JAKARTA - Kekhawatiran akan dampak kelangkaan bahan bakar minyak (BBM) dan elpiji subsidi 3 kilogram menjadi perhatian serius Pemerintah Kabupaten Lampung Barat. Dalam forum rapat paripurna penandatanganan Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD) 2025 hingga 2029, Bupati Parosil Mabsus secara lugas menyoroti krisis yang telah menimbulkan keresahan di tengah masyarakat.
Isu tersebut mencuat bukan hanya sebagai masalah distribusi biasa, melainkan berkaitan erat dengan aktivitas vital masyarakat, terutama sektor pertanian. Musim panen kopi yang tengah berlangsung diperparah dengan meningkatnya kebutuhan energi, baik untuk rumah tangga maupun usaha mikro kecil dan menengah (UMKM). Kondisi ini mengakibatkan pasokan elpiji dan BBM semakin menipis di berbagai kecamatan.
Dalam pidatonya, Parosil menyampaikan bahwa peningkatan konsumsi elpiji 3 kilogram dipengaruhi oleh dua faktor utama: panen kopi yang mendorong kebutuhan bahan bakar di tingkat rumah tangga, dan kedatangan warga dari luar daerah yang ikut mengakses subsidi. Ditambah lagi, banyak pelaku UMKM dan rumah makan yang masih memanfaatkan elpiji bersubsidi meski seharusnya menggunakan non-subsidi.
“Musim panen kopi dan masuknya pendatang dari luar Lampung Barat menyebabkan permintaan elpiji meningkat tajam. Ini menimbulkan kelangkaan di tingkat masyarakat. Kami terus lakukan pengawasan distribusi dan edukasi penggunaan secara tepat sasaran,” ujar Parosil.
Pemerintah daerah, lanjutnya, tidak tinggal diam menghadapi krisis tersebut. Pemkab telah menjalin koordinasi dengan Pertamina dan telah pula mengajukan permintaan penambahan kuota subsidi ke Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM). Namun, Parosil menegaskan bahwa pengawasan ketat di lapangan serta edukasi kepada masyarakat menjadi langkah taktis yang tak kalah penting untuk mencegah penyalahgunaan subsidi.
Di sisi lain, keluhan soal BBM juga menyeruak dan mendapat tanggapan langsung dari Parosil. Isu ini mencuat setelah anggota DPRD, Ahmad Ali Akbar, menyampaikan keluhan terkait pelayanan SPBU di Kecamatan Pagar Dewa. Menurutnya, pasokan BBM yang tidak stabil telah mengganggu kegiatan ekonomi masyarakat, terutama para petani kopi di wilayah pegunungan.
“BBM sangat penting untuk mendukung aktivitas pertanian, seperti penggilingan kopi. Saya sudah instruksikan Dinas Perdagangan untuk mengecek langsung seluruh SPBU, tidak hanya di Pagar Dewa, tapi juga di Balik Bukit dan wilayah lainnya,” tegasnya.
Kelangkaan BBM berpotensi menghambat seluruh rantai produktivitas pertanian, mulai dari proses panen, transportasi hasil, hingga pengolahan. Situasi ini tak hanya berdampak pada petani, tetapi juga mengganggu pasokan kopi Lampung Barat yang menjadi komoditas unggulan daerah.
Dalam rapat tersebut, Parosil tidak hanya fokus pada kelangkaan energi, tetapi juga menyampaikan visi pembangunan lima tahun ke depan. Penyusunan RPJMD 2025–2029, katanya, dilakukan secara sinergis dengan acuan dari RPJMN dan RPJMD Provinsi Lampung. Isinya menitikberatkan pada penguatan ekonomi lokal, peningkatan ketahanan pangan, serta penanggulangan kemiskinan.
“RPJMD ini bukan sekadar formalitas, tapi hasil kerja keras dan kolaborasi kritis antara eksekutif dan legislatif. Mari kita jadikan momen ini sebagai awal perubahan menuju Lampung Barat yang gemilang,” tutup Parosil, di hadapan para anggota dewan, Forkopimda, kepala organisasi perangkat daerah, serta para tamu undangan.
Penandatanganan dokumen RPJMD dan laporan pertanggungjawaban pelaksanaan APBD tahun 2020 menjadi simbol awal dari komitmen bersama antara legislatif dan eksekutif dalam menata pembangunan daerah. Namun, keberhasilan visi besar ini tidak akan berarti tanpa mengatasi terlebih dahulu kebutuhan dasar masyarakat, terutama dalam hal energi.
Langkah konkret melalui pemantauan SPBU dan pengetatan distribusi elpiji menjadi harapan masyarakat. Dalam kondisi krisis seperti sekarang, akses terhadap energi subsidi sangat menentukan kesejahteraan keluarga kecil, keberlangsungan UMKM, dan ketahanan sektor pertanian.
Pemerintah pun dituntut untuk memastikan bahwa subsidi benar-benar tepat sasaran. Penggunaan elpiji 3 kilogram, misalnya, masih banyak dimanfaatkan oleh pihak-pihak yang seharusnya tidak lagi bergantung pada subsidi. Edukasi publik menjadi kunci agar masyarakat memahami batasan penggunaan, sekaligus menghindari potensi penyalahgunaan di lapangan.
Di sisi lain, peningkatan permintaan yang sifatnya musiman semestinya telah diantisipasi sejak awal. Apalagi, pola panen kopi yang rutin seharusnya menjadi bagian dari perencanaan distribusi energi, baik oleh pemerintah daerah maupun Pertamina.
Dalam konteks yang lebih luas, kelangkaan BBM dan elpiji juga mencerminkan pentingnya pembangunan infrastruktur energi yang berkelanjutan dan merata, khususnya di daerah pegunungan atau wilayah terpencil. Ketergantungan pada pasokan terbatas, tanpa solusi jangka panjang, akan terus menjadi hambatan dalam pembangunan daerah.
Rapat paripurna yang berlangsung di Gedung DPRD tersebut telah membuka mata banyak pihak, bahwa isu energi bukan hanya masalah teknis, tetapi telah menyentuh hajat hidup orang banyak. Dari distribusi yang belum merata hingga kontrol yang masih lemah, diperlukan aksi nyata untuk mencegah persoalan serupa terulang kembali di masa mendatang.
Dengan penguatan pengawasan, sinergi lintas instansi, serta kesadaran kolektif masyarakat, diharapkan kelangkaan BBM dan elpiji bisa segera teratasi. Terutama bagi para petani dan pelaku UMKM yang menjadi tulang punggung ekonomi lokal, akses energi menjadi syarat mutlak agar pembangunan tidak sekadar menjadi visi, tetapi benar-benar dirasakan manfaatnya oleh seluruh warga Lampung Barat.