Saham

Prospek Cerah TINS Usai Limpahan Smelter, Saham Naik Drastis

Prospek Cerah TINS Usai Limpahan Smelter, Saham Naik Drastis
Prospek Cerah TINS Usai Limpahan Smelter, Saham Naik Drastis

JAKARTA - PT Timah Tbk (TINS) tengah memasuki fase penting transformasi bisnis. 

Bukan hanya karena harga sahamnya yang melonjak lebih dari 148% dalam sebulan terakhir, melainkan juga karena adanya katalis fundamental berupa penyerahan aset enam smelter dari pemerintah yang diyakini bakal mengubah peta persaingan industri timah nasional.

Sepanjang September hingga awal Oktober 2025, saham TINS terus menguat hingga menutup perdagangan Selasa (7/10/2025) di level Rp2.710 per saham, naik 19,91% dibanding sehari sebelumnya. Kenaikan ini membuat akumulasi kenaikan bulanan mencapai 148,62% atau setara 1.620 poin.

Lonjakan harga saham TINS semakin mencolok jika dibandingkan dengan saham-saham BUMN lain yang justru tertekan. Saham PT Bank Rakyat Indonesia Tbk (BBRI), misalnya, terkoreksi 4,87% sepanjang periode yang sama.

Sentimen Positif dari Enam Smelter

Katalis utama bagi penguatan saham TINS adalah kebijakan pemerintah menyerahkan enam smelter hasil barang rampasan negara (BRN) kepada perusahaan pelat merah ini. 

Enam fasilitas tersebut sebelumnya disita karena terlibat dalam aktivitas pertambangan ilegal di wilayah konsesi PT Timah di Bangka Belitung.

Nilai aset sitaan itu diperkirakan mencapai Rp6–7 triliun, belum termasuk kandungan tanah jarang (rare earth) atau monasit yang bisa bernilai jauh lebih besar. Harga monasit bahkan diperkirakan mencapai US$200.000 per ton, sehingga menjadi potensi baru bagi TINS di luar komoditas timah.

Menurut Fath Aliansyah Budiman, Head of Investment Specialist Maybank Sekuritas, keberadaan smelter baru ini bisa menjadi awal cerita turnaround bagi TINS di paruh kedua 2025. “Jadi ekspektasinya sudah membaik,” ujarnya.

Pangsa Pasar Timah Bisa Capai 80%

Manfaat langsung dari limpahan aset ini adalah bertambahnya pangsa pasar timah yang sebelumnya dikuasai oleh penambang ilegal. Angga Septianus, analis PT Indo Premier Sekuritas, menilai kondisi ini akan menguntungkan TINS secara struktural.

“Market share (dari yang sebelumnya dipegang penambang ilegal) akan bertambah ke TINS,” jelasnya.

Riset Indo Premier menunjukkan bahwa tambang ilegal memang menjadi isu klasik di industri timah Indonesia. Dengan diberantasnya aktivitas ilegal, produksi TINS meningkat signifikan, tercatat mencapai 1.877 ton pada Juli 2025.

Menurut analis Indo Premier, Ryan Winipta dan Reggie Parengkuan, hal ini turut menjaga stabilitas biaya produksi. “Kami memperkirakan biaya tunai TINS (di luar royalti) tetap relatif stabil di sekitar US$20.000 per ton sebagai hasil dari berkurangnya aktivitas tambang ilegal,” tulis mereka.

Katalis Positif dari Rare Earth

Tak hanya dari timah, kehadiran enam smelter juga membuka peluang pengolahan logam tanah jarang. Ekky Topan, Investment Analyst Infovesta Kapital Advisori, menilai hal ini bisa memperkuat posisi strategis TINS dalam rantai pasok nasional.

“Jika mampu dioptimalkan, hal ini bisa menjadi sumber pertumbuhan pendapatan dan efisiensi margin dalam jangka menengah,” katanya.

Rare earth dikenal sebagai bahan vital bagi industri teknologi, mulai dari mobil listrik hingga perangkat elektronik, sehingga potensinya sangat besar sebagai sumber pertumbuhan baru.

Optimisme Target Produksi

Dalam rapat dengan Komisi VI DPR RI pada 22 September 2025, manajemen TINS menyatakan target produksi bijih timah tahun 2026 bisa mencapai 30.000 ton Sn. Angka ini jauh lebih tinggi dibanding target 21.500 ton Sn yang tercantum dalam RKAP 2025.

Dengan meningkatnya kapasitas produksi, analis memperkirakan kinerja laba TINS juga membaik. Ryan dan Reggie memprediksi laba bersih TINS yang sempat turun 30% YoY ke Rp300 miliar per Juni 2025, bisa pulih menjadi Rp908 miliar di akhir tahun.

Fath Aliansyah Budiman menambahkan, stabilnya harga timah global menjadi faktor pendukung lain. “Peningkatan produksi TINS disertai harga yang baik bisa menghasilkan pendapatan yang meningkat,” ujarnya.

Risiko Valuasi dan Potensi Profit Taking

Meski prospeknya cerah, investor diingatkan untuk tetap berhati-hati. Menurut Ekky, valuasi TINS kini berada di atas rata-rata historis, baik dari sisi price to earning ratio (PER) maupun price to book value (PBV). Data RTI menunjukkan PER TINS berada di level 33,63x dan PBV di 2,77x.

“Ini menunjukkan bahwa sebagian besar sentimen positif telah terefleksi dalam harga,” kata Ekky.

Namun, jika manajemen mampu memberikan panduan produksi dan pendapatan pasca-limpahan smelter, valuasi tinggi itu bisa dibenarkan oleh ekspektasi pertumbuhan.

Indy Naila, Investment Analyst Edvisor Profina Visindo, bahkan merekomendasikan buy on weakness dengan target harga Rp2.800 per saham.

Prospek Jangka Menengah

Secara teknikal, support kuat TINS berada di kisaran Rp2.000 per saham. Jika bertahan di level tersebut dan kabar operasional smelter terus positif, target jangka menengah bisa menembus Rp3.000–3.200 per saham.

Namun, para analis sepakat, investor perlu disiplin dengan manajemen risiko. Harga logam dunia sangat volatil, dan ekspektasi pasar bisa cepat berubah.

Kesimpulan

Lonjakan harga saham TINS yang mencapai 148% dalam sebulan bukan sekadar euforia pasar, melainkan cerminan dari katalis fundamental besar berupa limpahan aset smelter, stabilitas harga timah global, serta peluang pengembangan logam tanah jarang.

Meski valuasinya sudah tinggi, prospek jangka menengah TINS masih terbuka lebar, asalkan manajemen mampu menjaga momentum produksi dan efisiensi. Untuk investor, disiplin strategi menjadi kunci agar bisa memanfaatkan potensi besar sekaligus mengantisipasi volatilitas.

Rekomendasi

Index

Berita Lainnya

Index