JAKARTA - Pergeseran global menuju energi rendah karbon ternyata tidak hanya menjadi wacana, tetapi juga mendorong potensi besar di pasar modal Indonesia.
Sejumlah emiten yang bergerak di sektor panas bumi, mulai dari PT Pertamina Geothermal Energy Tbk. (PGEO), PT Barito Renewable Energy Tbk. (BREN), hingga PT Dian Swastatika Sentosa Tbk. (DSSA), kini dipandang sebagai pilihan strategis bagi investor jangka panjang.
Optimisme ini tidak datang tanpa dasar. Pemerintah telah menetapkan komitmen kuat terhadap transisi energi melalui Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL) 2025–2034.
Dalam dokumen tersebut, PT PLN (Persero) sebagai offtaker menargetkan kapasitas Pembangkit Listrik Tenaga Panas Bumi (PLTP) melonjak signifikan dari hanya 133 megawatt (MW) pada 2024 menjadi 5.157 MW pada 2034.
Angka ini jauh lebih tinggi dibanding realisasi pemanfaatan panas bumi saat ini, yang baru 4,9% atau sekitar 1.438,5 MW dari total potensi 29.544 MW yang tersimpan di Tanah Air.
Emiten Panas Bumi Diuntungkan Transisi Energi
Founder Republik Investor sekaligus pengamat pasar modal, Hendra Wardana, menilai arah kebijakan tersebut membuka peluang emas bagi emiten panas bumi. Menurutnya, PGEO, BREN, hingga DSSA memiliki posisi strategis dalam mendukung ambisi pemerintah sekaligus memperkuat bisnis jangka panjang.
"Dari sisi keuangan, prospek mereka ke depan terlihat cukup solid. Misalnya, PGEO yang tengah menggarap 19 proyek berkapasitas 530 MW dengan nilai investasi hingga Rp87 triliun, secara bertahap akan meningkatkan pendapatan dan EBITDA perusahaan seiring bertambahnya kapasitas terpasang menuju target 1,7 GW pada 2034," jelasnya, Kamis (2/10/2025).
Tidak hanya PGEO, BREN melalui Star Energy Geothermal sudah mengoperasikan hampir 1 gigawatt (GW) kapasitas panas bumi, menjadikannya salah satu pemain besar dunia. Menurut Hendra, skala usaha yang masif dan ekspansi berkelanjutan ini memberi peluang pertumbuhan pendapatan yang lebih agresif.
Sementara DSSA, meski masih dominan dengan bisnis batu bara, mulai merambah sektor energi terbarukan. Diversifikasi melalui panas bumi, kata Hendra, berpotensi memperkuat valuasi jangka panjang perusahaan.
Investor Optimis, Pemerintah Jadi Penopang
Ekspektasi terhadap kinerja emiten panas bumi juga didorong faktor eksternal. Pemerintah tidak hanya mendorong target energi baru terbarukan (EBT), tetapi juga menyiapkan dukungan anggaran besar.
Di sisi lain, PLN sebagai pembeli utama (offtaker) memastikan penyerapan listrik dari proyek panas bumi, sehingga mengurangi risiko penyerapan energi yang kerap menghantui sektor EBT.
“Dengan tren global menuju ekonomi rendah karbon, saham-saham emiten panas bumi berpotensi menjadi pilihan strategis bagi investor jangka panjang,” lanjut Hendra.
Optimisme ini juga tercermin di lantai bursa. Sejak awal tahun, saham DSSA melesat 183,51% ke Rp104.900 per penutupan perdagangan Kamis (2/10/2025).
PGEO tumbuh 44,92% year to date ke Rp1.355, sementara BREN memang sempat terkoreksi 1,08% ke Rp9.175, tetapi grafiknya menunjukkan tren pemulihan setelah sebelumnya anjlok hingga Rp4.250.
Secara teknikal, Hendra menilai PGEO mulai menarik ketika berhasil menembus level Rp1.375 dengan target ke Rp1.620. Untuk BREN, posisinya dinilai solid di atas MA20 dengan target terdekat Rp10.000.
Adapun DSSA memiliki pola swing menarik dengan target harga Rp120.000. "Sentimen positif inilah yang berpotensi mendorong harga saham mereka ke level lebih tinggi," ujarnya menambahkan.
Tantangan: Biaya Tinggi dan Regulasi Rumit
Meski prospeknya cerah, Hendra mengingatkan bahwa bisnis panas bumi bukan tanpa risiko. Pertama, biaya investasi relatif tinggi karena melibatkan eksplorasi, pengeboran, hingga pembangunan infrastruktur. Hal ini membuat arus kas perusahaan berpotensi tertekan sebelum proyek beroperasi penuh.
Kedua, regulasi dan perizinan yang rumit sering menjadi hambatan, memperlambat realisasi proyek. Ketiga, risiko teknis dari eksplorasi sumur panas bumi juga cukup tinggi, dengan kemungkinan kapasitas tidak sesuai target.
Selain itu, volatilitas kurs rupiah terhadap dolar AS menjadi faktor tambahan. Mayoritas belanja modal menggunakan mata uang asing, sehingga fluktuasi nilai tukar berpotensi menekan beban keuangan perusahaan.
“Oleh karena itu, meski prospek panas bumi dalam jangka panjang sangat menjanjikan, investor tetap perlu mencermati aspek manajemen risiko dan kapasitas pendanaan emiten,” pungkas Hendra.
Prospek ke Depan
Jika melihat arah kebijakan pemerintah dan tren global, prospek emiten panas bumi tampak semakin menjanjikan. Indonesia yang memiliki cadangan panas bumi terbesar kedua di dunia baru memanfaatkan sebagian kecil potensinya.
Dengan proyek-proyek baru yang terus berjalan dan target ambisius dalam RUPTL, peluang pertumbuhan semakin terbuka lebar.
Dari sisi investor, saham emiten panas bumi tidak hanya menawarkan potensi capital gain, tetapi juga posisi strategis dalam portofolio yang ramah lingkungan. Hal ini selaras dengan tren ESG (environmental, social, governance) yang semakin mendapat perhatian di pasar modal global.
Pada akhirnya, masa depan PGEO, BREN, dan DSSA akan ditentukan oleh dua hal utama: kemampuan mengeksekusi proyek tepat waktu dan strategi dalam mengelola risiko pembiayaan maupun teknis.
Jika keduanya bisa diatasi, bukan tidak mungkin emiten panas bumi menjadi primadona baru di bursa efek dalam satu dekade mendatang.