Minyak

Minyak Naik, Komoditas Lain Ikut Melonjak

Minyak Naik, Komoditas Lain Ikut Melonjak
Minyak Naik, Komoditas Lain Ikut Melonjak

JAKARTA - Kinerja sejumlah komoditas global menunjukkan pergerakan yang kompak ke arah positif. Salah satu yang menjadi sorotan utama adalah kenaikan harga minyak mentah, yang mencapai level tertinggi dalam dua pekan terakhir. Sentimen positif ini juga tercermin pada kenaikan harga komoditas lain seperti minyak sawit (CPO), batu bara, dan timah, meskipun tidak semua logam industri mengalami tren serupa.

Kenaikan harga minyak kali ini tidak datang begitu saja. Sejumlah faktor global yang saling terkait menjadi pendorong utama, mulai dari penurunan proyeksi produksi minyak Amerika Serikat (AS), serangan milisi Houthi di Laut Merah, hingga rencana tarif impor tembaga dari pemerintah AS.

Berdasarkan data terbaru, harga minyak mentah Brent mengalami kenaikan sebesar 57 sen atau setara dengan 0,8 persen, hingga berada di posisi USD 70,15 per barel. Di sisi lain, harga minyak mentah West Texas Intermediate (WTI) juga ikut menanjak 40 sen atau 0,6 persen, menjadi USD 68,33 per barel.

Kedua angka tersebut menjadi yang tertinggi, menandakan pemulihan yang cukup kuat setelah periode stagnasi sebelumnya.

Proyeksi Produksi AS Melorot, Pasar Minyak Bereaksi

Kabar dari dalam negeri AS turut memberi andil besar terhadap kenaikan ini. Berdasarkan proyeksi terbaru dari Energy Information Administration (EIA), produksi minyak AS untuk tahun 2025 diperkirakan lebih rendah dari estimasi sebelumnya. Penurunan ini dipicu oleh harga minyak yang tidak stabil selama beberapa bulan terakhir, memaksa produsen menahan laju eksplorasi dan produksi.

Penurunan pasokan dari salah satu produsen utama dunia ini tentu memicu persepsi pasar akan potensi ketidakseimbangan permintaan dan pasokan di masa depan, yang pada akhirnya mendongkrak harga.

“Perkiraan produksi AS yang lebih rendah memicu kenaikan harga dan kenaikan itu terus berlanjut seiring dengan naiknya harga komoditas lain karena adanya kabar mengenai tarif AS terhadap tembaga dan meningkatnya ketegangan di Laut Merah,” ujar Phil Flynn, analis dari Price Futures Group.

Ketegangan Laut Merah dan Tarif Tembaga Jadi Pemicu Tambahan

Konflik geopolitik juga memberikan dampak signifikan, terutama di wilayah Laut Merah. Dalam waktu yang berdekatan, serangan drone dan kapal cepat oleh kelompok Houthi dilaporkan menewaskan tiga pelaut. Serangan ini menargetkan kapal kargo Eternity C, berbendera Liberia dan dioperasikan oleh perusahaan Yunani, yang sedang berada di perairan dekat Yaman.

Insiden ini merupakan serangan kedua yang terjadi dalam satu hari, padahal kawasan tersebut sempat relatif tenang selama beberapa bulan terakhir. Akibatnya, sejumlah kapal pengangkut energi seperti minyak dan gas alam cair harus menghindari jalur tersebut, dan memilih rute alternatif yang lebih panjang.

Dampak logistik ini berpotensi meningkatkan biaya pengiriman dan menambah tekanan pada pasokan energi global.

Dari sisi kebijakan perdagangan, pernyataan Presiden AS Donald Trump mengenai rencana pemberlakuan tarif impor 50 persen untuk tembaga juga mengguncang pasar. Langkah ini disebut-sebut sebagai upaya pemerintah untuk mendorong produksi dalam negeri terhadap logam strategis tersebut. Mengingat tembaga merupakan bahan baku utama bagi mobil listrik, peralatan militer, dan jaringan listrik, keputusan tersebut memberi dampak ke seluruh mata rantai industri, termasuk harga energi.

Harga CPO dan Batu Bara Menguat

Tidak hanya minyak, komoditas lain juga mencatatkan penguatan. Harga Crude Palm Oil (CPO) ikut terkerek naik. Berdasarkan data dari Barchart, harga CPO kontrak September 2025 naik 0,63 persen, mencapai level MYR 4.174 per ton.

Kondisi ini bisa menjadi angin segar bagi produsen sawit, terutama dari kawasan Asia Tenggara yang merupakan salah satu wilayah eksportir terbesar di dunia.

Sementara itu, harga batu bara juga mencatatkan penguatan cukup signifikan. Kontrak batu bara untuk pengiriman Agustus 2025 naik 1,69 persen, menjadi USD 111,60 per ton. Kenaikan ini beriringan dengan peningkatan permintaan dari sektor industri dan pembangkit listrik yang masih bergantung pada energi fosil, terutama di negara-negara berkembang.

Nikel Melemah, Timah Menguat

Meski mayoritas komoditas utama menunjukkan tren positif, tidak semuanya ikut terdorong. Harga nikel justru mengalami penurunan tipis. Berdasarkan data dari London Metal Exchange (LME), harga nikel turun 0,89 persen, menjadi USD 15.042 per ton.

Penurunan harga nikel ini menunjukkan adanya tekanan di sektor logam industri, yang bisa jadi terpengaruh oleh prospek perlambatan ekonomi global dan ketidakpastian permintaan dari sektor kendaraan listrik.

Sebaliknya, harga timah mencatatkan kenaikan. Masih dari data LME, harga timah naik 0,34 persen dan kini berada di level USD 33.397 per ton. Kenaikan ini sejalan dengan meningkatnya permintaan global terhadap produk elektronik, serta ketatnya pasokan dari negara-negara penghasil utama.

Secara keseluruhan, pasar komoditas menunjukkan dinamika yang kompleks. Harga minyak mentah memimpin penguatan dengan ditopang oleh penurunan produksi AS dan konflik geopolitik. Hal ini memberi dampak domino pada komoditas lainnya seperti CPO, batu bara, dan timah. Namun, pasar tetap perlu mewaspadai ketidakpastian global yang masih tinggi, baik dari sisi geopolitik, kebijakan perdagangan, maupun perubahan iklim yang dapat mempengaruhi produksi dan distribusi komoditas secara global.

Rekomendasi

Index

Berita Lainnya

Index