Nikel

Nikel Bangkitkan Hilirisasi Nasional

Nikel Bangkitkan Hilirisasi Nasional
Nikel Bangkitkan Hilirisasi Nasional

JAKARTA - Indonesia terus menunjukkan peran strategis dalam rantai pasok global melalui penguatan sektor nikel nasional. Keberhasilan ini ditopang oleh kebijakan hilirisasi mineral yang membawa dampak positif terhadap pendapatan negara dan pertumbuhan industri pengolahan dalam negeri.

Indonesia mencatat produksi nikel sekitar 2,2 juta ton, atau hampir 60 persen dari total produksi global. Capaian ini menjadikan Indonesia sebagai pemimpin pasar dunia di tengah meningkatnya permintaan logam kritis untuk baterai kendaraan listrik (EV).

Peningkatan ini bukanlah kebetulan. Pemerintah telah mengambil langkah penting dengan melarang ekspor bijih mentah dan mendorong pengolahan dalam negeri. Strategi ini bertujuan agar nilai tambah ekonomi tetap berada di dalam negeri, menciptakan lapangan kerja, dan memperkuat industri nasional.

"Indonesia memiliki cadangan nikel yang melimpah, dan strategi hilirisasi yang diterapkan telah memperlihatkan hasil nyata dalam bentuk penerimaan negara dan ekspansi industri pengolahan," ungkap laporan Kementerian ESDM.

Langkah hilirisasi juga telah berdampak besar terhadap pendapatan negara. Penerimaan negara bukan pajak (PNBP) dari sektor nikel melonjak dari Rp35 triliun pada tahun 2020 menjadi Rp172 triliun pada tahun 2023. Kenaikan ini mencerminkan dampak langsung kebijakan pemerintah dalam menjaga sumber daya mineral sebagai kekuatan ekonomi strategis.

Tak hanya dari sisi pendapatan, langkah ini juga menjawab tantangan global dalam penyediaan logam penting untuk transisi energi bersih. Permintaan terhadap baterai kendaraan listrik meningkat 25 persen dalam kurun 2023 hingga 2024, menurut laporan Badan Energi Internasional (IEA). Nikel pun menjadi logam utama dalam komposisi baterai, dari hanya 2 persen pada 2017 menjadi 10 persen pada 2022.

Perhatian dunia terhadap mineral kritis semakin tinggi. Uni Eropa meluncurkan Critical Raw Materials Act, sementara Amerika Serikat menandatangani berbagai kesepakatan untuk menjamin pasokan strategis. Hal ini membuka peluang besar bagi Indonesia untuk memperkuat posisinya sebagai mitra global yang andal.

Cadangan nikel Indonesia tersebar luas, dengan Pulau Sulawesi memiliki deposit terbesar sekitar 2,6 miliar ton bijih. Disusul Maluku Utara dan Maluku dengan 1,4 miliar ton, serta Papua sekitar 60 juta ton. Sebagian besar cadangan ini berada di lapisan tanah dangkal, hanya 6 hingga 15 meter dari permukaan. Hal ini membuat metode pertambangan terbuka menjadi pilihan utama karena efisien dan dapat dilakukan dalam skala besar.

Model pertambangan ini memungkinkan proses produksi berlangsung lebih cepat dan ekonomis, yang pada gilirannya mendukung kelancaran rantai pasok baterai global. Namun, berbagai pihak juga mengingatkan pentingnya keseimbangan antara efisiensi produksi dan keberlanjutan lingkungan.

Dalam dua dekade terakhir, pertumbuhan industri nikel mendorong perubahan lanskap di beberapa wilayah Indonesia. Laporan Nusantara Atlas menunjukkan bahwa sekitar 193.830 hektare hutan telah dibuka untuk tambang nikel, serta 5.031 hektare lainnya digunakan untuk membangun fasilitas smelter.

Meski angka ini terlihat signifikan, penguatan peran regulasi dan pengawasan lingkungan terus menjadi perhatian utama. Pemerintah dan berbagai pemangku kepentingan tengah berupaya menyempurnakan Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL), serta memperkuat tata kelola di wilayah konsesi agar sejalan dengan prinsip pembangunan berkelanjutan.

Sebagai contoh, beberapa perusahaan smelter telah mengembangkan sistem pengolahan limbah untuk mengurangi dampak terhadap lingkungan dan masyarakat sekitar. Di sisi lain, masyarakat dan komunitas lokal juga semakin dilibatkan dalam proses perencanaan wilayah, sehingga aspirasi mereka dapat terakomodasi secara lebih adil.

Kawasan seperti Sulawesi Tenggara, Halmahera, dan Pulau Obi merupakan pusat pertumbuhan industri nikel yang mendukung program hilirisasi nasional. Meski tantangan tetap ada, upaya kolaboratif antara pemerintah, industri, dan masyarakat terus didorong guna menciptakan keseimbangan antara kemajuan ekonomi dan pelestarian alam.

Beberapa riset menyebutkan perlunya pendekatan terpadu untuk mengelola potensi risiko, seperti pengelolaan air dan kualitas tanah. Di Desa Kawasi, Maluku Utara, misalnya, masyarakat kini bekerja sama dengan perusahaan dan pemerintah dalam penyediaan air bersih yang lebih terjamin, termasuk dengan membangun infrastruktur pendukung seperti instalasi pengolahan air.

Selain itu, studi dari Climate Rights International menggarisbawahi pentingnya pendekatan ramah lingkungan dalam mengelola pertambangan nikel. Mereka memperkirakan bahwa deforestasi di Halmahera Tengah dan Timur menyumbang emisi sekitar 2 juta ton karbon dioksida ekuivalen (CO₂e), namun hal ini juga menjadi panggilan untuk meningkatkan efisiensi dan mitigasi karbon dalam industri ekstraktif.

Melalui perencanaan tata ruang, teknologi pemantauan satelit, dan transparansi data, langkah-langkah korektif ini diharapkan memperkuat kepercayaan global terhadap nikel Indonesia sebagai komoditas yang mendukung transisi energi berkelanjutan.

Saat ini, Indonesia berada pada momentum penting untuk menunjukkan bahwa sumber daya alam dapat dikelola secara bertanggung jawab. Nikel tak hanya menjadi komoditas ekspor, tetapi juga simbol transformasi ekonomi nasional menuju industri hijau dan masa depan rendah karbon.

Dengan kombinasi antara inovasi teknologi, tata kelola yang baik, dan partisipasi aktif masyarakat, industri nikel Indonesia berpotensi menjadi model pembangunan inklusif yang memadukan kemajuan ekonomi dan pelestarian lingkungan.

Rekomendasi

Index

Berita Lainnya

Index