JAKARTA - Rencana pemerintah memberlakukan bea keluar terhadap ekspor batubara memicu respons keras dari pelaku usaha. Para pengusaha di sektor ini menilai kebijakan tersebut akan menjadi beban tambahan yang justru mengganggu daya saing komoditas andalan tersebut di pasar global. Di tengah upaya pemulihan dan penguatan industri tambang nasional, mereka menyayangkan keputusan yang dianggap tidak berpihak kepada dunia usaha.
Asosiasi Pertambangan Batubara Indonesia (APBI) mengungkapkan kekhawatiran mendalam terkait rencana pemerintah menerapkan pungutan ekspor batubara. Menurut mereka, keputusan ini dinilai tergesa-gesa, tanpa perhitungan matang terhadap dampaknya bagi pelaku industri, terutama perusahaan yang mengandalkan ekspor untuk keberlangsungan bisnis.
"Kami menolak rencana pungutan bea keluar ini karena akan menambah beban pelaku usaha," tegas Direktur Eksekutif APBI, Hendra Sinadia.
Ia menyebutkan bahwa saat ini industri batubara nasional telah dibebani berbagai kewajiban, mulai dari kewajiban pemenuhan kebutuhan domestik (Domestic Market Obligation/DMO), hingga kewajiban kontribusi terhadap program hilirisasi yang dicanangkan pemerintah.
Hendra menjelaskan, rencana bea keluar tersebut berkaitan erat dengan program hilirisasi batubara yang terus didorong pemerintah. Dalam skemanya, bea keluar akan dikenakan terhadap ekspor batubara mentah, sebagai insentif tidak langsung agar pelaku usaha lebih memilih mengolah batubara di dalam negeri.
Namun, menurut Hendra, pendekatan seperti ini justru berpotensi menurunkan minat investasi. Sebab, belum semua perusahaan memiliki kapasitas atau teknologi untuk melakukan proses hilirisasi, sementara ekspor masih menjadi tulang punggung pendapatan bagi banyak entitas pertambangan.
"Kalau alasan untuk hilirisasi, pemerintah harus lebih dulu menciptakan ekosistem yang siap dan insentif yang menarik, bukan justru memberatkan dengan pungutan tambahan," katanya.
Pemerintah memang tengah menyiapkan skema tarif bea keluar dalam bentuk progresif, dengan besaran tarif yang akan menyesuaikan harga batubara acuan (HBA). Artinya, semakin tinggi harga batubara di pasar dunia, maka pungutan yang dikenakan akan semakin besar. Konsep ini ditujukan agar negara mendapatkan manfaat lebih besar dari lonjakan harga komoditas yang dinilai sebagai sumber daya alam tak terbarukan.
Namun, para pelaku usaha tetap tidak setuju dengan pendekatan tersebut. Mereka menilai formula itu bisa menjadi bumerang ketika harga batubara tengah tinggi dan permintaan meningkat, karena akan menggerus margin keuntungan eksportir.
Selain itu, Hendra mengungkapkan, pelaku usaha saat ini sudah berkontribusi besar melalui beragam jenis pajak dan kewajiban finansial lainnya. Sehingga, pemberlakuan bea keluar akan memperberat struktur biaya produksi.
“Pelaku usaha sudah membayar royalti, pajak ekspor, PPh, PPN, hingga kontribusi ke program DMO. Belum lagi yang harus dikucurkan untuk kegiatan reklamasi dan pasca tambang. Maka, rencana ini terasa sangat membebani,” tegasnya.
Di sisi lain, sejumlah pengamat ekonomi turut mengingatkan pemerintah untuk berhati-hati dalam merancang kebijakan pungutan ekspor. Menurut mereka, kebijakan yang tidak dirancang secara komprehensif dan konsultatif dapat menciptakan ketidakpastian usaha dan menurunkan daya saing ekspor batubara Indonesia di kancah global.
"Kalau negara pesaing seperti Australia dan Rusia tidak mengenakan bea keluar, maka batubara kita bisa kalah bersaing," ujar seorang analis komoditas.
Saat ini, Indonesia merupakan salah satu eksportir batubara terbesar dunia. Negara-negara seperti India, China, dan negara-negara di Asia Tenggara menjadi pasar utama ekspor komoditas ini. Namun dengan pemberlakuan bea keluar, pelaku usaha khawatir pembeli akan mencari sumber alternatif yang lebih kompetitif.
Pemerintah melalui Kementerian ESDM sebelumnya menyampaikan bahwa kebijakan ini masih dalam tahap pembahasan lintas kementerian. Skema pungutan masih dikaji dengan memperhatikan kondisi pasar dan keseimbangan kepentingan antara negara dan pelaku usaha.
Namun demikian, Hendra menegaskan bahwa APBI akan terus menyuarakan aspirasi anggotanya agar pemerintah mempertimbangkan ulang kebijakan ini. Ia menilai, sektor batubara seharusnya diberi ruang dan dukungan agar bisa tetap tumbuh dan memberikan kontribusi optimal bagi perekonomian nasional.
“Kami tidak anti terhadap hilirisasi, tapi prosesnya harus melalui tahapan yang logis dan realistis. Jangan sampai justru menimbulkan disinsentif bagi pelaku industri yang sudah eksis dan sedang menjaga keberlangsungan operasional mereka,” ujarnya.
Lebih lanjut, Hendra juga mengingatkan pentingnya konsistensi kebijakan dan kepastian hukum agar iklim investasi di sektor pertambangan tidak terganggu. Ia menyebut, dalam situasi global yang dinamis, stabilitas kebijakan menjadi kunci utama untuk menjaga kepercayaan investor, baik dalam maupun luar negeri.
"Dalam iklim usaha seperti saat ini, kita butuh kepastian, bukan justru kebijakan-kebijakan yang berubah mendadak dan memberatkan," pungkas Hendra.
Sampai saat ini, belum ada kepastian kapan kebijakan bea keluar batubara akan diberlakukan. Namun, pernyataan dari pelaku industri menunjukkan penolakan yang cukup kuat, terutama karena kebijakan ini dianggap tidak sesuai dengan kondisi riil yang mereka hadapi.
Dengan dinamika seperti ini, bola kini berada di tangan pemerintah. Kebijakan yang hendak diterapkan harus mempertimbangkan dampak luasnya secara ekonomi, sosial, dan keberlanjutan industri tambang nasional.