JAKARTA - Upaya memastikan distribusi energi yang adil dan merata terus menjadi perhatian para pemangku kepentingan di daerah. Salah satunya disuarakan oleh anggota Dewan Perwakilan Rakyat Kabupaten (DPRK) Aceh Singkil melalui Komisi II yang kini memfokuskan perhatian pada tantangan yang dihadapi masyarakat dalam memperoleh gas subsidi 3 kilogram (kg).
Dalam pernyataannya, Ketua Komisi II DPRK Aceh Singkil, Juliadi Bancin, menggarisbawahi pentingnya respon cepat dari dinas terkait untuk menelusuri penyebab kelangkaan gas subsidi yang dirasakan warga dalam beberapa pekan terakhir. Menurutnya, ketersediaan energi seperti gas merupakan kebutuhan mendasar yang harus dijaga kelancarannya, terlebih untuk rumah tangga prasejahtera yang sangat bergantung pada gas subsidi tersebut. “Terkait kelangkaan gas subsidi 3 kg ini, kita berharap Dinas terkait segera turun ke lapangan cari penyebab langkanya gas tersebut hingga mengakibatkan harga melambung tinggi,” ungkap Juliadi Bancin.
Lebih lanjut, Juliadi menjelaskan bahwa kondisi ini sudah dirasakan oleh warga dalam waktu yang tidak singkat. Selama hampir satu bulan terakhir, masyarakat di sejumlah wilayah di Aceh Singkil mengeluhkan sulitnya mendapatkan gas di pangkalan resmi. Akibatnya, mereka terpaksa membeli dari pedagang eceran dengan harga yang jauh lebih tinggi. “Untuk itu Dinas terkait selaku pengawas sudah saatnya turun menanggapi keluhan masyarakat,” tambahnya lagi, menekankan pentingnya pengawasan yang optimal dalam menjaga stabilitas distribusi.
Fenomena ini tidak hanya terjadi sesekali, tetapi sudah menjadi persoalan yang cukup serius. Berdasarkan penuturan warga, lemahnya pengawasan di tingkat distribusi membuat peluang terjadinya penyaluran gas yang tidak tepat sasaran menjadi lebih besar. Kondisi ini diperparah oleh dugaan aksi pembelian dalam jumlah besar (borongan) oleh oknum tertentu saat pengiriman dilakukan.
Saidi, seorang warga dari Kecamatan Singkil, turut menyampaikan pengalamannya terkait situasi yang terjadi. Ia mengungkapkan bahwa gas subsidi sering kali langsung habis dalam waktu singkat setelah didistribusikan oleh pihak distributor. “Menurut kami, sulitnya mendapatkan gas subsidi pada sejumlah pangkalan resmi karena diduga adanya aksi borong karena tidak adanya pengawasan,” kata Saidi.
Ia melanjutkan, saat pengiriman gas tiba, tak butuh waktu lama hingga seluruh stok habis terjual, bahkan hanya dalam hitungan jam. Ada juga kondisi di mana satu orang bisa membawa pulang dua hingga tiga tabung sekaligus, meskipun pada prinsipnya distribusi gas subsidi ini ditujukan untuk rumah tangga miskin dan pengguna tertentu. “Terkadang ada satu orang pembeli mendapatkan gas 2 hingga 3 tabung gas,” jelas Saidi.
Situasi ini menunjukkan pentingnya pengawasan langsung di lapangan. Tanpa itu, mekanisme distribusi yang telah dirancang untuk menargetkan kelompok masyarakat tertentu menjadi tidak efektif. Bahkan bisa berbalik menimbulkan beban tambahan bagi masyarakat yang seharusnya menjadi penerima manfaat.
Selain persoalan distribusi, harga gas subsidi di tingkat pengecer juga terus mengalami kenaikan. Hal ini memunculkan tantangan tersendiri bagi masyarakat yang menggantungkan kebutuhan dapur sehari-hari pada tabung gas 3 kg. Ketiadaan gas di pangkalan resmi menjadikan pengecer sebagai satu-satunya pilihan, meskipun harga yang ditawarkan melampaui harga eceran tertinggi (HET) yang telah ditetapkan pemerintah.
Kondisi di Aceh Singkil memperlihatkan pentingnya sinergi antara pemerintah daerah, dinas teknis terkait, serta pihak distributor untuk memperkuat pengawasan dan memastikan distribusi tepat sasaran. Komitmen dari para pemangku kebijakan daerah untuk turun langsung dan mendengarkan aspirasi masyarakat menjadi langkah awal yang penting untuk menemukan solusi yang berkelanjutan.
Dalam jangka pendek, upaya penertiban pangkalan dan pengecer bisa menjadi bagian dari solusi. Pemberlakuan sistem pembatasan pembelian berdasarkan kartu keluarga atau data penerima bantuan sosial (bansos) bisa turut membantu memastikan gas subsidi hanya digunakan oleh masyarakat yang memang berhak.
Sementara itu, secara jangka panjang, penting pula untuk mengedukasi masyarakat mengenai penggunaan energi alternatif dan efisiensi energi. Kampanye pemanfaatan energi bersih dan hemat juga bisa digalakkan, sehingga ketergantungan pada gas subsidi dapat perlahan-lahan berkurang.
Langkah pengawasan yang efektif dan pemetaan distribusi yang adil diharapkan bisa menjadi kunci agar persoalan kelangkaan ini tidak kembali berulang. Adanya keterlibatan langsung dari legislatif menunjukkan bahwa isu ini mendapatkan perhatian yang serius, dan ini menjadi sinyal positif bagi masyarakat.
Dengan adanya suara dari DPRK Aceh Singkil, khususnya Komisi II, maka harapan akan adanya perbaikan sistem distribusi gas di daerah pun semakin terbuka. Tindakan cepat, tepat, dan terukur menjadi kunci untuk memastikan setiap keluarga bisa tetap mengakses gas subsidi dengan mudah dan harga yang wajar.