JAKARTA - Dalam dunia hukum, terutama di Pengadilan Agama (PA), bukti ilmiah memiliki peranan penting sebagai alat pembuktian yang sah dan menentukan. Hal ini ditegaskan oleh Abdul Hadi, Hakim Pengadilan Tinggi Agama Padang, saat mengikuti proses wawancara sebagai calon hakim agung dari Kamar Agama. Ia memberikan penjelasan terkait bagaimana scientific evidence dapat digunakan secara optimal dalam menyelesaikan kasus waris yang melibatkan sengketa anak dan hak waris.
Studi Kasus: Sengketa Hak Waris Anak dalam Keluarga
Salah satu kasus yang pernah ditangani Abdul Hadi memperlihatkan bagaimana bukti ilmiah bisa menjadi penentu keadilan. Dalam perkara tersebut, seorang istri mengklaim bahwa anaknya berhak menerima warisan dari suaminya yang telah meninggal. Namun, klaim tersebut mendapat penolakan dari keluarga suami, yang mempertanyakan hubungan darah anak tersebut.
Abdul Hadi menjelaskan, “Jika seorang istri memang mengaku bahwa anak tersebut adalah anak kandung dari suaminya yang meninggal, maka silakan buktikan dengan scientific evidence berupa tes DNA. Namun, penggugat tersebut tidak mau melakukan tes DNA.” Karena penggugat tidak mampu memberikan bukti ilmiah tersebut, permohonan hak waris pun akhirnya ditolak oleh pengadilan.
Bukti Ilmiah Sebagai Akta Otentik
Abdul Hadi menegaskan bahwa scientific evidence tidak hanya menjadi bukti pendukung, tetapi bisa berfungsi sebagai alat bukti utama yang sah. Bukti ini apabila dikeluarkan oleh pejabat berwenang dan disusun dalam format yang tepat, memiliki kekuatan sebagai akta otentik dalam proses hukum. Dengan demikian, scientific evidence dapat memperkuat posisi hukum para pihak yang berkepentingan.
Bukti Ilmiah Tidak Selalu Dibutuhkan dalam Semua Kasus
Meski demikian, tidak semua perkara di Pengadilan Agama memerlukan bukti ilmiah sebagai alat utama. Contohnya adalah kasus perceraian yang diajukan dengan alasan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT). Dalam hal ini, bukti ilmiah seperti visum tidak selalu menjadi syarat wajib untuk pembuktian.
Dalam praktiknya, Abdul Hadi menjelaskan bahwa pembuktian KDRT biasanya dilakukan dengan menghadirkan saksi yang melihat atau mendengar langsung kejadian tersebut. "Dalam praktik di PA, pembuktian KDRT tidak harus dengan visum di dokter. Ada yang mengajukan saksi-saksi yang melihat atau mendengar sendiri bahwa telah terjadi KDRT dalam rumah tangganya,” tambahnya.
Menjaga Keseimbangan dalam Pembuktian Hukum
Penjelasan dari Abdul Hadi ini menunjukkan bagaimana Pengadilan Agama berupaya menjaga keseimbangan antara pembuktian ilmiah dan bukti lain yang lebih relevan sesuai konteks perkara. Di satu sisi, scientific evidence menjadi andalan dalam kasus yang membutuhkan kejelasan hubungan biologis, seperti waris. Di sisi lain, dalam perkara yang sifatnya lebih sosial dan emosional seperti KDRT, bukti saksi dapat lebih diutamakan.
Pendekatan ini menunjukkan fleksibilitas sistem peradilan dalam menyesuaikan metode pembuktian agar proses hukum berjalan adil dan efisien sesuai karakter kasus yang dihadapi.
Peran bukti ilmiah dalam hukum agama sangat penting terutama dalam konteks pembuktian waris, namun penggunaannya disesuaikan dengan kebutuhan dan karakter kasus. Penegasan dari Abdul Hadi sebagai calon hakim agung memberikan gambaran jelas bahwa scientific evidence bukan hanya sekadar alat pendukung, tetapi bisa menjadi fondasi utama untuk mencapai keadilan dalam proses peradilan. Di sisi lain, bukti non-ilmiah juga tetap mendapat tempat penting, terutama dalam perkara yang melibatkan masalah sosial dan rumah tangga. Sistem peradilan agama pun terus berkembang agar mampu memberikan keputusan terbaik bagi masyarakat.