Hiburan

Hiburan Layar Tancap Tetap Hidup di Jombang

Hiburan Layar Tancap Tetap Hidup di Jombang
Hiburan Layar Tancap Tetap Hidup di Jombang

JAKARTA - Di tengah maraknya tontonan digital yang bisa dinikmati di layar ponsel, hiburan layar tancap di Kabupaten Jombang justru tetap bertahan. Keberadaannya membawa suasana nostalgia dan menjadi daya tarik tersendiri bagi masyarakat, terutama saat hajatan dan peringatan hari besar.
Salah satu tokoh yang menjaga tradisi ini adalah Slamet Mujiono, warga Dusun Kauman, Desa Kauman, Kecamatan Ngoro. Dengan usaha bernama Surya Film, ia tidak hanya menyewakan peralatan layar tancap, tetapi juga menghadirkan pengalaman menonton yang mengembalikan penonton ke masa ketika film dinikmati bersama warga di lapangan terbuka. “Awalnya cuma buat koleksi pribadi saja,” tutur Slamet.

Awal Kecintaan pada Layar Tancap

Kecintaan Slamet pada layar tancap berawal sejak kecil. Ia sudah akrab dengan suara khas pita seluloid dan cahaya proyektor yang menembus gelap malam. Pengalaman bekerja sebagai operator layar tancap sejak usia muda membuatnya paham seluk-beluk peralatan pemutaran film analog.
Pada tahun 2010, ia mulai serius mengumpulkan proyektor dan rol film seluloid bekas. Berburu dari pasar loak, kolektor, hingga mantan perusahaan distribusi film, Slamet berhasil mengoleksi 83 judul film dari berbagai era, mulai dekade 1970-an hingga awal 2000-an.

“Saya beli dari orang-orang yang sudah tak lagi pakai. Ada yang dari Surabaya, Malang, bahkan Jakarta. Saya rawat juga,” ujarnya sambil menunjukkan rak film koleksinya.

Ia juga memiliki tiga unit proyektor jadul jenis Xenon yang masih berfungsi dengan baik. Perawatannya harus teliti karena suku cadangnya semakin sulit ditemukan.

Kebangkitan Setelah Pandemi

Masa pandemi sempat membatasi aktivitas hiburan rakyat. Namun, setelah situasi membaik pada tahun 2021, Slamet melihat peluang baru. Ia mencoba menawarkan jasa persewaan layar tancap dan mendapat sambutan luar biasa.
Kini, pesanan datang tidak hanya dari Jombang, tetapi juga Mojokerto dan Sidoarjo. Layar tancap miliknya menjadi pilihan warga yang ingin menghidupkan kembali suasana kampung lewat tontonan bersama. “Orang-orang biasanya nyewa buat nostalgia. Mereka kangen masa kecil, kangen nonton bareng warga sekampung,” ungkap Slamet.

Favorit Saat Peringatan Hari Kemerdekaan

Bulan Agustus menjadi musim tersibuk. Film perjuangan dan kolosal seperti Pasukan Berani Mati atau Darah Garuda menjadi favorit. Banyak penyewa memilih film bertema kemerdekaan untuk memeriahkan malam 17-an.
“Bulan Agustus ini saja, sudah ada empat penyewa yang booking buat malam 17-an,” kata Slamet. “Mereka bilang ingin suasana kampung terasa lebih hidup seperti dulu.”

Harga sewanya berkisar antara Rp 800 ribu hingga Rp 1 juta, tergantung jarak lokasi. Paket ini sudah mencakup pemutaran tiga film, layar tancap, sound system, operator, dan teknisi.

Suasana yang Tak Tergantikan

Menonton layar tancap bukan sekadar soal film yang diputar. Ini tentang suasana yang tercipta. Anak-anak berlarian di bawah layar, orang tua duduk sambil menikmati kopi dan gorengan, sementara gelak tawa dan teriakan penonton kadang menyatu dengan alur cerita di layar.
“Biasanya orang sewa mulai sore, dibuka dengan musik dulu. Lalu film diputar malam setelah salat Isya, bisa sampai tengah malam,” jelas Slamet.

Di era digital, layar tancap menghadirkan kehangatan yang jarang ditemukan. Kebersamaan, kesederhanaan, dan interaksi sosial menjadi nilai utama yang membuat hiburan ini tetap relevan.

Melestarikan Warisan Budaya Populer

Bagi Slamet, layar tancap adalah bagian penting dari sejarah sinema rakyat Indonesia. Sejak dekade 60-an hingga akhir 90-an, hiburan ini mengakar kuat di desa-desa. Baginya, menjaga keberadaan layar tancap bukan hanya urusan bisnis, tetapi juga tanggung jawab budaya.

“Saya cuma ingin anak-anak muda sekarang tahu, kalau dulu nonton film itu nggak semudah sekarang. Tapi justru karena itu, rasanya lebih hangat,” ujarnya dengan nada haru.

Ia berharap pemerintah daerah dan komunitas seni turut mendukung pelestarian layar tancap, misalnya melalui festival atau pengarsipan film lama yang mulai langka.

“Saya siap diajak kolaborasi. Yang penting budaya ini jangan sampai punah,” tegasnya.

Menyulam Kenangan di Layar Putih

Setiap kali layar putih terbentang di tengah lapangan, cerita masa lalu seakan terajut kembali. Bagi sebagian orang, ini adalah kenangan masa kecil. Bagi generasi muda, ini adalah pengalaman baru yang unik.
Hiburan seperti ini membuktikan bahwa di tengah kemajuan teknologi, nilai-nilai kebersamaan tetap menjadi alasan orang berkumpul. Layar tancap bukan hanya tentang tontonan, tetapi juga tentang membangun interaksi dan menghidupkan kembali semangat gotong royong.

Dengan semangat yang terus ia bawa, Slamet Mujiono menjadikan hiburan layar tancap sebagai jembatan antara masa lalu dan masa kini. Tradisi ini pun terus hidup di hati masyarakat, menjadi saksi bahwa hiburan sederhana mampu menciptakan kebahagiaan yang tak lekang oleh waktu.

Rekomendasi

Index

Berita Lainnya

Index