JAKARTA - Wacana kenaikan porsi saham publik (free float) minimum menjadi 30% tengah menjadi sorotan.
Usulan yang digulirkan Komisi XI DPR RI ini mendapat dukungan dari Otoritas Jasa Keuangan (OJK), meski dengan catatan penting: penerapan harus dilakukan secara bertahap agar tidak menimbulkan tekanan berlebih pada likuiditas pasar.
Kepala Eksekutif Pengawas Pasar Modal, Keuangan Derivatif, dan Bursa Karbon OJK, Inarno Djajadi, menegaskan bahwa prinsip utama otoritas adalah mendukung perluasan kepemilikan publik di bursa. Menurutnya, peningkatan free float akan memperkuat transparansi sekaligus memperdalam pasar.
“Bertahap itu, bertahap ya. Kalau misalnya setuju enggak setuju kita pasti setuju, tapi bertahap,” ujar Inarno di Jakarta.
Kenapa Free Float 30% Dianggap Penting?
Saat ini, ketentuan Bursa Efek Indonesia (BEI) hanya mensyaratkan free float minimum 7,5%, jauh lebih rendah dibandingkan standar global. Di London Stock Exchange, Singapura, maupun Filipina, angka minimum sudah mencapai 10%.
Bahkan Bursa Malaysia, Jepang, dan Hong Kong menerapkan batas lebih tinggi, yakni 25%.
Jika Indonesia benar-benar mengerek angka tersebut ke level 30%, pasar modal Tanah Air akan langsung masuk jajaran bursa dengan kepemilikan publik paling luas di kawasan. Hal ini diyakini bisa meningkatkan daya tarik bagi investor institusi asing yang mengutamakan saham likuid dan transparan.
Perspektif Analis: Likuiditas Lebih Dalam, Pasar Makin Atraktif
Senior Market Analyst Mirae Asset Sekuritas Indonesia, Nafan Aji Gusta, menilai usulan ini sejalan dengan arah penguatan pasar modal nasional. Menurutnya, free float yang lebih besar otomatis membuat likuiditas saham meningkat.
“Kalau free float besar, otomatis likuiditas pasarnya juga meningkat. Ini membuat pasar Indonesia lebih atraktif bagi investor global,” jelas Nafan kepada Bisnis.
Ia menambahkan, bursa di negara maju umumnya memiliki porsi free float tinggi. Kondisi itu membuat saham unggulan cenderung lebih likuid dan nyaman untuk ditransaksikan oleh investor institusional internasional.
Dengan kata lain, semakin tinggi free float, semakin besar pula peluang arus modal jangka panjang masuk ke Indonesia.
Good Corporate Governance Jadi Efek Turunan
Selain aspek teknis perdagangan, peningkatan free float juga dianggap sebagai bagian dari penerapan good corporate governance (GCG).
Emiten yang melepas lebih banyak saham ke publik akan dituntut menjaga fundamental bisnis dengan lebih disiplin, sekaligus membuka ruang harga saham bergerak lebih wajar berdasarkan permintaan dan penawaran.
“Tujuan utama peningkatan free float adalah menumbuhkan kepercayaan investor, khususnya asing. Indonesia perlu menunjukkan kredibilitas dan daya saing untuk menarik arus modal jangka panjang,” lanjut Nafan.
Dengan kata lain, regulasi ini tidak hanya soal angka kepemilikan publik, melainkan juga strategi untuk membangun pasar modal yang lebih sehat, berintegritas, dan berdaya saing tinggi di tingkat global.
Kekhawatiran Tekanan Jangka Pendek
Meski potensinya besar, penerapan aturan baru ini tidak lepas dari tantangan. OJK menilai langkah tersebut harus dilakukan bertahap agar tidak menimbulkan tekanan mendadak pada pasar.
Jika seluruh emiten dipaksa melepas 30% sahamnya sekaligus, dikhawatirkan akan terjadi kelebihan suplai di pasar yang justru bisa menekan harga saham.
Pendekatan gradual akan memberi waktu bagi perusahaan untuk menyesuaikan strategi, sekaligus memastikan investor dapat menyerap tambahan saham dengan baik. Dengan cara ini, tujuan memperdalam pasar dapat tercapai tanpa menimbulkan gejolak berlebihan.
Perbandingan dengan Negara Lain
Jika melihat contoh global, penerapan free float tinggi memang terbukti efektif. Di Bursa Hong Kong dan Jepang, misalnya, batas minimum 25% membuat saham-saham unggulan selalu ramai ditransaksikan.
Hal serupa juga terjadi di Malaysia, yang berhasil menarik banyak investor asing karena pasar yang likuid.
Indonesia, dengan ekonomi besar di Asia Tenggara, berpotensi menempuh jalur yang sama. Dengan free float 30%, bukan hanya likuiditas yang bertambah, tetapi juga reputasi pasar modal Indonesia akan meningkat sebagai destinasi investasi yang kredibel.
Manfaat Bagi Emiten dan Investor
Bagi emiten, kenaikan free float bisa memberi akses lebih luas ke basis investor, sekaligus meningkatkan reputasi perusahaan di mata publik. Saham yang lebih likuid juga cenderung lebih stabil, mengurangi potensi manipulasi harga.
Bagi investor, terutama institusi besar, aturan ini berarti kesempatan lebih besar untuk masuk dengan volume signifikan tanpa khawatir likuiditas tipis. Pada akhirnya, kondisi ini akan menciptakan ekosistem pasar yang lebih berimbang antara kepentingan perusahaan dan investor.
Jalan Panjang Menuju Pasar Modal Global
Dukungan OJK terhadap usulan DPR menunjukkan keseriusan regulator dalam memperkuat pasar modal domestik. Meski demikian, perjalanan menuju penerapan free float 30% jelas tidak singkat.
Dengan penerapan bertahap, regulator ingin memastikan bahwa perubahan ini benar-benar menghasilkan manfaat jangka panjang, bukan hanya sekadar penyesuaian angka.
Indonesia dituntut untuk mengombinasikan regulasi yang progresif dengan tata kelola yang kuat, agar bisa bersaing dengan bursa global lain yang sudah lebih maju.
Penutup: Momentum Reformasi Pasar Modal
Wacana peningkatan free float menjadi 30% bisa dipandang sebagai momentum penting reformasi pasar modal Indonesia. Dukungan OJK yang menekankan penerapan bertahap memberi sinyal bahwa arah kebijakan tetap pro-pasar sekaligus realistis.
Dengan pasar yang lebih likuid, transparan, dan berdaya saing, Indonesia berpeluang memperkuat posisinya sebagai salah satu pusat investasi terbesar di kawasan.
Yang terpenting, perubahan ini bukan hanya soal angka free float, tetapi langkah besar membangun kepercayaan investor dan memperkuat fondasi pasar modal untuk jangka panjang.