumbuhan PTPP.
Distribusi proyek yang berhasil diraih PTPP juga mencerminkan diversifikasi sektor. Proyek pelabuhan menyumbang kontribusi terbesar dengan 35%, disusul gedung (33%), jalan dan jembatan (25%), bendungan (4%), serta irigasi (3%). Angka-angka ini menunjukkan fokus perusahaan pada proyek infrastruktur yang menopang hilirisasi industri dan konektivitas nasional.
Analis Phintraco Sekuritas, Valdy Kurniawan dan Aditya Prayoga, memandang bahwa tantangan efisiensi anggaran pemerintah justru membuka peluang baru bagi perusahaan konstruksi yang lincah membaca tren. “Peluang raihan kontrak terbuka dari sektor swasta dan BUMN, terutama dalam hal hilirisasi industri dan pengembangan infrastruktur pendukung,” ujar keduanya dalam analisis tertulis.
Pemerintah memang tengah mengalihkan prioritas APBN ke sektor nonfisik, yang membuat persaingan kontrak fisik semakin ketat. Namun, kontrak besar seperti proyek New Priok East Access (NPEA) Seksi II senilai Rp 2,3 triliun dan Jalan Tol Kataraja Tahap Kedua senilai Rp 1,3 triliun menjadi bukti bahwa peluang besar masih terbuka, asalkan perusahaan mampu menyusun strategi perebutan proyek secara efektif.
Berbeda pandangan datang dari Analis Panin Sekuritas, Aqil Triyadi, yang lebih realistis dalam memproyeksikan capaian kontrak baru PTPP di tahun 2025. Ia memperkirakan total kontrak baru perusahaan hanya akan menyentuh Rp 24 triliun, atau sekitar 85% dari target. Ia menilai kebijakan Presiden yang membatasi anggaran kementerian akan berdampak signifikan terhadap peluang kontrak dari sektor pemerintah.
“Seiring pembatasan APBN kementerian oleh Presiden, peluang raihan kontrak dari pemerintah akan terbatas,” kata Aqil.
Namun begitu, Aqil menilai posisi PTPP tetap unggul dibandingkan banyak emiten konstruksi lain. Ia menyebut ada tiga faktor yang menopang daya saing PTPP:
Neraca keuangan yang sehat, dengan rasio net gearing sebesar 1,2 kali, jauh lebih baik dibanding rata-rata perusahaan BUMN karya yang menyentuh 3,9 kali.
Banyak BUMN konstruksi lain masih disibukkan dengan penyelesaian masalah gagal bayar dan utang, yang membuat mereka belum fokus memburu kontrak baru.
Tingkat kemenangan tender PTPP meningkat, dari 49% pada 2022 menjadi 58% pada 2024, membuktikan efektivitas strategi kompetisi yang diterapkan perusahaan.
Menurut Aqil, keberhasilan PTPP meraih kontrak pada kuartal I-2025 yang melebihi ekspektasi juga menjadi katalis positif bagi prospek perusahaan ke depan. Meski demikian, ia tetap menekankan bahwa risiko efisiensi APBN akan tetap menjadi tekanan utama terhadap sektor konstruksi secara keseluruhan.
Sementara itu, Valdy dan Aditya dari Phintraco justru melihat peluang lebih besar di tengah tekanan anggaran. Mereka menilai, program hilirisasi industri yang menjadi fokus pemerintah akan berdampak langsung pada kebutuhan infrastruktur pendukung di sektor pertambangan dan pengolahan mineral.
“Posisi PTPP sangat baik untuk memanfaatkan peluang dari kebijakan hilirisasi pemerintah,” ujar Valdy dan Aditya.
Optimisme ini juga tercermin dari rekomendasi saham yang diberikan para analis. Aqil menyarankan hold untuk saham PTPP dengan target harga Rp 440 per saham hingga akhir tahun. Sebaliknya, Valdy dan Aditya lebih optimistis dengan merekomendasikan buy, dengan target harga Rp 600 per saham.
Dengan posisi kontrak baru yang baru mencapai kurang dari 30% dari target tahunan, enam bulan ke depan akan menjadi momen penting bagi PTPP. Perusahaan dituntut untuk lebih agresif dalam membidik proyek-proyek dari sektor non-pemerintah, sembari tetap menjaga kekuatan finansialnya.
Industri konstruksi nasional saat ini memang berada dalam fase penyesuaian terhadap pembatasan APBN. Namun, di tengah ketidakpastian tersebut, PTPP mencoba menjawab tantangan dengan mengarahkan fokusnya ke sektor swasta, BUMN, dan proyek hilirisasi yang berpeluang besar menyerap infrastruktur baru.
Keberhasilan strategi ini akan sangat menentukan apakah PTPP mampu merealisasikan ambisinya pada 2025. Keseimbangan antara efisiensi internal, kejelian membaca pasar, dan kemampuan menjaga kualitas proyek akan menjadi kunci utama keberlanjutan bisnis perusahaan ke depan.