JAKARTA - Stabilnya harga minyak global baru-baru ini mencerminkan respons pasar yang hati-hati terhadap data cadangan minyak mentah Amerika Serikat (AS) yang melonjak, di tengah dinamika kebijakan perdagangan Negeri Paman Sam. Para pelaku pasar tampaknya sedang menyeimbangkan antara prospek permintaan energi dan gejolak kebijakan tarif yang terus bergulir dari Gedung Putih.
Harga minyak mentah acuan West Texas Intermediate (WTI) tercatat bertahan di kisaran US$68 per barel, setelah mengalami kenaikan selama dua sesi berturut-turut. Sementara itu, minyak mentah Brent berhasil ditutup di atas level psikologis US$70 per barel pada perdagangan waktu setempat. Kinerja ini mencerminkan kestabilan harga dalam menghadapi potensi guncangan dari sisi pasokan dan geopolitik perdagangan.
Kestabilan harga minyak ini terjadi seiring munculnya data yang menunjukkan adanya peningkatan besar dalam cadangan minyak mentah AS. Berdasarkan laporan dari American Petroleum Institute (API), persediaan minyak mentah AS melonjak 7,1 juta barel pada pekan lalu. Jika angka ini dikonfirmasi oleh data resmi pemerintah yang dijadwalkan dirilis Rabu, 9 Juli 2025 maka ini akan menjadi peningkatan mingguan terbesar sejak Januari.
Kenaikan ini menandakan adanya pelemahan permintaan atau peningkatan pasokan domestik yang signifikan, yang secara historis berpotensi menekan harga. Namun, pasar tampaknya sudah memperhitungkan dampak tersebut dan bersikap waspada terhadap katalis eksternal lain yang turut berpengaruh.
Di sisi lain, fokus investor juga tertuju pada arah kebijakan perdagangan Amerika Serikat, terutama setelah pernyataan Presiden Donald Trump yang kembali menegaskan komitmennya untuk menerapkan tarif impor yang tinggi terhadap negara-negara mitra dagang. Presiden Trump bahkan mengungkapkan bahwa ia tidak akan memberikan perpanjangan tambahan terhadap tarif khusus yang sebelumnya diberikan.
Langkah Trump untuk melanjutkan agenda proteksionisme dinilai pasar sebagai ancaman terhadap kestabilan permintaan energi global. Tarif tinggi terhadap negara-negara seperti China, Uni Eropa, dan lainnya telah memicu ketidakpastian dalam perdagangan internasional dan melemahkan sentimen pertumbuhan ekonomi global.
Kondisi ini memperkuat kekhawatiran bahwa perang dagang yang berkepanjangan dapat menekan aktivitas manufaktur dan distribusi, sehingga berdampak langsung pada konsumsi energi, termasuk minyak mentah. Oleh sebab itu, meski cadangan minyak AS meningkat, pasar tidak serta-merta merespons dengan tekanan jual besar, karena faktor permintaan global menjadi variabel penting dalam perhitungan harga jangka menengah.
Sikap berhati-hati para pedagang mencerminkan upaya mencari keseimbangan di antara sejumlah faktor fundamental yang bertolak belakang. Di satu sisi, data cadangan minyak yang meningkat memberikan sinyal potensi surplus pasokan. Di sisi lain, ketegangan geopolitik dan ketidakpastian ekonomi global akibat kebijakan proteksionisme turut menekan potensi permintaan.
Selain itu, pasar juga akan mencermati langkah OPEC dan sekutunya dalam beberapa pekan ke depan. Koalisi negara-negara produsen minyak tersebut sebelumnya telah sepakat untuk mengurangi produksi guna menstabilkan harga. Jika tren peningkatan cadangan minyak AS terus berlangsung, ada kemungkinan OPEC akan merespons dengan penyesuaian kebijakan lebih lanjut.
Tak hanya itu, sentimen makroekonomi global pun akan terus memengaruhi arah pergerakan harga minyak. Pelaku pasar kini memantau data-data utama seperti pertumbuhan ekonomi China dan Eropa, serta laporan pekerjaan dan inflasi dari Amerika Serikat yang berpengaruh terhadap outlook permintaan energi dunia.
Dengan kompleksitas faktor yang sedang berlangsung, baik dari sisi pasokan, kebijakan pemerintah, maupun dinamika perdagangan global, maka wajar jika harga minyak bergerak stabil dalam beberapa hari terakhir. Para investor tampaknya memilih untuk tidak berspekulasi berlebihan hingga ada konfirmasi lebih lanjut dari laporan resmi dan arah kebijakan yang lebih jelas dari otoritas terkait.
Meskipun harga Brent saat ini berhasil menembus level US$70 per barel, namun pelaku pasar masih mempertanyakan apakah level ini bisa dipertahankan dalam jangka panjang, terutama jika tekanan dari sisi pasokan terus meningkat dan permintaan global tertahan oleh kebijakan tarif yang lebih ketat.
Sebagaimana ditegaskan dalam laporan API, “Persediaan minyak AS melonjak 7,1 juta barel dalam sepekan. Jika data ini dikonfirmasi, maka akan menjadi yang terbesar sejak Januari.” Data tersebut menjadi perhatian utama karena bisa memicu reaksi dari OPEC ataupun negara-negara penghasil minyak lainnya.
Dengan segala ketidakpastian ini, pelaku pasar akan terus mencermati kombinasi antara data pasokan dan perkembangan kebijakan global sebelum mengambil posisi jangka panjang. Harga minyak, untuk sementara waktu, masih akan berada dalam pola tunggu dan lihat, dengan ruang gerak yang cenderung terbatas, sembari menanti arah kebijakan perdagangan AS dan respons pasar secara menyeluruh.