JAKARTA - Di tengah dinamika pasar global yang fluktuatif, Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) memilih untuk menahan diri dari menerapkan kebijakan bea keluar terhadap komoditas batu bara. Keputusan tersebut diambil dengan pertimbangan utama menjaga daya saing Indonesia di pasar ekspor, khususnya saat permintaan sedang mengalami tekanan.
Wakil Menteri ESDM Yuliot Tanjung menyampaikan bahwa belum ada rencana dari pemerintah untuk memberlakukan bea keluar atas ekspor batubara. Langkah ini didasarkan pada pemantauan kondisi pasar internasional yang tengah melemah, baik dari sisi permintaan maupun harga jual komoditas tersebut.
”Kami melihat daya saing dari komoditas yang kami miliki,” ujar Yuliot saat ditemui di Jakarta.
Ia menambahkan, penurunan permintaan global dan tren harga yang menurun menjadi pertimbangan penting dalam kebijakan ini. Pengenaan bea keluar justru dikhawatirkan akan menurunkan minat pasar luar negeri untuk membeli batubara dari Indonesia.
”Kalau permintaannya lemah, dikenakan bea keluar, justru ini akan berdampak. Jadi nggak ada yang beli,” jelasnya.
Penundaan pengenaan bea keluar pada batubara menempatkan pemerintah dalam posisi yang harus cermat menyeimbangkan antara kepentingan penerimaan negara dan keberlanjutan industri dalam negeri. Langkah ini juga mencerminkan sensitivitas terhadap gejolak pasar global serta komitmen untuk melindungi pelaku usaha di sektor pertambangan dari tekanan tambahan.
Meskipun belum menerapkan bea keluar untuk batubara, pemerintah tetap menunjukkan langkah strategis dalam memperluas basis penerimaan negara. Salah satunya melalui pengenaan bea keluar terhadap produk mineral lain, seperti emas mentah atau dore bullion.
Kebijakan tersebut muncul sebagai hasil kesepakatan dalam rapat kerja antara Komisi XI DPR RI dan jajaran pemerintah yang melibatkan Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati, Gubernur Bank Indonesia Perry Warjiyo, Menteri PPN/Kepala Bappenas Rachmat Pambudy, serta Ketua Dewan Komisioner OJK Mahendra Siregar. Pertemuan ini berlangsung dan fokus pada strategi optimalisasi pendapatan negara.
Dalam pembahasan tersebut, disepakati bahwa penguatan penerimaan negara dapat dilakukan melalui penerapan bea keluar pada produk yang memiliki nilai ekspor tinggi. Untuk saat ini, produk emas mentah telah lebih dulu dikenai bea keluar melalui ketentuan dalam Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 38 Tahun 2024. Namun, emas batangan dan perhiasan masih dikecualikan dari objek kebijakan ini.
Sementara itu, batubara sebagai komoditas andalan ekspor Indonesia sudah tidak lagi dikenakan bea keluar sejak tahun 2006. Sebagai gantinya, penerimaan negara dari sektor ini diperoleh melalui skema royalti dalam bentuk Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP). Meskipun demikian, wacana pengenaan kembali bea keluar terhadap batubara tetap mengemuka sebagai bagian dari opsi kebijakan fiskal di masa mendatang.
Pemerintah berada pada posisi yang tidak mudah: di satu sisi perlu meningkatkan pendapatan negara dari sektor sumber daya alam, namun di sisi lain harus menjaga agar sektor tersebut tetap tumbuh dan tidak terhambat oleh beban regulasi tambahan. Sikap Kementerian ESDM yang berhati-hati ini mencerminkan pemahaman terhadap pentingnya stabilitas industri, khususnya dalam menghadapi tekanan ekonomi global yang tidak menentu.
Pasar batubara global sendiri sedang berada dalam fase perlambatan, di mana banyak negara konsumen utama mulai mengurangi ketergantungan mereka terhadap bahan bakar fosil, termasuk batubara. Selain itu, sentimen global terhadap transisi energi bersih ikut menekan permintaan batubara, meskipun dalam jangka pendek beberapa negara masih mengandalkannya untuk kebutuhan energi.
Pemerintah Indonesia menyadari posisi strategisnya sebagai salah satu eksportir batubara terbesar di dunia. Oleh sebab itu, setiap kebijakan yang menyangkut komoditas ini harus melalui kajian matang agar tidak berdampak negatif pada pelaku usaha maupun posisi kompetitif Indonesia di pasar global.
Yuliot Tanjung menekankan bahwa untuk saat ini, belum ada kebutuhan mendesak untuk menerapkan bea keluar terhadap batubara. Ia memastikan pemerintah akan terus memantau perkembangan pasar serta menyesuaikan kebijakan jika kondisi berubah di masa depan.
Kebijakan fiskal di sektor sumber daya alam memang kerap menjadi perdebatan, terutama ketika berkaitan dengan keseimbangan antara penerimaan negara dan kelangsungan industri. Dalam konteks batubara, keputusan untuk tidak terburu-buru menerapkan bea keluar bisa memberikan ruang gerak bagi pelaku usaha agar tetap mampu bersaing, terutama di saat harga dan permintaan sedang tidak stabil.
Meski demikian, wacana mengenai pengenaan bea keluar tetap terbuka dan menjadi bahan diskusi di lingkup pemerintah dan DPR. Dalam jangka panjang, penguatan tata kelola dan diversifikasi strategi penerimaan negara akan menjadi kunci agar Indonesia tidak hanya bergantung pada royalti, namun juga memiliki instrumen fiskal lain yang adaptif dan kompetitif.
Kebijakan terhadap batubara pun dipastikan tidak akan diambil secara sepihak. Pemerintah mengedepankan prinsip kehati-hatian, dengan tetap membuka ruang dialog bersama DPR, pelaku industri, dan pemangku kepentingan lain agar keputusan yang diambil bersifat komprehensif dan mempertimbangkan seluruh aspek, baik ekonomi, sosial, maupun lingkungan.