JAKARTA - Dominasi Indonesia dalam pasar global nikel memicu beragam sorotan dari dunia internasional. Seiring meningkatnya peran Indonesia sebagai pemain utama dalam komoditas strategis ini, muncul pula berbagai tudingan yang menyudutkan, termasuk label negatif seperti "dirty nickel" yang dilayangkan terhadap produk nikel nasional.
Menanggapi hal tersebut, Asosiasi Penambang Nikel Indonesia (APNI) buka suara. Sekretaris Jenderal APNI, Meidy Katrin Lengkey, memberikan penjelasan mendetail mengenai kondisi industri nikel Indonesia saat ini dan berbagai upaya yang telah dilakukan untuk meningkatkan standar keberlanjutan serta tanggung jawab lingkungan.
“Kalau dibandingkan dengan negara lain, justru Indonesia lebih bersih dalam memproduksi nikel,” ujar Meidy dalam program Mining Zone di CNBC Indonesia.
Meidy menjelaskan bahwa Indonesia telah menunjukkan langkah signifikan dalam upaya pengurangan emisi, salah satunya dengan menghentikan penggunaan Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) batu bara sejak 2023 untuk menyuplai energi bagi industri pengolahan nikel. Langkah ini, menurutnya, menjadi bukti nyata komitmen terhadap pengurangan dampak lingkungan dari kegiatan pertambangan.
Sebaliknya, negara lain yang juga dikenal sebagai produsen nikel besar, masih menggunakan PLTU batu bara dalam proses produksinya. “Kalau saya bilang, mohon maaf ya, kalau dari saya pribadi membandingkan proses pertambangan di negara luar dengan Indonesia, kayaknya mereka lebih dirty dari kita, proses pertambangan, ya,” tegasnya.
Lebih jauh, Meidy menyebutkan bahwa tudingan yang diarahkan kepada Indonesia bisa jadi berasal dari kekhawatiran negara lain terhadap kebangkitan industri nikel dalam negeri. “Ada kekhawatiran mungkin buat mereka adalah apa yang terjadi kepada mereka jangan terjadi di Indonesia. Sehingga kita di-blame dengan berbagai macam isu, dengan berbagai macam blackmail bahwa kita, tuh, dirty nikel,” katanya.
Namun demikian, Meidy tidak menampik bahwa masih ada ruang pembenahan dalam industri nikel di Tanah Air, terutama pada aspek perlindungan tenaga kerja. Ia menilai bahwa negara lain lebih unggul dalam penerapan prinsip hak asasi manusia, khususnya terkait keselamatan kerja di lingkungan tambang.
“Yang saya anggap jempol untuk negara luar di Indonesia adalah human right. Untuk safety, ya, itu sudah kayaknya kita kalah, deh, kalau kita berbicara untuk human right-nya, ya. Safety karyawannya, safety pekerjanya itu luar biasa. Kita aja mau masuk aja nggak kayak kita cowboy, ya, main masuk-main masuk, gitu, ya. Di luar itu safety-nya sangat amat luar biasa, priority banget,” paparnya.
Aspek keselamatan kerja yang lebih tertib di negara lain disebut Meidy sebagai cermin bagi Indonesia untuk terus memperbaiki diri. Ia menyadari pentingnya menyeimbangkan antara produktivitas dan perlindungan terhadap pekerja di sektor pertambangan.
Meidy juga menggarisbawahi pentingnya penerapan prinsip-prinsip Environmental, Social, and Governance (ESG) dalam industri nikel Indonesia. Ia mengakui bahwa tidak semua wilayah tambang telah memenuhi standar ESG, dan pembenahan harus dilakukan secara bertahap.
“Tapi kembali lagi, bagaimana, sih, biar kita menuju ke ESG atau kita berbicara nikel bersih, memang nggak dipungkiri beberapa areal kita perlu ada pembenahan. Beberapa areal, tolong, nggak semua areal, ya,” jelas Meidy.
Selain itu, ia mengajak semua pihak untuk tidak serta merta mempercayai semua tudingan tanpa ada verifikasi yang jelas. Menurutnya, segala bentuk dampak pencemaran lingkungan yang dituduhkan harus dibuktikan terlebih dahulu melalui proses yang transparan dan dapat dipertanggungjawabkan.
“Dan kalau kita berbicara pencemaran, se-dampak apa, sih, pencemaran yang terjadi dan apakah itu real? Dampak yang terjadi di wilayah pertambangan sana. Itu, kan, harus diverifikasi,” tutupnya.
Pernyataan Meidy mencerminkan optimisme sekaligus kehati-hatian dalam menyikapi kritik internasional. Di tengah tekanan global, industri nikel Indonesia dituntut untuk tidak hanya bersaing dari sisi volume produksi, tetapi juga harus menjawab tantangan keberlanjutan lingkungan dan perlindungan tenaga kerja.
Seiring meningkatnya kebutuhan global akan nikel sebagai bahan utama baterai kendaraan listrik, posisi Indonesia menjadi semakin strategis. Namun, posisi tersebut datang dengan tanggung jawab yang besar pula—yakni memastikan bahwa nikel yang dihasilkan berasal dari proses yang ramah lingkungan dan menghormati hak-hak manusia.
Dengan semangat perbaikan dan transparansi, pelaku industri nikel Indonesia diharapkan dapat memperkuat daya saing global sekaligus menjawab kritik yang diarahkan. Ke depan, isu "dirty nickel" bukan hanya soal reputasi, tetapi menyangkut masa depan industri nasional di kancah global yang semakin menuntut praktik pertambangan yang berkelanjutan.