BBM

BBM Bocor Disalahgunakan

BBM Bocor Disalahgunakan
BBM Bocor Disalahgunakan

JAKARTA - Masalah penyalahgunaan sistem digital pembelian Bahan Bakar Minyak (BBM) kembali mencuat, kali ini menimpa seorang warga Sumenep, Jawa Timur, bernama Ainur Rahman atau yang akrab disapa Inong. Ia mendapati barcode miliknya digunakan pihak lain secara ilegal dalam transaksi BBM, memicu kekhawatiran luas akan keamanan sistem yang selama ini digadang-gadang sebagai solusi distribusi.

Kejadian tersebut berlangsung pada Selasa dini hari, ketika Inong berniat mengisi bahan bakar di SPBU wilayah setempat. Namun, transaksi yang seharusnya berjalan normal justru tertolak. Sistem menampilkan keterangan bahwa barcode-nya sedang digunakan untuk pembelian aktif, padahal dirinya belum melakukan transaksi apapun pada saat itu.

"Ini sungguh keterlaluan! Bagaimana jika saya sedang dalam perjalanan jauh dan kehabisan BBM? Tapi barcode saya justru dipakai orang lain. Ini bukan lagi soal ketidaknyamanan, tapi soal kelalaian yang mengancam keselamatan,” ungkapnya dengan nada kesal saat ditemui media.

Insiden ini pun menyingkap celah serius dalam sistem digitalisasi pembelian BBM. Sebelumnya, Inong memang mendaftarkan barcode pembelian BBM di SPBU tertentu, namun tak pernah menyangka bahwa data pribadinya dapat jatuh ke tangan yang salah dan digunakan tanpa sepengetahuannya. Yang lebih memprihatinkan, pembelian ilegal itu dilakukan sebanyak 20 liter pada pukul 23.54 WIB, hanya beberapa jam sebelum ia mencoba membeli BBM keesokan harinya.

“Ketika saya cek langsung ke SPBU, banyak pengecer BBM terlihat antre. Diduga kuat, salah satu dari mereka menggunakan barcode saya. Ini bentuk penyalahgunaan sistem,” tambahnya, menyoroti dugaan praktik tidak wajar yang terjadi di lapangan.

Tak tinggal diam, ia berencana mengambil langkah hukum. Inong menyampaikan tekadnya untuk melapor secara resmi dan meminta aparat kepolisian, khususnya Polres Sumenep, menindaklanjuti kasus ini secara profesional. Ia berharap pihak berwajib bisa segera mengusut dalang di balik penyalahgunaan barcode yang dapat merugikan masyarakat secara luas.

“Kalau ini dibiarkan, bukan tak mungkin barcode warga lain juga disalahgunakan. Ini bisa menjadi skema pelanggaran terstruktur dan berpotensi merugikan negara. Saya akan melapor secara resmi, dan berharap kepolisian bergerak cepat,” tegasnya.

Menurut Inong, permasalahan ini bukan hanya terletak pada kelalaian individu, tetapi juga lemahnya pengawasan dari pengelola SPBU. Ia juga menyoroti integritas sistem digitalisasi BBM yang justru menimbulkan masalah baru, bertolak belakang dengan semangat transparansi dan akuntabilitas yang selama ini digemborkan.

“Distribusi BBM diatur dalam regulasi ketat, mulai dari kuota hingga jenis kendaraan. Kalau barcode bisa dipakai seenaknya, untuk apa ada sistem? Ini bukan hanya cacat teknis, tapi celah korupsi,” ujarnya tajam.

Tak sedikit masyarakat yang mendukung langkah Inong. Warga lainnya turut menyuarakan keresahan atas potensi penyalahgunaan barcode yang bisa terjadi kepada siapa saja. Kejadian ini memantik kekhawatiran akan keamanan sistem yang digunakan di banyak SPBU, terutama di daerah yang masih minim pengawasan teknologi.

Dorongan agar dilakukan audit sistem pun menguat. Masyarakat mendesak Pertamina untuk turun tangan dan melakukan evaluasi menyeluruh terhadap mekanisme pengelolaan barcode BBM, khususnya di SPBU yang terindikasi melakukan praktik menyimpang. Tak hanya itu, potensi keterlibatan oknum internal juga menjadi sorotan dan perlu diungkap agar tidak terjadi pembiaran sistemik.

Sayangnya, hingga artikel ini disusun, belum ada tanggapan resmi dari pihak pengelola SPBU maupun pengawas lapangan terkait insiden tersebut. Keheningan dari pihak-pihak terkait justru memicu kecurigaan dan menambah keresahan masyarakat.

Di sisi lain, insiden ini menjadi sinyal kuat bahwa reformasi sistem distribusi energi melalui digitalisasi belum sepenuhnya aman dari risiko penyalahgunaan. Banyak pihak mempertanyakan efektivitas sistem barcode jika data pengguna bisa bocor dengan mudah dan dimanfaatkan untuk keuntungan pribadi atau sindikat tertentu.

Kasus yang menimpa Inong bukan hanya menyentuh aspek teknis, tetapi juga menyangkut kepercayaan publik terhadap sistem pelayanan yang seharusnya adil dan terlindungi. Apabila kasus ini tidak ditindak secara serius, bukan tak mungkin kejadian serupa akan semakin marak dan menjadi bola salju yang merusak tatanan distribusi BBM secara nasional.

Kini publik menanti langkah cepat dari aparat penegak hukum, regulator, hingga operator SPBU untuk memperbaiki sistem dan menjamin perlindungan konsumen. Keterbukaan informasi dan tindak lanjut konkret menjadi kunci agar kepercayaan masyarakat terhadap digitalisasi BBM tidak semakin terkikis.

Kasus Ainur Rahman menjadi peringatan penting: digitalisasi tanpa pengamanan yang memadai hanya akan melahirkan masalah baru. Sistem yang seharusnya menyederhanakan justru menjadi alat manipulasi. Oleh karena itu, reformasi sistem digital BBM tidak boleh berhenti di tataran teknis melainkan harus menyentuh akuntabilitas, integritas, dan keberpihakan pada hak warga.

Rekomendasi

Index

Berita Lainnya

Index