Minyak

Optimisme Pasar Minyak Tetap Menguat

Optimisme Pasar Minyak Tetap Menguat
Optimisme Pasar Minyak Tetap Menguat

JAKARTA - Pergerakan harga minyak dunia mencerminkan dinamika global yang kompleks dan selalu berubah, dengan sentimen pasar yang dipengaruhi oleh berbagai faktor mulai dari kebijakan negara produsen hingga data ekonomi utama negara konsumen. Di tengah ketidakpastian pasar global, harga minyak mengalami penyesuaian seiring dengan berkembangnya pembahasan terkait potensi peningkatan produksi dari negara-negara OPEC+ dan rilis data ketenagakerjaan Amerika Serikat.

Harga minyak mentah jenis Brent untuk pengiriman jangka menengah menunjukkan penurunan sebesar US$ 2,03 atau sekitar 2,83%, menetap pada angka US$ 69,67 per barel. Penurunan serupa juga terjadi pada harga West Texas Intermediate (WTI) yang ditutup melemah sebesar US$ 1,93 atau 2,79%, mencapai US$ 67,33 per barel.

Meskipun ada tekanan sementara dalam perdagangan akhir pekan, harga minyak mentah masih mencatatkan penguatan yang signifikan dalam periode mingguan. Brent berhasil menguat hampir 6%, sedangkan WTI menunjukkan lonjakan sebesar 6,29%. Hal ini mencerminkan bahwa pasar tetap merespons secara positif terhadap sejumlah faktor pendukung, terutama berkaitan dengan penataan ulang pasokan dan stabilitas jangka panjang.

Sumber yang memiliki kedekatan dengan diskusi internal OPEC+ mengungkapkan bahwa organisasi tersebut tengah mempertimbangkan untuk meningkatkan produksi minyak hingga 548.000 barel per hari pada bulan mendatang. Langkah ini dinilai sebagai upaya untuk menjaga keseimbangan pasar dan memastikan pasokan tetap sesuai dengan permintaan global.

Kendati demikian, tidak semua pihak sepakat mengenai besarnya volume tambahan tersebut. Salah satu narasumber menyebutkan bahwa perundingan masih berlangsung, sehingga kemungkinan besar kenaikan yang disepakati bisa lebih kecil dari angka tersebut. Hal ini menunjukkan pendekatan hati-hati dari OPEC+ dalam menjaga stabilitas pasar minyak dunia.

Sementara itu, perkembangan ekonomi Amerika Serikat turut memberikan warna tersendiri terhadap sentimen pasar minyak. Laporan ketenagakerjaan menunjukkan pertumbuhan lapangan kerja sebesar 73.000, angka yang sedikit di bawah ekspektasi para ekonom. Kenaikan tingkat pengangguran dari 4,1% menjadi 4,2% menciptakan persepsi adanya pelemahan permintaan energi dalam jangka pendek.

Namun, pelaku pasar dan analis berupaya melihat kondisi ini dalam konteks yang lebih luas. Phil Flynn, analis senior dari Price Futures Group, menyoroti bagaimana berbagai kebijakan pemerintah dan keputusan Federal Reserve turut memengaruhi iklim ekonomi dan pasar energi. Ia mengatakan, “Kita bisa menyalahkan Presiden AS Donald Trump atas tarif yang berlaku atau kita bisa menyalahkan Federal Reserve karena tidak menaikkan suku bunga.”

Komentar tersebut mengacu pada keputusan The Fed yang memilih untuk mempertahankan suku bunga dalam pertemuan terakhirnya. Langkah ini sempat menuai kritik dari kalangan politisi, namun juga dianggap sebagai bentuk kehati-hatian dalam merespons dinamika ekonomi global.

Fokus pasar minyak sepanjang pekan lebih banyak tertuju pada dampak dari kebijakan perdagangan internasional yang diterapkan oleh pemerintah AS. Presiden Trump telah menandatangani perintah eksekutif yang menetapkan tarif tambahan terhadap sejumlah negara yang belum mencapai kesepakatan perdagangan, dengan tarif yang berkisar antara 10% hingga 41%. Kebijakan ini mulai diberlakukan dalam waktu dekat dan berdampak pada sejumlah negara mitra dagang seperti Kanada, India, dan Taiwan.

Namun demikian, beberapa negara berhasil mengamankan perjanjian yang menghindarkan mereka dari kebijakan tarif tersebut, di antaranya Uni Eropa, Korea Selatan, Jepang, dan Inggris. Langkah ini dipandang sebagai salah satu pemicu positif terhadap pergerakan harga minyak beberapa hari terakhir.

Menurut Suvro Sarkar dari DBS Bank, penyelesaian sebagian besar kesepakatan perdagangan memberikan angin segar bagi pasar. Ia menyatakan bahwa, “Kami pikir penyelesaian kesepakatan perdagangan yang memuaskan pasar – kurang lebih, dengan beberapa pengecualian – telah menjadi pendorong utama kenaikan harga minyak dalam beberapa hari terakhir.”

Dukungan terhadap harga minyak juga datang dari perkembangan geopolitik yang berkaitan dengan Rusia. Ancaman kebijakan baru dari pemerintah AS yang berencana mengenakan tarif sekunder sebesar 100% bagi negara-negara pembeli minyak Rusia turut menimbulkan kekhawatiran pasar. Langkah ini bertujuan memberikan tekanan terhadap Rusia dan mendorong penyelesaian konflik di kawasan Eropa Timur.

Kekhawatiran terhadap potensi terganggunya alur perdagangan minyak internasional turut membayangi dinamika pasar. Menurut analis dari JP Morgan, sanksi terhadap China dan India sebagai dua negara pembeli utama minyak Rusia dapat berpotensi mengganggu sekitar 2,75 juta barel per hari dari ekspor minyak Rusia melalui jalur laut. Hal ini menjadikan perhatian terhadap stabilitas pasokan energi menjadi semakin relevan.

Kedua negara tersebut memiliki posisi strategis dalam peta konsumsi energi global, dengan China dan India masing-masing berada di peringkat kedua dan ketiga sebagai konsumen minyak mentah terbesar di dunia. Oleh karena itu, setiap kebijakan yang melibatkan kedua negara ini akan memiliki dampak signifikan terhadap harga dan distribusi minyak secara global.

Secara keseluruhan, meskipun harga minyak sempat mengalami tekanan akibat sejumlah faktor eksternal, namun kekuatan fundamental pasar tetap terjaga. Penyesuaian yang terjadi mencerminkan dinamika wajar dalam perdagangan komoditas energi, dan menjadi bagian dari mekanisme pasar dalam merespons perubahan yang terjadi secara global.

Optimisme masih terlihat kuat, mengingat adanya upaya yang berkelanjutan dari OPEC+ dalam menjaga keseimbangan pasokan dan permintaan, serta pendekatan kebijakan global yang cenderung adaptif. Dengan kombinasi tersebut, pasar minyak dunia memiliki landasan yang kokoh untuk menjaga stabilitas dan pertumbuhan yang berkelanjutan dalam jangka panjang.

Rekomendasi

Index

Berita Lainnya

Index