JAKARTA - Di tengah hiruk pikuk perjuangan agraria yang kerap menyisakan kisah pilu, secercah harapan tumbuh dari Tanah Perjuangan Desa Simpang Gambus, Kecamatan Lima Puluh, Kabupaten Batu Bara. Di sinilah, tekad warga dan semangat kolektif terus hidup, melawan ketimpangan yang telah berlangsung selama puluhan tahun.
Sengketa tanah yang membelit Kelompok Tani Tanah Perjuangan di desa itu bukan perkara baru. Sejak tahun 1970-an, lahan mereka diklaim dan dikuasai oleh PT Socfindo Kebun Tanah Gambus. Selama itu pula, mereka hidup dalam ketidakpastian, menggantungkan harapan pada perjuangan demi mendapatkan kembali hak atas tanah warisan leluhur.
Namun kini, titik terang mulai tampak. Sejumlah tokoh nasional dan daerah telah menyatakan dukungan nyata terhadap perjuangan para petani. Salah satu sosok yang disebutkan secara khusus adalah Pdt. Penrad Siagian, M.Si, Teol, anggota Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia (DPD RI) dari Sumatera Utara. Selain itu, Bupati Batu Bara, Baharuddin Siagian, juga disebut memberikan dukungan penuh atas langkah pelepasan lahan untuk petani.
Hal itu diungkapkan oleh Joel Sinaga, SH, Direktur Lembaga Lingkar Rumah Rakyat Indonesia (LRR Indonesia) lembaga yang mendampingi para petani sejak awal perjuangan. “Kami sangat mengapresiasi anggota DPD RI Pdt. Penrad Siagian, M.Si, Teol yang merupakan senator dari Sumatera Utara, serta Bupati Batu Bara Baharuddin Siagian. Keduanya telah bersama-sama mendukung proses pelepasan tanah masyarakat petani yang selama ini dikuasai perusahaan,” ujar Joel dalam keterangannya, Selasa (8/7/2025).
Dukungan dari pejabat negara tentu memberikan nafas segar bagi kelompok tani yang telah lama merasa dipinggirkan. Namun perjuangan yang mereka tempuh jauh dari kata mudah. Joel menuturkan bahwa proses penyelesaian konflik tanah ini telah membawa mereka ke berbagai lembaga negara, mulai dari Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN), Gedung DPD RI, hingga ke Istana Negara.
Perjalanan panjang itu tak jarang membuat mereka letih secara fisik dan mental. Tetapi semangat tidak padam. Dalam perjuangan itu, mereka menghadapi berbagai bentuk tekanan, termasuk bujukan dan intervensi dari pihak-pihak yang mencoba menggagalkan gerakan rakyat.
“Beberapa kali kami dihubungi oleh oknum yang menawarkan uang dan fasilitas dengan syarat kami tidak serius mendampingi atau bahkan meninggalkan para petani,” kenang Joel. Namun godaan tersebut ditolak mentah-mentah. Bagi Joel dan timnya, kebersamaan dengan rakyat dan nilai perjuangan jauh lebih berarti dibanding janji-janji kosong berbalut materi.
Ia bahkan mengungkapkan bagaimana makna dari sebuah kebersamaan sederhana di tengah perjuangan: “Janji kemewahan itu tidak lebih indah dibandingkan makan nasi dan ikan asin bersama rakyat di Posko perjuangan petani Desa Simpang Gambus.”
Ungkapan itu bukan sekadar metafora. Di baliknya tergambar tekad baja dari mereka yang percaya bahwa keadilan bisa diraih selama tidak menyerah. Posko perjuangan bukan sekadar tempat berkumpul, melainkan simbol perlawanan dan solidaritas yang tumbuh dari akar rumput.
Kelompok Tani Tanah Perjuangan Desa Simpang Gambus bukan satu-satunya yang mengalami konflik agraria di negeri ini, namun mereka menjadi contoh bahwa keberanian menyuarakan hak bisa membuahkan hasil, terlebih jika didukung oleh lembaga dan tokoh yang punya komitmen terhadap keadilan sosial.
LRR Indonesia, sebagai pendamping utama, mengambil posisi strategis dalam setiap langkah hukum dan advokasi yang diambil kelompok tani. Sejak awal, mereka berdiri di sisi petani, tidak hanya sebagai fasilitator hukum, tetapi juga sebagai bagian dari denyut perjuangan rakyat kecil yang selama ini termarjinalkan.
“Sudah menjadi tekad kami untuk bersama petani hingga keadilan benar-benar mereka rasakan,” ujar Joel lagi.
Langkah konkret pemerintah daerah dan senator dari DPD RI memberikan harapan baru agar polemik ini segera selesai. Terlebih, ketika ada keberpihakan nyata dari pejabat terhadap hak-hak petani, jalur penyelesaian yang selama ini terasa buntu mulai menemukan jalannya.
Perjuangan ini juga menjadi pengingat bahwa reforma agraria bukan hanya jargon semata. Ia nyata dalam bentuk tanah, kehidupan, dan keberlangsungan masa depan petani Indonesia.
Masyarakat Simpang Gambus berharap agar langkah pelepasan tanah yang sudah diproses itu segera rampung. Bukan hanya untuk mereka yang berjuang saat ini, tetapi juga untuk anak cucu yang kelak akan mewarisi tanah tersebut sebagai sumber kehidupan.
Cerita dari Desa Simpang Gambus bukan hanya tentang sengketa tanah, tetapi juga tentang kesetiaan pada cita-cita keadilan. Di tanah Batu Bara, bara perjuangan belum padam. Justru kini menyala lebih terang, menghangatkan harapan, dan menyinari jalan menuju keadilan yang selama ini mereka tunggu.