Nikel

Nikel Perlu Penataan Ulang Agar Investasi Tetap Berkelanjutan

Nikel Perlu Penataan Ulang Agar Investasi Tetap Berkelanjutan
Nikel Perlu Penataan Ulang Agar Investasi Tetap Berkelanjutan

JAKARTA - Meningkatnya investasi di sektor nikel Indonesia menjadi sorotan utama sepanjang semester pertama 2025. Namun, di balik pertumbuhan tersebut, muncul tantangan yang tak bisa diabaikan. Para ekonom dan pelaku industri menyampaikan perlunya langkah antisipatif dari pemerintah agar pertumbuhan ini tetap seimbang dan berkelanjutan, terutama menyangkut pembangunan smelter baru yang kini dinilai sudah melebihi kapasitas pasokan.

Salah satu usulan utama yang mengemuka adalah penerapan moratorium atau penangguhan sementara terhadap proyek smelter pirometalurgi berbasis rotary kiln electric furnace (RKEF). Langkah ini dianggap penting guna menjaga keberlangsungan industri nikel dalam jangka panjang, sekaligus membuka ruang bagi diversifikasi investasi ke sektor bernilai tambah tinggi seperti baterai kendaraan listrik dan baja nirkarat.

Kelebihan Kapasitas dan Ancaman Kekurangan Bahan Baku

Ekonom dari Universitas Gadjah Mada (UGM), Fahmy Radhi, mengemukakan bahwa maraknya pembangunan smelter pirometalurgi terjadi akibat insentif pemerintah yang sempat menarik banyak investor, khususnya dari Tiongkok. Namun, ketika harga nikel melemah dan pasokan bijih menipis, sebagian besar smelter menghadapi kesulitan dalam menjaga operasional.

“Meskipun sudah terlambat, saya kira ini saat yang tepat untuk melakukan moratorium,” ujar Fahmy. Ia menyebut bahwa Indonesia kini menghadapi situasi kelebihan fasilitas pemrosesan, tetapi kekurangan bahan baku bijih nikel.

Menurutnya, langkah moratorium akan memberi ruang untuk perbaikan arah investasi. Pemerintah dapat mendorong pengembangan produk hilir seperti stainless steel dan baterai listrik yang bernilai tambah lebih tinggi, serta membangun ekosistem industri yang terintegrasi dari hulu ke hilir.

“Smelter sudah cukup, yang perlu dibangun sekarang adalah industri lanjutan yang memanfaatkan hasil smelter, bukan menambah fasilitas pemrosesan primer lagi,” tambahnya.

Dorongan Pengendalian Produksi dari Sisi Hulu

Selain dari sisi hilir, perhatian juga diarahkan ke hulu. Asosiasi Penambang Nikel Indonesia (APNI) menekankan pentingnya pengaturan produksi bijih nikel untuk menjaga stabilitas harga. Sekretaris Jenderal APNI, Meidy Katrin, menegaskan bahwa lonjakan kapasitas smelter tidak diiringi dengan pertumbuhan permintaan global yang seimbang.

“Kita tidak bisa hanya fokus menambah kapasitas tanpa memperhatikan permintaan. Saatnya pemerintah melakukan kontrol produksi,” kata Meidy.

Saat ini terdapat 120 proyek smelter pirometalurgi RKEF yang beroperasi di Indonesia, dengan kebutuhan bijih nikel mencapai lebih dari 584 juta ton. Bandingkan dengan proyek hidrometalurgi HPAL yang hanya berjumlah 27 proyek dan membutuhkan sekitar 150 juta ton. Data ini menunjukkan ketimpangan yang cukup besar antara jenis smelter dan kebutuhan bahan bakunya.

Investasi Tetap Tumbuh, Tapi Ada Tantangan

Meski diwarnai sejumlah tekanan, investasi hilirisasi di sektor nikel tetap mencatatkan pertumbuhan signifikan. Pada kuartal kedua 2025, investasi hilirisasi nikel mencapai Rp46,3 triliun. Komoditas ini menjadi penyumbang terbesar dalam investasi hilirisasi mineral secara nasional, mengungguli tembaga, bauksit, besi, baja, dan timah.

Berdasarkan data Kementerian Investasi dan Hilirisasi/BKPM, nilai ini berkontribusi pada total investasi hilirisasi mineral sebesar Rp96,2 triliun sepanjang kuartal kedua 2025, naik dari Rp70,9 triliun pada periode yang sama tahun lalu. Secara kumulatif, investasi hilirisasi seluruh sektor tembus Rp144,5 triliun, meningkat hampir 37% dari tahun sebelumnya.

Namun, pertumbuhan ini harus dibaca dengan hati-hati. Tekanan harga global dan membanjirnya pasokan bijih telah memicu penurunan margin pada smelter-smelter nikel, khususnya pirometalurgi.

Realita di Lapangan: Lini Produksi Banyak yang Dihentikan

Fenomena penghentian operasional sebagian lini produksi menjadi sinyal bahwa koreksi arah pengembangan industri nikel memang diperlukan. Berdasarkan catatan APNI, setidaknya 28 lini produksi smelter telah berhenti beroperasi. Dari jumlah itu, 25 milik PT Gunbuster Nickel Industry (GNI), anak usaha Jiangsu Delong dari Tiongkok, yang saat ini tengah menghadapi masalah pendanaan.

Menurut informasi yang disampaikan Djoko Widajatno dari APNI, operasional GNI nyaris mendekati kondisi total shutdown. “Estimasinya lebih dari 15 lini produksi [GNI] telah dihentikan,” ujarnya.

Kondisi serupa juga terjadi di PT Indonesia Tsingshan Stainless Steel (ITSS). Beberapa lini produksi baja nirkarat dan satu cold rolling mill dihentikan sejak Mei 2025. Pihak Tsingshan menyebut bahwa penghentian ini hanya bersifat sementara dan terbatas pada lini cold roll mereka.

Selain itu, PT Virtue Dragon Nickel Industry (VDNI) dan PT Huadi Nickel Alloy Indonesia (HNI) juga dikabarkan mengurangi kapasitas produksinya. Meski belum ada data pasti soal jumlah lini yang dihentikan, APNI mengonfirmasi bahwa pengurangan produksi terjadi akibat tekanan biaya dan permintaan yang melemah.

Penataan Industri untuk Ketahanan Jangka Panjang

Langkah strategis seperti moratorium dan pengendalian produksi di sektor nikel bukan semata respons terhadap tantangan saat ini. Lebih dari itu, kebijakan ini diperlukan untuk memastikan industri nikel nasional tetap berdaya saing dan mampu berkontribusi optimal terhadap ekonomi nasional.

Dukungan terhadap pengembangan produk bernilai tambah, seperti baterai listrik dan stainless steel, menjadi kunci penting dalam mewujudkan industrialisasi yang tidak hanya padat modal tetapi juga berorientasi masa depan. Dengan menyeimbangkan investasi, produksi, dan permintaan, Indonesia bisa memastikan perannya sebagai pemimpin pasar nikel global sekaligus penggerak energi bersih dan teknologi ramah lingkungan.

Keseimbangan itulah yang kini tengah dicari, agar potensi besar nikel Indonesia dapat terus tumbuh dalam koridor keberlanjutan.

Rekomendasi

Index

Berita Lainnya

Index