JAKARTA - Ketegangan dagang antara Indonesia dan Amerika Serikat (AS) memasuki babak baru. Dengan diterapkannya tarif impor resiprokal sebesar 32 persen terhadap produk asal Indonesia mulai 1 Agustus 2025, pelaku usaha logistik nasional mulai mengarahkan pandangan ke poros ekonomi baru dunia: BRICS.
Langkah strategis ini sejalan dengan keputusan Indonesia untuk resmi menjadi anggota penuh kelompok negara BRICS. Dalam konteks ini, pengusaha logistik melihat potensi besar bagi perdagangan internasional Indonesia untuk beralih dari ketergantungan pasar tradisional seperti Amerika, menuju jejaring ekonomi negara-negara berkembang yang kini semakin solid.
BRICS sendiri merupakan singkatan dari Brasil, Rusia, India, China, dan Afrika Selatan. Kelompok ini dikenal sebagai kekuatan ekonomi baru yang berupaya memperkuat kolaborasi perdagangan antaranggota tanpa terlalu bergantung pada sistem keuangan Barat. Seiring waktu, keanggotaannya pun meluas dengan bergabungnya negara-negara seperti Mesir, Uni Emirat Arab, Ethiopia, Iran, dan Arab Saudi.
Ketua Umum DPP Asosiasi Logistik dan Forwarder Indonesia (ALFI), Akbar Djohan, menegaskan bahwa bergabungnya Indonesia dalam BRICS merupakan peluang besar bagi sektor logistik nasional. Terutama karena keanggotaan ini membuka potensi tujuan ekspor baru di tengah tekanan dari kebijakan tarif tinggi AS.
“Ini dapat menjadi alasan bagi Indonesia buka tujuan pasar global selain AS yaitu dengan kerja sama kepada negara-negara yang terhimpun dalam BRICS (Brasil, Rusia, India, China, South Africa), yang kemudian keanggotan negara tergabung BRICS semakin bertambah: Mesir, Uni Emirat Arab, Ethiopia, Iran, Arab Saudi,” ujarnya.
Akbar memandang bahwa kerja sama yang lebih erat dengan negara-negara BRICS tidak hanya membuka pasar baru, tetapi juga memberikan keunggulan logistik dari sisi efisiensi waktu pengiriman. Ia menyebut bahwa lead time ekspor yakni total waktu dari proses pemesanan, pengemasan, pengiriman, hingga sampai ke tangan importir akan lebih baik jika tujuan ekspor diarahkan ke negara-negara BRICS, terutama yang secara geografis lebih dekat dengan Indonesia.
“Lead time ekspor barang dari Indonesia ke negara-negara yang tergabung dalam BRICS seharusnya akan lebih baik dibanding ke AS, menimbang jarak negara BRICS dengan lokasi Indonesia lebih dekat, kecuali Brasil,” jelasnya.
Dalam konteks efisiensi logistik, waktu pengiriman sangat menentukan daya saing produk ekspor Indonesia di pasar global. Pengurangan waktu pengiriman berarti biaya logistik menjadi lebih rendah, risiko kerusakan barang lebih kecil, dan pelaku usaha dapat merespons permintaan pasar dengan lebih cepat.
Tak hanya efisiensi waktu, bergabungnya Indonesia ke BRICS juga membuka peluang kerja sama kebijakan dan infrastruktur logistik yang lebih terintegrasi antaranggota. Menurut Akbar, para pelaku logistik di bawah naungan ALFI siap menyambut peluang ini dengan menyesuaikan strategi operasional dan memperkuat jaringan pengiriman ke negara-negara BRICS.
“Pengusaha logistik yang tergabung di dalam ALFI akan ambil momentum dalam mendukung kelancaran arus barang ekspor dan impor ke negara-negara anggota BRICS, setelah ada pernyataan resmi dari pemerintah mengambil kebijakan untuk bergabung ke BRICS,” ujarnya.
Ia berharap hubungan dagang yang terjalin melalui BRICS ke depan mampu memperkuat surplus neraca perdagangan Indonesia, baik dari sisi barang maupun jasa. Hal ini penting mengingat sektor logistik tidak hanya menjadi tulang punggung distribusi barang, tetapi juga bagian penting dari ekosistem jasa yang menopang perdagangan internasional.
“Semoga kerja sama Indonesia dengan BRICS akan berikan banyak tujuan pasar ekspor baru bagi produk kita, dan semakin meningkatkan surplus neraca perdagangan barang dan juga memperbaiki neraca perdagangan jasanya juga,” tuturnya optimistis.
Di sisi lain, tekanan dari AS tidak bisa diabaikan. Presiden Amerika Serikat Donald Trump telah menyampaikan bahwa kebijakan tarif 32 persen merupakan langkah tegas untuk menanggulangi defisit perdagangan AS yang dinilai merugikan ekonomi dan keamanan nasional negaranya.
“Mulai 1 Agustus 2025, kami akan mengenakan tarif sebesar 32 persen untuk semua produk asal Indonesia yang masuk ke Amerika Serikat, terpisah dari semua tarif sektoral lainnya. Barang-barang yang diteruskan melalui negara ketiga untuk menghindari tarif yang lebih tinggi juga akan dikenakan tarif tersebut,” terang Trump dalam surat resminya yang beredar, Selasa, 8 Juli.
Dengan kebijakan tarif baru ini, produk Indonesia akan menghadapi tantangan serius dalam menembus pasar AS. Efek domino dari kenaikan biaya masuk akan berimbas langsung pada harga jual, yang pada akhirnya bisa menurunkan daya saing produk Indonesia di pasar Amerika.
Oleh karena itu, arah kebijakan logistik nasional tampaknya harus segera disesuaikan. Pelaku usaha di sektor ini tidak hanya dituntut untuk lebih adaptif, tetapi juga proaktif dalam merancang peta rute perdagangan yang lebih menguntungkan di masa depan.
Langkah Indonesia masuk ke dalam lingkaran BRICS menjadi salah satu bentuk adaptasi terhadap dinamika ekonomi global yang berubah cepat. Dalam hal ini, sektor logistik nasional berperan sebagai garda depan dalam menjembatani konektivitas antarnegara dan mempercepat laju ekspor.
Dengan sumber daya dan posisi geografis yang strategis, Indonesia memiliki peluang besar untuk menjadi simpul logistik kawasan—terutama dalam kerangka kerja sama ekonomi BRICS. Kini tinggal bagaimana kolaborasi antara pemerintah dan pelaku industri dapat dioptimalkan untuk menyongsong perubahan tersebut dengan kesiapan dan strategi yang matang.