JAKARTA - Langkah Otoritas Jasa Keuangan (OJK) yang menunda pemberlakuan SEOJK 7/2025 mengenai skema co-payment dalam asuransi kesehatan disambut positif berbagai pihak. Salah satunya adalah Asosiasi Asuransi Umum Indonesia (AAUI) yang menganggap penundaan tersebut membuka ruang dialog yang lebih mendalam untuk merancang kebijakan yang proporsional dan inklusif, khususnya bagi kelompok masyarakat yang tergolong rentan.
Penundaan ini dihasilkan dari rapat kerja antara OJK dan Komisi XI DPR RI yang digelar. Dalam pertemuan tersebut, para pembuat kebijakan sepakat bahwa implementasi co-payment sebaiknya tidak terburu-buru dan harus diatur melalui regulasi yang lebih kuat secara hukum, yakni melalui Peraturan Otoritas Jasa Keuangan (POJK), bukan hanya lewat surat edaran seperti SEOJK.
Co-payment sendiri sebelumnya dijadwalkan mulai berlaku pada 1 Januari 2026. Namun, sejumlah pihak menilai mekanisme tersebut belum sepenuhnya dipahami masyarakat luas. Dalam konteks ini, Ketua Umum AAUI Budi Herawan menyatakan bahwa ketentuan co-payment tetap bisa diberlakukan, asalkan dengan pertimbangan sosial dan fleksibilitas yang memadai.
“AAUI memandang co-payment sebagai instrumen penting dalam pengendalian risiko dan sekaligus sebagai sarana edukasi keuangan bagi peserta asuransi. Namun implementasinya perlu disertai fleksibilitas dan sensitivitas sosial,” ujar Budi.
Menurutnya, AAUI mendukung adanya pengecualian bagi kelompok rentan. Kategori ini termasuk lansia, penyandang disabilitas, dan masyarakat berpenghasilan rendah. Namun, ia menggarisbawahi pentingnya kejelasan kriteria agar pengecualian tersebut tidak mengganggu keseimbangan aktuaria dan keberlanjutan sistem.
“AAUI setuju apabila diberikan pengecualian khusus bagi kelompok rentan seperti lansia, penyandang disabilitas atau peserta berpenghasilan rendah, selama ada kriteria yang jelas dan pengaturannya tidak mengganggu keseimbangan aktuaria,” sambung Budi.
Dukungan terhadap fleksibilitas implementasi skema ini tidak berhenti pada soal pengecualian kelompok rentan saja. Dalam rapat yang sama, Komisi XI DPR RI juga melempar usulan agar perusahaan asuransi membuat Standar Operasional Prosedur (SOP) terkait batas maksimal komisi untuk agen asuransi.
Langkah ini dianggap sebagai bagian dari strategi efisiensi biaya akuisisi asuransi kesehatan. Tujuannya agar beban operasional perusahaan asuransi dapat ditekan, terutama di tengah tantangan lonjakan klaim yang makin tinggi.
Menanggapi wacana pembatasan komisi tersebut, AAUI menyatakan dukungannya terhadap efisiensi, tetapi mengingatkan bahwa pendekatannya harus adil dan berimbang. Budi menyebut bahwa komisi agen tidak hanya sebatas insentif, melainkan juga sebagai penopang layanan, edukasi, dan keberlanjutan distribusi produk asuransi.
“Jika diperlukan penyesuaian, bisa dilakukan melalui restrukturisasi skema komisi berbasis kinerja klaim atau durasi polis, bukan pemotongan sepihak,” kata Budi menegaskan.
Hingga saat ini, belum ada kejelasan dari OJK terkait kapan POJK pengganti SEOJK 7/2025 akan diterbitkan. Regulasi tersebut sangat dinanti karena akan menjadi dasar implementasi kebijakan co-payment, sekaligus menentukan apakah sistem ini tetap diberlakukan pada 1 Januari 2026 atau mengalami perubahan jadwal.
Budi menekankan bahwa urgensi pengaturan asuransi kesehatan tetap tinggi, terutama karena tren biaya kesehatan dan rasio klaim menunjukkan peningkatan yang signifikan. Namun, ia juga mengingatkan bahwa keberhasilan implementasi tidak semata bergantung pada tenggat waktu.
“Keberhasilan implementasi tidak hanya ditentukan oleh waktu, melainkan oleh sejauh mana kebijakan ini dipahami, disepakati dan disiapkan secara teknis oleh seluruh pihak,” jelasnya.
AAUI menilai bahwa penundaan co-payment ini adalah langkah strategis, asalkan diikuti dengan proses penyusunan regulasi yang benar-benar memperhatikan suara industri dan dilakukan secara terbuka. Keterlibatan aktif dari seluruh pemangku kepentingan menjadi kunci dalam merancang aturan yang tidak hanya kuat secara hukum, tetapi juga realistis di lapangan.
“Penundaan co-payment merupakan langkah konstruktif selama proses penyusunan POJK benar-benar mengakomodasi masukan industri dan dikomunikasikan secara terbuka kepada seluruh pemangku kepentingan,” lanjut Budi.
Untuk itu, AAUI berharap agar proses penyusunan POJK dapat rampung sesuai jadwal, sehingga tidak menghambat pelaksanaan kebijakan yang telah dirancang. Meski demikian, jika diperlukan waktu tambahan demi memastikan kesiapan sistem serta pemahaman masyarakat, jadwal implementasi dapat disesuaikan.
“Namun jika membutuhkan waktu lebih panjang untuk memastikan kesiapan sistem dan pemahaman publik, maka penyesuaian jadwal implementasi bisa saja dipertimbangkan, dengan tetap menjaga arah kebijakan yang konsisten dan keberlanjutan proteksi peserta,” tutup Budi.
Dengan semakin kompleksnya kebutuhan dan ekspektasi peserta asuransi, kebijakan co-payment memang perlu diatur secara matang. Regulasi yang tidak hanya berpihak pada ketahanan keuangan perusahaan asuransi, tetapi juga sensitif terhadap kondisi sosial masyarakat, akan menjadi landasan penting bagi keberhasilan sistem jaminan kesehatan ke depan. AAUI melalui sikap terbuka dan moderatnya, menunjukkan komitmen untuk memastikan regulasi ini bisa berjalan dengan adil, realistis, dan berkelanjutan.