JAKARTA - Penundaan kebijakan co-payment dalam skema asuransi kesehatan oleh regulator disambut dengan sikap terbuka dan mendukung dari pelaku industri asuransi jiwa maupun umum. Kebijakan ini semula dijadwalkan mulai berlaku pada awal tahun 2026, namun saat ini implementasinya ditangguhkan sambil menunggu penyusunan ketentuan dalam bentuk Peraturan Otoritas Jasa Keuangan (POJK).
Langkah ini dinilai strategis di tengah tekanan yang dihadapi sektor asuransi akibat lonjakan klaim dan inflasi biaya medis. Dalam hal ini, Asosiasi Asuransi Umum Indonesia (AAUI) dan Asosiasi Asuransi Jiwa Indonesia (AAJI) turut menyampaikan pandangannya.
Direktur Eksekutif AAJI, Togar Pasaribu, menegaskan bahwa pihaknya senantiasa menghormati langkah-langkah penyempurnaan regulasi yang diambil oleh Otoritas Jasa Keuangan (OJK) sebagai regulator industri. “Terkait rencana penundaan implementasi SEOJK 7/2025, kami masih menunggu ketentuan resmi dari OJK dan akan mengikuti setiap keputusan yang diambil, dengan harapan regulasi final nantinya tetap mengedepankan perlindungan konsumen dan keberlanjutan industri,” kata Togar.
Kondisi industri sendiri memperlihatkan tekanan signifikan dari sisi klaim. Berdasarkan data OJK per April 2025, rasio klaim pada lini asuransi kesehatan di perusahaan asuransi jiwa mencapai 51,29%, sementara di asuransi umum berada di angka 49,97%. Angka ini bahkan belum memasukkan perhitungan cadangan klaim maupun beban operasional perusahaan, yang berarti tekanan sesungguhnya bisa lebih besar.
Di tengah kondisi tersebut, kenaikan premi asuransi menjadi langkah penyesuaian yang tak terelakkan. AAJI mencatat dalam dua tahun terakhir telah terjadi lonjakan premi asuransi jiwa sebesar 30% hingga 100%. Di sisi lain, AAUI melaporkan bahwa pada tahun 2024 saja, premi asuransi kesehatan mengalami kenaikan antara 20% hingga 30%.
Ketua Umum AAUI, Budi Herawan, menyatakan bahwa pihaknya memahami dan mendukung langkah OJK untuk menunda penerapan ketentuan dalam SEOJK 7/2025. Baginya, keputusan tersebut akan memberikan waktu bagi regulator dan pelaku industri untuk menyusun kerangka hukum yang lebih kuat dan menyeluruh. “Penundaan ini adalah langkah yang tepat agar ketentuan co-payment memiliki landasan hukum yang lebih kuat serta dapat disusun secara lebih komprehensif dengan melibatkan seluruh pemangku kepentingan, termasuk industri dan DPR,” ujar Budi.
Meskipun mendukung penundaan, Budi juga menyoroti bahwa persoalan utama tetap terletak pada tingginya rasio klaim yang mencerminkan tekanan besar terhadap portofolio asuransi kesehatan. Rasio klaim yang mendekati 50% menunjukkan bahwa tantangan dalam pengelolaan risiko masih sangat relevan. “Meskipun demikian, tantangan dalam pengendalian rasio klaim tetap harus menjadi fokus utama. Rasio klaim asuransi kesehatan yang mendekati 50% menunjukkan tekanan yang signifikan terhadap keberlanjutan portofolio,” imbuhnya.
Budi juga menegaskan bahwa tanpa perlu mengandalkan kenaikan premi secara agresif, perusahaan asuransi sebenarnya masih memiliki ruang untuk menerapkan sejumlah strategi mitigasi risiko yang efektif.
Menurutnya, perbaikan kualitas proses underwriting dan manajemen klaim harus menjadi prioritas. Koordinasi yang lebih erat dengan penyedia layanan kesehatan untuk menekan biaya medis, serta langkah digitalisasi layanan dan edukasi nasabah, juga menjadi elemen penting dalam menjaga efisiensi. “Perusahaan juga dapat melakukan koordinasi intensif dengan penyedia layanan kesehatan untuk mengendalikan biaya medis, meningkatkan digitalisasi layanan dan edukasi nasabah untuk menekan moral hazard maupun penerapan wellness program dan manajemen risiko kesehatan bagi peserta,” pungkas Budi.
Langkah-langkah tersebut, apabila diterapkan secara konsisten dan menyeluruh, diharapkan mampu menjaga keseimbangan antara keberlanjutan industri dan perlindungan terhadap nasabah. Dalam konteks ini, penundaan penerapan co-payment bukan berarti mundur, melainkan memberikan ruang untuk memperbaiki fondasi regulasi dan praktik industri ke arah yang lebih adaptif dan berkelanjutan.
Banyak pelaku industri menilai bahwa penyesuaian regulasi semacam ini penting untuk menjawab dinamika kondisi ekonomi dan kebutuhan konsumen yang terus berkembang. Keterlibatan semua pihak baik regulator, asosiasi, perusahaan asuransi, hingga lembaga legislatif dipandang penting untuk menghasilkan kebijakan yang adil, inklusif, dan berpihak pada perlindungan jangka panjang.
Seiring berjalannya waktu, keputusan penundaan ini menjadi momen refleksi bagi industri asuransi kesehatan agar bisa lebih matang dalam mengelola risiko dan meningkatkan nilai tambah bagi pesertanya. Transformasi digital, kolaborasi strategis, serta pendekatan berbasis edukasi dan pencegahan penyakit bisa menjadi pilar penting dalam perjalanan industri menuju efisiensi yang lebih tinggi.
Kebijakan co-payment yang semula dirancang untuk membagi beban biaya antara peserta dan penyedia asuransi dinilai sebagai alat pengendalian klaim. Namun implementasinya membutuhkan dasar hukum yang kokoh serta kesiapan sistem dan pemahaman publik yang cukup. Penundaan yang terjadi sekarang membuka peluang untuk menyiapkan semua elemen tersebut secara lebih optimal.