JAKARTA - Pemanfaatan etanol sebagai campuran bahan bakar minyak (BBM) kini menjadi tren global yang semakin menguat.
Lebih dari 70 negara di dunia telah mengadopsi kebijakan biofuel sebagai bagian dari upaya menekan emisi karbon dari sektor transportasi sekaligus mempercepat transisi menuju energi bersih.
Indonesia pun mulai mengambil langkah serupa, meski masih menghadapi sejumlah tantangan di lapangan. Menurut data Energy Information Administration (EIA), Amerika Serikat tercatat sebagai salah satu pelopor dalam penggunaan etanol.
Negeri Paman Sam ini telah lama menerapkan standar pencampuran etanol ke dalam bensin dengan tiga varian utama: E10 (10 persen etanol), E15 (15 persen etanol), dan E85 (85 persen etanol). D
ari ketiganya, E10 kini menjadi standar nasional karena terbukti efektif menekan emisi gas rumah kaca tanpa menurunkan performa mesin kendaraan secara signifikan.
Praktik Global: Dari AS Hingga India
Selain Amerika Serikat, kawasan Uni Eropa juga telah lebih dahulu mewajibkan campuran biofuel dalam bensin sebagai bagian dari kebijakan energi berkelanjutan.
Bahkan, negara-negara di Asia Selatan dan Amerika Latin kini mempercepat adopsinya, menjadikan etanol sebagai bagian integral dari kebijakan energi modern.
Salah satu contoh menarik datang dari India, negara berkembang yang cukup agresif mendorong program biofuel nasional. Pemerintah India melalui Press Information Bureau (PIB) menargetkan pencampuran 20 persen etanol dalam bensin (E20) pada tahun 2025.
Langkah ini bukan hanya ditujukan untuk menekan ketergantungan pada impor minyak mentah, tetapi juga membuka nilai tambah bagi industri biomassa dan petani tebu lokal.
Kebijakan India menunjukkan bahwa transisi energi tidak hanya berkaitan dengan lingkungan, melainkan juga erat hubungannya dengan kemandirian energi dan kesejahteraan petani.
Respon Akademisi di Indonesia
Di Indonesia, penggunaan etanol dalam BBM mendapat perhatian dari kalangan akademisi. Guru Besar Fakultas Teknik Mesin dan Dirgantara ITB, Tri Yus Widjajanto, menilai kadar etanol dalam base fuel Pertamina masih tergolong aman dan sesuai standar internasional.
“Kalau kandungan etanolnya hanya 3,5%, energi yang turun hanya sekitar 1%. Artinya, daya mesin hanya berkurang sekitar 1 persen dan itu tidak akan terasa serta tidak berpengaruh ke konsumsi bahan bakar maupun tarikan (performa) kendaraan,” ujar Tri,.
Sementara itu, Muhammad Rifqi Dwi Septian, dosen Jurusan Rekayasa Minyak dan Gas Institut Teknologi Sumatera (ITERA), menekankan pentingnya Indonesia mengembangkan program biofuel berbasis etanol.
“Kalau dikaji lebih lanjut dan terus ditindaklanjuti, penggunaan etanol sangat potensial. Selain lebih ramah lingkungan, juga bisa memperkuat ketahanan energi nasional,” kata Rifqi.
Rifqi juga menepis kekhawatiran soal risiko etanol terhadap mesin kendaraan. Menurutnya, dengan standar produksi yang tepat dan sistem penyimpanan yang baik, potensi kerusakan bisa ditekan. “Apalagi kendaraan modern sekarang sudah kompatibel dengan bahan bakar campuran etanol,” tambahnya.
Tantangan Implementasi di Dalam Negeri
Meski secara teori dan pengalaman internasional etanol terbukti aman, kebijakan pencampuran etanol dalam BBM Pertamina sempat menuai reaksi dari kalangan swasta.
Sejumlah SPBU non-Pertamina menilai kandungan etanol dalam base fuel berpotensi memengaruhi kualitas bahan bakar yang mereka jual.
Hal ini menunjukkan adanya perbedaan persepsi antara pemerintah, pelaku industri, dan penyedia layanan BBM di tingkat hilir. Padahal, menurut para ahli, kadar etanol rendah justru tidak berdampak signifikan pada kualitas BBM maupun performa mesin.
Persoalan lain yang muncul adalah kesiapan infrastruktur penyimpanan dan distribusi. Berbeda dengan bahan bakar fosil murni, etanol memiliki karakteristik higroskopis (menyerap air) yang membutuhkan sistem penanganan lebih hati-hati agar tidak menurunkan kualitas bahan bakar.
Momentum Penguatan Ketahanan Energi
Jika diterapkan dengan konsisten, kebijakan campuran etanol dalam BBM bisa memberikan manfaat strategis. Selain menurunkan emisi karbon, program ini juga membantu mengurangi ketergantungan pada impor minyak mentah, yang selama ini membebani neraca perdagangan Indonesia.
Tidak hanya itu, pengembangan biofuel berbasis etanol berpotensi membuka lapangan kerja baru serta menciptakan pasar tambahan bagi sektor pertanian, terutama tebu dan biomassa. Dengan demikian, manfaatnya dapat dirasakan tidak hanya di sektor energi, tetapi juga sektor ekonomi rakyat.
Rifqi menegaskan, “Penggunaan etanol bukan hanya soal ramah lingkungan, tapi juga tentang kemandirian energi nasional.”
Tren yang Tak Bisa Dihindari
Dengan lebih dari 70 negara telah mengadopsi kebijakan biofuel, arah masa depan energi dunia sudah jelas bergerak ke arah yang lebih hijau. Etanol menjadi salah satu solusi yang realistis karena relatif mudah dicampurkan dalam BBM yang sudah ada, tanpa perlu perubahan besar pada mesin kendaraan.
Bagi Indonesia, langkah awal melalui pencampuran etanol dalam produk Pertamina menandai komitmen pemerintah dalam mengikuti tren global. Meski masih ada resistensi dari sebagian pihak, arah kebijakan energi bersih ini tampaknya tidak bisa dihindari.
Penutup
Tren global menunjukkan bahwa etanol kini bukan sekadar opsi, melainkan kebutuhan dalam transisi energi dunia. Amerika Serikat, Uni Eropa, hingga India sudah membuktikan bahwa pencampuran etanol dapat berjalan seiring dengan kebutuhan energi modern.
Indonesia kini berada di titik penting untuk memperkuat posisi dalam gerakan global energi bersih. Dengan dukungan regulasi, riset teknologi, dan sinergi antar-pemangku kepentingan, penggunaan etanol dapat menjadi salah satu pilar menuju ketahanan energi sekaligus upaya menekan emisi karbon.
Seperti ditegaskan para ahli, dengan kadar aman dan standar produksi yang tepat, etanol adalah langkah realistis menuju masa depan energi yang lebih ramah lingkungan.