Panas Bumi

Panas Bumi Perlu Kepastian Balik Modal

Panas Bumi Perlu Kepastian Balik Modal
Panas Bumi Perlu Kepastian Balik Modal

JAKARTA - Upaya pemerintah untuk meningkatkan pemanfaatan energi panas bumi tak hanya menuntut pengembangan teknologi dan investasi besar, tetapi juga kepastian soal keekonomian proyek. Salah satu fokusnya adalah menaikkan Internal Rate of Return (IRR) agar sektor ini lebih menarik bagi investor. PT Pertamina Geothermal Energy Tbk (PGE) menilai langkah ini perlu didukung strategi konkret dan perhitungan yang realistis.

Pemerintah melalui Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) berencana menaikkan tingkat pengembalian investasi proyek panas bumi. Selama ini, IRR panas bumi dinilai masih belum kompetitif jika dibandingkan dengan proyek-proyek energi lainnya. Untuk itu, penyesuaian kebijakan tengah digodok demi mendongkrak daya tarik investasi.

Direktur Utama PT Pertamina Geothermal Energy Tbk (PGE), Julfi Hadi, menyampaikan bahwa langkah pemerintah tersebut sangat positif. Menurutnya, peningkatan IRR memang menjadi langkah penting, mengingat proses eksplorasi dan pengembangan panas bumi tergolong mahal dan berisiko tinggi.

"Jadi kalau IRR-nya tinggi dan fixed-nya itu memudahkan kita, karena eksplorasi ini kan seperti main lotre, kita enggak tahu di bawah ada berapa kapasitas uapnya. Jadi kalau IRR-nya tinggi dan fixed, akan sangat membantu developer," jelas Julfi dalam acara The 2nd International Convention on Indonesian Upstream Oil and Gas 2025 di Jakarta.

Julfi menjelaskan bahwa perhitungan keekonomian proyek panas bumi sangat tergantung pada hasil eksplorasi. Dalam banyak kasus, pengembang tidak dapat memastikan besar kecilnya cadangan uap panas sebelum pengeboran dilakukan. Ini menjadikan proyek panas bumi penuh ketidakpastian dari sisi hasil, meski investasi awal sudah sangat besar.

Lebih lanjut, Julfi menyarankan agar pemerintah tak hanya menaikkan IRR secara nominal, tetapi juga menjadikannya bersifat tetap (fixed) dan tidak berubah-ubah di tengah jalan. Menurutnya, kepastian nilai IRR sangat dibutuhkan investor dalam mengambil keputusan jangka panjang.

"Kalau bisa IRR itu fixed. Kita bisa benchmark dengan Vietnam atau negara lain, jadi ada kepastian dari sisi pengembalian. Jangan sampai IRR-nya 14% tapi floating, itu jadi enggak menarik," ujarnya.

Ia menambahkan bahwa struktur insentif yang stabil akan memudahkan perusahaan seperti PGE dalam menyusun strategi pembiayaan. Pasalnya, para pengembang sangat bergantung pada proyeksi pengembalian modal untuk meyakinkan mitra perbankan dan investor lainnya.

“Fixed IRR itu bukan hanya soal angka, tetapi soal trust. Kalau IRR-nya bisa dipercaya dan tidak berubah karena aturan yang datang belakangan, maka minat investor pun akan tumbuh,” katanya.

Dalam kesempatan yang sama, Julfi juga menekankan pentingnya peran pemerintah dalam mengurangi risiko eksplorasi. Misalnya, melalui dukungan dalam pendanaan pengeboran awal atau pemberian jaminan tertentu. Menurutnya, skema risk-sharing antara pemerintah dan pelaku usaha bisa menjadi jalan tengah yang win-win.

"Kalau pemerintah bisa bantu di upfront cost atau eksplorasi awal, tentu IRR yang diminta developer juga bisa lebih rendah. Tapi kalau semuanya ditanggung pengembang, tentu IRR yang diminta akan tinggi," katanya.

Pernyataan Julfi ini memperlihatkan bahwa struktur pembiayaan dan manajemen risiko menjadi elemen krusial dalam proyek panas bumi. Tanpa dukungan kebijakan yang progresif, sektor ini akan sulit berkembang meski potensi panas bumi di Indonesia sangat besar.

Indonesia sendiri memiliki potensi panas bumi terbesar kedua di dunia, dengan cadangan lebih dari 23,7 GW. Namun, hingga kini baru sekitar 2,3 GW yang berhasil dimanfaatkan. Tingginya biaya eksplorasi dan tantangan regulasi menjadi dua faktor utama yang menghambat percepatan proyek.

Pemerintah menyadari hal ini dan tengah menyiapkan berbagai skema baru untuk mendorong investasi. Selain peningkatan IRR, insentif fiskal dan nonfiskal juga dipertimbangkan. Tujuannya agar sektor panas bumi bisa tumbuh sejalan dengan komitmen transisi energi dan penurunan emisi karbon nasional.

“Kami ingin membuat iklim investasi yang lebih kondusif, termasuk menata ulang skema IRR dan insentif lainnya,” ujar pejabat ESDM dalam forum yang sama.

Langkah ini sejalan dengan rencana besar pemerintah untuk mencapai net zero emission (NZE) pada 2060. Energi panas bumi dinilai sebagai salah satu solusi energi bersih yang bisa diandalkan, karena bersifat base load dan tidak tergantung cuaca seperti energi surya atau angin.

Namun demikian, keberhasilan agenda ini tetap sangat bergantung pada kejelasan kebijakan dan dukungan konkret terhadap pelaku usaha. Tanpa reformasi mendalam pada struktur keekonomian dan pembagian risiko, panas bumi akan tetap jadi sektor berpotensi besar namun minim realisasi.

Julfi pun menegaskan bahwa pihaknya tetap optimistis, namun menunggu langkah nyata dari pemerintah. "Kita siap ekspansi, tapi perlu ada kepastian supaya semua pihak, baik swasta maupun BUMN, bisa ambil bagian," pungkasnya.

Rekomendasi

Index

Berita Lainnya

Index