JAKARTA - Meski memberikan manfaat besar saat terjadi gagal panen, program Asuransi Usaha Tani Padi (AUTP) di Kabupaten Sumbawa justru belum menarik minat para petani. Hingga pertengahan tahun ini, belum ada satu pun lahan yang terdaftar dalam program tersebut. Padahal sebelumnya, program ini sempat mencatat partisipasi hingga ratusan hektare lahan.
Kondisi ini menimbulkan kekhawatiran dari Dinas Pertanian Sumbawa. Kepala Bidang Perlindungan Tanaman, Pengembangan Usaha, Toni Hamdani menyampaikan keprihatinannya atas rendahnya partisipasi petani dalam program asuransi tersebut.
“Masih minim peminat yang mengikuti program AUTP, padahal manfaatnya sangat besar dan tahun belum ada satupun lahan yang diasuransikan,” ungkap Toni.
AUTP sendiri merupakan salah satu upaya perlindungan terhadap sektor pertanian dari risiko kerugian, seperti akibat cuaca ekstrem, hama, atau bencana alam lainnya. Skema ini menjanjikan kompensasi yang cukup berarti: Rp6 juta per hektare untuk lahan yang mengalami gagal panen.
“Banyak keuntungan jika mengikuti program AUTP, tetapi kita sangat sayangkan banyak petani kita yang enggan untuk mengikuti program tersebut,” ujar Toni lebih lanjut.
Besarnya potensi bantuan yang bisa diterima oleh petani seharusnya menjadi daya tarik tersendiri. Apalagi biaya untuk ikut serta dalam AUTP tergolong ringan, hanya sekitar Rp36 ribu per hektare. Sayangnya, fakta di lapangan menunjukkan minat petani justru menurun drastis tahun ini.
“Biaya yang dikeluarkan untuk mendapatkan Rp6 juta sangat kecil. Tapi sangat disayangkan, hingga saat ini masih minim peserta yang mengikuti program tersebut,” ucap Toni.
Ia juga membandingkan dengan situasi pada tahun-tahun sebelumnya, di mana program ini sempat mendapat sambutan yang baik dari petani. Sebagai perbandingan, pada tahun lalu sekitar 500 hektare lahan sempat diasuransikan melalui program ini. Angka itu menjadi kontras jika dibandingkan dengan nol hektare pada tahun ini.
“Saya tidak tahu apa alasan petani tidak mengikuti program AUTP, padahal manfaatnya sangat besar ketika terjadi gagal panen,” tambahnya.
Pemerintah daerah melalui Dinas Pertanian pun tidak tinggal diam. Sosialisasi akan terus dilakukan demi meningkatkan kesadaran petani terhadap pentingnya perlindungan lahan mereka.
“Namanya musibah tidak ada yang mengetahui kapan akan datang. Jika sudah siap asuransinya dan ada kejadian gagal panen bisa langsung diklaim ke penyedia asuransi,” jelas Toni.
Sebaliknya, jika tidak memiliki perlindungan asuransi, petani harus menunggu bantuan dari pemerintah yang tentu memerlukan proses panjang dan waktu yang tidak sebentar. Hal ini berpotensi menghambat produktivitas dan kelanjutan usaha tani.
“Tidak ada salahnya kita persiapkan diri dengan mengikuti program asuransi karena biaya yang akan dikeluarkan juga sangat kecil. Makanya kami tetap akan melakukan sosialisasi kepada para petani agar bisa memanfaatkan program asuransi ini dengan baik,” tegasnya.
Bencana yang mengancam sektor pertanian bukanlah isapan jempol. Sebuah contoh nyata terjadi di awal tahun ini, ketika sejumlah lahan pertanian di Kabupaten Sumbawa terdampak banjir bandang. Kerugian pun tak bisa dihindari.
Dinas Pertanian mencatat sekitar 4,5 hektare lahan padi mengalami puso atau gagal panen total di Kecamatan Unter Iwes. Ini merupakan bagian dari total 70,5 hektare lahan pertanian yang terdampak banjir di beberapa kecamatan.
“Total luas lahan yang terdampak bencana banjir di sejumlah kecamatan sebanyak 70,5 hektare, hanya saja yang masuk dalam kategori gagal panen baru 4,5 hektare,” jelas Toni.
Ia pun merinci data kerusakan di beberapa wilayah lain, seperti Moyo Hilir dengan 2 hektare lahan terdampak, Utan dengan 2 hektare, serta Empang dengan 15 hektare. Tak hanya padi, tanaman jagung pun terdampak cukup signifikan, dengan sekitar 47 hektare lahan yang terkena banjir.
“Hanya 4,5 hektare saja yang puso, kalau untuk lahan terdampak lainnya kondisinya sudah berangsur pulih dan tidak terdampak gagal panen,” tambah Toni.
Menyikapi kejadian tersebut, Dinas Pertanian segera melakukan pelaporan kepada Kementerian Pertanian. Ini dilakukan sebagai langkah awal untuk mendapat penanganan lebih lanjut dari pemerintah pusat demi membantu meringankan kerugian yang dialami petani.
“Kita sudah laporkan semua kejadian tersebut ke pusat tinggal kita menunggu penanganan lebih lanjut,” sebut Toni.
Sayangnya, di tengah risiko nyata seperti banjir yang bisa datang kapan saja, minat petani untuk mengikutsertakan lahan mereka dalam program AUTP justru melemah. Dinas Pertanian mengaku akan terus mengupayakan pendekatan agar program ini kembali diminati.
“Masih minim petani yang mengikuti program AUTP padahal manfaatnya sangat besar. Kami akan terus berupaya agar petani bisa mendaftar sebagai peserta AUTP,” tukasnya lagi.
Melihat pentingnya keberadaan AUTP sebagai jaring pengaman ketika bencana datang, sudah seharusnya para petani mempertimbangkan ulang keputusan mereka. Perlindungan dengan biaya rendah yang ditawarkan pemerintah sejatinya merupakan bentuk investasi jangka panjang untuk keberlangsungan usaha tani. Dukungan dari dinas terkait pun akan terus digalakkan, dengan harapan petani tidak lagi harus menanggung sendiri beban kerugian akibat gagal panen.