JAKARTA – Rencana pengembangan 17 kilang modular yang akan dikerjasamakan Badan Pengelola Investasi (BPI) Danantara dengan mitra dari Amerika Serikat mendapat sorotan dari praktisi industri migas nasional. Gagasan integrasi kilang modular dengan industri petrokimia dinilai menjadi kunci untuk memastikan efisiensi dan daya saing proyek ini ke depan.
Direktur Utama PT Petrogas Jatim Utama Cendana (PJUC), Hadi Ismoyo, menilai pembangunan kilang modular di Indonesia idealnya tidak berdiri sendiri. Menurut dia, integrasi dengan fasilitas industri petrokimia akan meningkatkan nilai tambah produk dan menjadikan proyek ini lebih menarik di mata investor.
"Sehingga turunan kilang ke satu, dua, tiga dan seterusnya bisa dalam satu lokasi agar efisien, keluar sudah dalam bentuk produk yang bernilai tinggi," ujar Hadi.
Menurut Hadi, strategi tersebut dapat menekan biaya operasional, memperkuat efisiensi logistik, dan memberikan hasil akhir berupa produk dengan nilai ekonomi yang lebih besar. Ia mencontohkan kesuksesan integrasi kilang di India sebagai acuan, khususnya proyek Kilang Ambani yang dinilai sangat menguntungkan karena mengadopsi model terintegrasi tersebut.
Hadi juga menjelaskan bahwa kilang modular memiliki keunggulan tersendiri. Dibangun dengan konsep per modul, fasilitas ini bisa disesuaikan dengan volume dan kapasitas tertentu, bahkan memungkinkan untuk dibongkar dan dipindahkan jika diperlukan. Hal ini memberikan fleksibilitas tinggi dalam pengembangan infrastruktur kilang di berbagai wilayah Indonesia.
Di sisi lain, kilang konvensional umumnya bersifat permanen dan memiliki batasan dalam adaptasi terhadap dinamika kebutuhan maupun lokasi. Oleh karena itu, kilang modular dinilai cocok untuk menjangkau kawasan-kawasan yang selama ini belum memiliki infrastruktur kilang, termasuk di luar Pulau Jawa.
Namun, Hadi menegaskan bahwa ada prasyarat penting agar kilang modular dapat berjalan optimal, yaitu penyesuaian spesifikasi minyak mentah dengan fasilitas yang tersedia. Bila pasokan minyak mentah berasal dari luar negeri seperti Amerika Serikat, maka karakteristik minyak tersebut harus dikaji secara menyeluruh agar sesuai dengan desain fasilitas kilang.
“Membangun kilang itu tidak mudah, butuh studi yang komprehensif dari semua aspek, baik technical, komersial dan kepastian pasokan crude itu sendiri,” ujarnya menambahkan.
Dalam pengamatannya, masing-masing kilang modular yang direncanakan nantinya akan mampu mengolah minyak mentah menjadi berbagai jenis bahan bakar minyak (BBM), serta produk hulu petrokimia seperti nafta. Produk nafta ini selanjutnya dapat diolah lebih lanjut menjadi bahan baku untuk industri plastik, serat sintetis, nilon, hingga berbagai polimer, yang sangat dibutuhkan di sektor manufaktur.
Dengan demikian, Hadi menilai integrasi kilang dengan petrokimia bukan hanya strategi efisiensi, tetapi juga bagian dari langkah jangka panjang untuk mengembangkan industri turunan dan memperkuat rantai pasok dalam negeri.
Sementara itu, dari sisi Danantara sendiri, CEO Badan Pengelola Investasi tersebut menegaskan bahwa fokus utama mereka tetap pada proyek-proyek dalam negeri, termasuk potensi kerja sama pengembangan kilang modular.
“Kita bilangnya 80% fokus di Indonesia, 20% di luar Indonesia. Kita lihat semua, tidak hanya di AS, tetapi di negara lain. [Hal] yang penting, bagaimana kami investasi itu ada transfer teknologi dan penciptaan lapangan kerjanya,” ujar Rosan saat ditemui di kawasan Istana Negara.
Rosan menekankan bahwa dalam mengevaluasi potensi kerja sama investasi, pihaknya tidak hanya mempertimbangkan aspek komersial semata. Selain penciptaan lapangan kerja dan alih teknologi, kriteria lain yang dipegang Danantara adalah pengembalian investasi (return) yang harus berada di atas biaya modal, sebagaimana tolok ukur yang telah ditetapkan oleh lembaga tersebut.
Sebelumnya, kabar mengenai potensi kerja sama ini sempat muncul dari dokumen presentasi resmi Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian. Dalam paparan tersebut, disebutkan bahwa Danantara sedang menjajaki kontrak rekayasa, pengadaan, dan konstruksi (EPC) senilai US$8 miliar atau setara sekitar Rp130 triliun dengan perusahaan Amerika, KBR Inc.
Kontrak itu disebut terkait dengan pembangunan 17 unit kilang modular, yang masuk dalam agenda kerja sama bilateral setelah adanya penurunan tarif bea masuk terhadap sejumlah komoditas ekspor Indonesia ke pasar Amerika Serikat. Kebijakan tarif tersebut kini turun dari 32% menjadi 19%, memberikan sinyal positif bagi penguatan hubungan dagang kedua negara.
Secara umum, upaya Danantara untuk mendorong pembangunan kilang modular ini dinilai sejalan dengan kebutuhan Indonesia dalam memperluas kapasitas pengolahan minyak mentah di dalam negeri. Selain mengurangi ketergantungan terhadap impor BBM, proyek ini juga membuka peluang untuk pengembangan kawasan industri energi baru di berbagai wilayah strategis Indonesia.
Apabila terwujud, proyek ini akan menciptakan dampak positif tidak hanya dalam aspek energi dan ekonomi, tetapi juga dalam penguatan sektor manufaktur dan peningkatan kemampuan industri nasional, terutama jika pendekatan integrasi dengan petrokimia bisa direalisasikan.
Dengan tetap mengedepankan prinsip kehati-hatian dan studi mendalam, langkah Danantara dapat menjadi salah satu motor penggerak utama transformasi industri energi dan petrokimia Indonesia menuju arah yang lebih mandiri dan berdaya saing.