JAKARTA - Kementerian Investasi dan Hilirisasi/Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) menilai penutupan pabrik sepatu milik PT Sepatu Bata Tbk (BATA) tidak serta-merta mencerminkan menurunnya minat investasi di Indonesia.
Meskipun berdampak terhadap dunia usaha, terutama di sisi tenaga kerja, pemerintah meyakini bahwa kondisi tersebut bersifat sementara dan bisa membuka peluang baru bagi masuknya investasi di sektor yang sama.
Deputi Bidang Promosi Penanaman Modal BKPM, Nurul Ichwan, menjelaskan bahwa setiap penutupan pabrik pasti memberikan efek terhadap tenaga kerja dan rantai pasok industri.
Namun, di sisi lain, hal tersebut juga bisa menjadi awal dari transformasi industri atau masuknya pelaku usaha baru yang lebih kompetitif.
“Sebenarnya kalau ada perusahaan yang tutup, kalau dijawab mengganggu atau enggak dalam konteks ada tenaga kerja yang kemudian tidak mendapatkan pekerjaan, ya pasti mengganggu, jawabannya pasti mengganggu,” ujarnya di sela kegiatan Indonesia International Sustainability Forum (IISF) di Jakarta.
Ia menambahkan, gangguan terhadap dunia usaha akibat penutupan pabrik seperti Bata tidak bisa dipandang secara sepihak. “Cuma kan persoalannya ketika kita bicara tentang itu mengganggu atau tidak mengganggu, apakah ada kemungkinan nanti ada peluang baru yang mereka kemudian bisa masuk ke investasi di situ,” paparnya.
Industri Alas Kaki Menghadapi Transformasi Global
Menurut Nurul, dinamika penutupan pabrik Bata tidak bisa diartikan sebagai tanda bahwa iklim investasi Indonesia sedang menurun. Sebaliknya, hal ini mencerminkan persaingan global di industri alas kaki yang semakin ketat dan menuntut efisiensi tinggi.
Saat ini, industri alas kaki sedang berada dalam fase transformasi struktur produksi, dari yang semula padat karya menjadi semi-padat modal, dengan pemanfaatan teknologi dan otomasi yang lebih besar.
Pergeseran ini diperlukan agar produsen bisa tetap kompetitif di pasar internasional yang menuntut kecepatan produksi, efisiensi biaya, dan kualitas tinggi.
“Industri padat karya sekarang memang sedang beradaptasi. Banyak perusahaan beralih ke sistem produksi berbasis teknologi agar bisa bersaing,” jelas Nurul.
Pergeseran Tren Produksi di Dunia
Fenomena perubahan pola industri padat karya ini tidak hanya terjadi di Indonesia, tetapi juga di berbagai negara lain, termasuk China. Negara tersebut dulu dikenal sebagai pusat industri padat karya karena biaya tenaga kerjanya yang rendah, namun kini kondisinya sudah jauh berbeda.
“Sehingga industri-industri yang berbasis tenaga kerja sudah jarang lagi di China. Itu yang mungkin bisa menjadi latar belakang analisa kita,” ujar Nurul.
Ia menjelaskan bahwa biaya tenaga kerja di China meningkat secara signifikan dalam satu dekade terakhir, memaksa banyak perusahaan untuk melakukan efisiensi atau memindahkan produksi ke negara lain yang menawarkan biaya operasional lebih rendah.
Akibatnya, banyak industri di China kini lebih fokus pada penggunaan teknologi dan otomatisasi.
Indonesia Perlu Adaptasi agar Tetap Kompetitif
Menghadapi perubahan global tersebut, Nurul menilai penting bagi Indonesia untuk beradaptasi dengan arah baru industri manufaktur dunia.
Ia menegaskan, meskipun penutupan pabrik Bata memunculkan kekhawatiran bagi sebagian pihak, peristiwa ini seharusnya menjadi pemicu transformasi industri nasional agar lebih tangguh dan efisien.
“Ini menjadi pelajaran penting bahwa industri kita harus terus bertransformasi. Tidak cukup hanya mengandalkan tenaga kerja murah, tetapi juga harus berinovasi dan mengadopsi teknologi,” katanya.
Menurutnya, BKPM bersama kementerian terkait terus berupaya menarik investasi di sektor industri padat karya yang modern, terutama yang berbasis digitalisasi dan efisiensi energi.
Pemerintah juga berfokus pada penguatan rantai pasok industri domestik, agar ketergantungan terhadap pasar luar negeri bisa dikurangi.
Dampak bagi Dunia Usaha dan Tenaga Kerja
Dari sisi tenaga kerja, penutupan pabrik Bata tentu memberikan efek sosial dan ekonomi, terutama bagi pekerja yang terdampak langsung. Namun, BKPM meyakini dampak tersebut bersifat sementara karena sektor industri alas kaki di Indonesia masih memiliki potensi besar untuk tumbuh kembali.
Selain itu, ruang investasi di sektor serupa masih terbuka lebar. Pemerintah berharap para investor baru, baik lokal maupun asing, dapat memanfaatkan momentum ini untuk masuk dan mengisi celah produksi yang ditinggalkan oleh perusahaan lama.
“Kalau kita lihat dari sisi investasi, peluang itu tetap ada. Ketika satu pabrik berhenti, bisa saja ada perusahaan lain yang tertarik masuk, baik dengan model bisnis baru maupun ekspansi dari perusahaan yang sudah ada,” kata Nurul.
Efisiensi dan Inovasi Jadi Kunci Keberlanjutan Industri
BKPM menekankan bahwa sektor industri, khususnya alas kaki, perlu meningkatkan inovasi dan efisiensi produksi untuk bertahan dalam jangka panjang.
Tren global menunjukkan bahwa perusahaan dengan sistem produksi cerdas berbasis teknologi memiliki daya tahan lebih tinggi terhadap fluktuasi pasar dan perubahan permintaan konsumen.
Nurul menyebut bahwa pemerintah terus mendukung investasi di bidang otomasi industri, energi terbarukan, dan produksi berkelanjutan. Dukungan diberikan melalui berbagai insentif fiskal, kemudahan perizinan, serta fasilitas promosi investasi di luar negeri.
“Kita ingin mendorong industri yang bukan hanya padat karya, tapi juga padat teknologi dan bernilai tambah tinggi. Ini akan membuat daya saing kita meningkat,” jelasnya.
Penutup
Penutupan pabrik PT Sepatu Bata Tbk memang menjadi sorotan karena melibatkan banyak tenaga kerja, tetapi pemerintah menilai hal tersebut merupakan bagian dari proses adaptasi industri nasional terhadap perubahan global.
BKPM menegaskan bahwa iklim investasi Indonesia tetap kondusif, dan langkah-langkah penyesuaian seperti ini justru membuka peluang baru bagi investor untuk masuk ke pasar domestik.
Melalui strategi peningkatan teknologi, efisiensi, dan tata kelola investasi, pemerintah berharap sektor industri Indonesia akan semakin kuat dan berdaya saing tinggi di tengah ketatnya persaingan global.