Minyak

Minyak Tetap Jadi Prioritas Energi China di Tahun 2025

Minyak Tetap Jadi Prioritas Energi China di Tahun 2025
Minyak Tetap Jadi Prioritas Energi China di Tahun 2025

JAKARTA - China kembali menunjukkan ketegasannya dalam menjaga kedaulatan energi nasional dengan memastikan tetap melanjutkan kerja sama strategis pembelian minyak dari Rusia, meskipun menghadapi tekanan global. Ancaman tarif tinggi dari Amerika Serikat hingga 500 persen tak menyurutkan langkah Negeri Tirai Bambu untuk menjaga pasokan energi jangka panjangnya.

Sikap ini mencerminkan komitmen China untuk menjalankan kebijakan energi secara independen, sesuai dengan kebutuhan dalam negerinya. Ketika ketegangan geopolitik meningkat, terutama menyangkut konflik Rusia dan Ukraina, posisi China mempertegas pentingnya menjaga akses energi yang stabil dan berkelanjutan tanpa intervensi asing.

Dalam pernyataan resmi yang disampaikan oleh Juru Bicara Kementerian Luar Negeri China, Guo Jiakun, Beijing dengan lugas menegaskan bahwa “kami memutuskan sendiri apa yang kami beli. Kami tidak akan menyerah atas kedaulatan energi kami.”

Pernyataan ini menegaskan arah kebijakan luar negeri China yang tetap konsisten dalam memperjuangkan kepentingan nasionalnya, terutama di sektor energi. Guo Jiakun juga menyampaikan pesan bahwa segala bentuk tekanan atau paksaan tidak akan membawa hasil. “Tembok tarif tidak menghasilkan pemenang,” ujarnya.

China melihat kebijakan sepihak seperti ancaman tarif sebagai sesuatu yang tidak produktif bagi kestabilan pasar global. Menurutnya, strategi tarif yang dikenakan secara sepihak dapat menciptakan ketidakpastian dan gejolak, khususnya di sektor energi global yang sensitif terhadap perubahan kebijakan.

Dalam pernyataannya melalui media sosial, Jiakun kembali menegaskan bahwa “perang tarif tidak memiliki pemenang. Paksaan dan tekanan tidak akan menghasilkan apa-apa.” China disebutkan akan terus “dengan tegas mempertahankan kedaulatan, keamanan, dan kepentingan pembangunannya,” termasuk dalam upaya mengamankan pasokan energi dari mitra strategisnya seperti Rusia.

Sikap China ini merupakan respons atas peringatan dari Menteri Keuangan Amerika Serikat, Scott Bessent, yang menyatakan bahwa Kongres AS tengah membahas aturan yang memungkinkan pengenaan tarif hingga 500 persen pada negara-negara yang membeli minyak dari Rusia. Selain itu, Bessent juga menyinggung keberatan terhadap pembelian minyak Iran oleh China dan ekspor teknologi bernilai miliaran dolar AS yang dianggap memperkuat operasi militer Rusia.

Namun, di balik pernyataan keras tersebut, pertemuan dagang antara AS dan China yang digelar selama dua hari di Stockholm justru berlangsung konstruktif. Bessent menyebutkan bahwa kedua pihak membuka ruang dialog yang positif, termasuk menjajaki kemungkinan perpanjangan jeda tarif yang akan berakhir pada 12 Agustus 2025.

Di sisi lain, pejabat perdagangan China, Li Chenggang, mengonfirmasi bahwa kedua negara sepakat memperpanjang masa jeda tarif dan menjaga komunikasi aktif untuk menyelesaikan isu-isu perdagangan yang masih tertunda. Ini menandakan masih terbukanya ruang diplomasi di tengah tekanan politik dan ekonomi global.

Meski demikian, kesepakatan menyeluruh antara AS dan China masih memerlukan waktu. Perwakilan Dagang AS, Jamieson Greer, menyebut China sebagai pihak yang “sangat pragmatis,” walau menekankan bahwa proses perundingan masih berada dalam jalur yang penuh tantangan.

Langkah China yang berani mempertahankan kemitraannya dengan Rusia dalam hal energi terjadi di tengah dinamika global yang semakin kompleks. Presiden AS Donald Trump sebelumnya memperingatkan negara-negara seperti China, India, dan Brasil agar menghentikan kerja sama energi dengan Rusia, dengan ancaman pengenaan tarif sekunder minimal 100 persen yang bisa meningkat hingga lima kali lipat.

Trump menegaskan bahwa tarif tersebut bisa berlaku dalam 10 hingga 12 hari jika Rusia tidak menghentikan aksi militernya di Ukraina. Jika diberlakukan, maka tarif ini berpotensi mempengaruhi struktur perdagangan energi global secara signifikan.

Pernyataan tegas China pun memengaruhi pasar. Tak lama setelah pernyataan Trump dan respons dari Beijing dirilis, harga minyak dunia melonjak lebih dari 3 persen. Lonjakan ini mencerminkan kekhawatiran pasar terhadap potensi terganggunya pasokan global akibat ketegangan geopolitik dan kebijakan dagang.

Meski menghadapi tantangan, China tetap memprioritaskan hubungan strategisnya dengan Rusia dalam hal pasokan energi. Dengan kebutuhan domestik yang besar, menjamin ketersediaan energi menjadi langkah penting demi keberlangsungan pembangunan ekonomi yang berkelanjutan.

Apalagi, masa jeda atas tarif produk China dengan AS akan segera berakhir. Jika tidak ada perpanjangan hingga 12 Agustus, maka tarif atas produk China bisa kembali meningkat dari posisi saat ini yang telah mencapai rata-rata 51,1 persen. Menteri Keuangan AS Scott Bessent menyatakan bahwa keputusan akhir menunggu persetujuan langsung dari Presiden Trump, membuat waktu untuk negosiasi semakin terbatas.

Namun demikian, komunikasi antara kedua belah pihak masih terbuka. Hal ini menjadi indikasi bahwa meskipun ada perbedaan kepentingan, peluang kerja sama dan penyelesaian damai tetap terbuka.

Secara keseluruhan, langkah China dalam menjaga hubungan energi dengan Rusia bukan hanya tentang strategi pasokan minyak semata, melainkan bagian dari visi jangka panjang untuk mempertahankan otonomi dan kestabilan dalam kebijakan energinya. Dengan mengedepankan pendekatan diplomasi yang tegas namun terbuka terhadap dialog, China menunjukkan posisinya sebagai aktor penting dalam tatanan energi global yang terus berkembang.

Rekomendasi

Index

Berita Lainnya

Index