Wisata

Wisata Paralayang Sakral dan Penuh Kearifan Lokal

Wisata Paralayang Sakral dan Penuh Kearifan Lokal
Wisata Paralayang Sakral dan Penuh Kearifan Lokal

JAKARTA - Desa Kutuh di Kuta Selatan, Badung, Bali, kini menjadi sorotan berkat kehadiran aktivitas wisata paralayang yang menawarkan pengalaman terbang di atas keindahan Pantai Gunung Payung. Kegiatan ini bukan hanya menjadi daya tarik baru di dunia pariwisata, tetapi juga menunjukkan bagaimana petualangan ekstrem dapat bersanding dengan nilai-nilai lokal dan adat yang dijunjung tinggi.

Sebuah video yang beredar di media sosial sempat menimbulkan berbagai reaksi karena memperlihatkan paralayang yang tampak terbang di atas Pura Gunung Payung. Beberapa warganet mengkhawatirkan kemungkinan terjadinya pelanggaran terhadap kesucian pura sebagai tempat ibadah umat Hindu.

Penegasan dari Pelaku Wisata Langsung

Merespons kekhawatiran tersebut, pihak pengelola Gunung Payung Paragliding memberikan klarifikasi langsung. Manager Gunung Payung Paraglading, Ketut Manda, dengan tegas membantah tudingan bahwa penerbangan paralayang dilakukan tepat di atas Pura.

“Saya jamin 100 persen karena saya pelaku, saya sebagai penerbang juga. Kami seorang Hindu tidak mungkin lah kami terbang di atas Pura, kami tahu etika, aturan, sopan santun, istiadat kami. Kami tidak mungkin mencemarkan nama Pura,” ujar Ketut Manda.

Ketut menekankan bahwa para penerbang adalah warga lokal yang sangat memahami pentingnya menjaga kesucian pura. Menurutnya, justru keberadaan wisata ini dipercaya telah mendapat restu spiritual dari Bhatara yang melinggih di Pura Gunung Payung.

“Sugra, Pura ini, Bhatara yang melinggih ini memberikan restu kepada usaha kami, kalau tidak kan, gak ada ini sekarang,” katanya dengan lirih, menunjukkan keyakinannya bahwa aktivitas ini selaras dengan nilai spiritual dan budaya setempat.

Faktor Alam Jadi Pertimbangan Teknis

Dari segi teknis penerbangan, Ketut juga menjelaskan bahwa secara alamiah, sangat tidak memungkinkan paralayang melintasi tebing yang berada di belakang pura. Area tersebut kerap mengalami turbulensi dan kondisi angin yang tidak mendukung untuk aktivitas terbang. Hal ini menjadikan tempat itu bukan hanya tidak layak dilintasi, tetapi juga berisiko tinggi terhadap keselamatan para penerbang.

“Dengan pesatnya perkembangan pariwisata dan wisatawan sampai saat ini kita masih eksis. Dengan selalu mengedepankan safety, di sepanjang tebing ini kita sangat banyak ada Pura dan kami sudah memasang rambu tidak boleh melintas dan terbang di atas Pura. Kami sudah pasang rambu dan bendera merah di setiap sudut pura,” ujarnya.

Untuk menghindari potensi pelanggaran, pihak pengelola juga telah menempatkan rambu-rambu jelas di sekitar kawasan. Tanda larangan bertuliskan ‘Never Fly Above The Temple’ dipasang pada titik-titik penting agar para pilot paralayang benar-benar memahami batas-batas yang tidak boleh dilanggar.

Komitmen Terhadap Adat dan Prosedur

Direktur Utama BUMDA Kutuh, Ni Luh Hepi Wiradani, turut menjelaskan bahwa seluruh aktivitas paralayang dilakukan sesuai dengan standar operasional prosedur. SOP ini tidak hanya berkaitan dengan keselamatan penerbangan, tetapi juga menyangkut kepatuhan terhadap nilai-nilai adat serta menjaga kesucian pura.

“Kami terbang jauh dari bibir tebing, di atas Pantai Gunung Payung. Namun kalau di foto, tergantung dari angle atau posisi membidik, bisa jadi terlihat seolah terbang di atas Pura,” jelas Ni Luh Hepi.

Keterangan ini sekaligus menjawab kesalahpahaman publik yang muncul akibat sudut pengambilan gambar. Perspektif kamera yang digunakan dalam video bisa saja menimbulkan ilusi visual yang menyesatkan, padahal rute sebenarnya berada jauh dari area suci pura.

Memberdayakan Warga Lokal Melalui Wisata

Lebih dari sekadar destinasi wisata petualangan, unit usaha paralayang yang dikelola BUMDA Kutuh ini juga membawa dampak positif bagi masyarakat setempat. Kegiatan paralayang ini dijalankan secara profesional oleh tim yang seluruh anggotanya merupakan warga lokal.

Saat ini, tercatat enam pilot, sepuluh porter, serta staf administrasi yang seluruhnya berasal dari Desa Adat Kutuh. Inisiatif ini menjadi bagian dari upaya pemberdayaan masyarakat sekaligus menjaga agar hasil ekonomi dari sektor wisata tetap berputar di komunitas lokal.

Wisata paralayang di Kutuh tidak hanya menyuguhkan pengalaman melayang di atas keindahan alam, tetapi juga mencerminkan bagaimana kegiatan pariwisata bisa dikembangkan dengan menjunjung tinggi budaya dan adat istiadat yang berlaku.

Harmoni antara Wisata dan Sakralitas

Desa Kutuh melalui wisata paralayang Gunung Payung menunjukkan bahwa aktivitas wisata tidak harus bertentangan dengan nilai-nilai sakral yang dijaga oleh masyarakat lokal. Justru, dengan pendekatan yang berbasis pada kearifan lokal, kegiatan ini tumbuh menjadi ikon pariwisata yang harmonis dan penuh makna.

Langkah-langkah yang diambil pengelola, mulai dari menjaga jarak penerbangan hingga pemasangan rambu-rambu larangan, menjadi bukti nyata komitmen terhadap pelestarian budaya dan tempat suci. Pada saat yang sama, masyarakat setempat ikut menikmati manfaat ekonomi tanpa harus mengorbankan nilai-nilai luhur yang mereka junjung.

Paralayang di Gunung Payung bukan sekadar atraksi wisata biasa. Ia adalah cerminan dari bagaimana komunitas lokal dapat membangun destinasi yang aman, bertanggung jawab, dan beretika. Dengan tetap menghormati kesucian pura dan memberdayakan warga lokal, wisata ini menjadi contoh sinergi antara pelestarian budaya dan inovasi pariwisata yang patut diapresiasi.

Rekomendasi

Index

Berita Lainnya

Index