JAKARTA - Pengesahan Undang-Undang Kepariwisataan (perubahan ketiga) pada 2 Oktober 2025 menuai reaksi keras dari pelaku industri. Gabungan Industri Pariwisata Indonesia (GIPI) menilai regulasi baru tersebut justru melemahkan tata kelola sektor pariwisata nasional.
Pasalnya, pasal yang mengatur keberadaan GIPI sebagai induk asosiasi pariwisata resmi dihapus dari undang-undang tersebut, menghilangkan wadah koordinasi antar asosiasi yang selama ini berperan penting dalam pengembangan pariwisata.
Ketua Umum GIPI Hariyadi B.S. Sukamdani menyebut keputusan tersebut sebagai langkah mundur bagi tata kelola industri. Sejak dibentuk pada 2012 berdasarkan amanah UU Nomor 10 Tahun 2009, GIPI telah menjadi mitra strategis pemerintah dalam pembangunan kepariwisataan.
Dengan dihapusnya Bab XI tentang GIPI, menurutnya, industri kehilangan forum komunikasi resmi yang selama ini menjadi jembatan antara pemerintah dan pelaku usaha.
Dihapus Tanpa Pembahasan yang Jelas
Hariyadi menjelaskan, dalam berbagai pertemuan dan pembahasan antara DPR, pemerintah, dan pelaku industri sebelumnya, tidak pernah ada rencana untuk menghapus keberadaan GIPI dari struktur hukum kepariwisataan nasional.
Justru, kata dia, kalangan industri sempat mengusulkan pembentukan Tourism Board nasional agar promosi dan koordinasi pariwisata Indonesia lebih kuat serta mampu bersaing dengan negara-negara ASEAN lainnya.
Namun, usulan pembentukan lembaga tersebut tak masuk dalam UU Kepariwisataan yang baru. Ketiadaan lembaga koordinasi seperti GIPI atau Tourism Board membuat pelaku industri khawatir, karena arah kebijakan pariwisata nasional berpotensi kehilangan sinergi antara pemerintah dan dunia usaha.
Masalah Pendanaan Belum Terjawab
Selain soal kelembagaan, GIPI juga menyoroti masalah pendanaan pariwisata yang belum mendapat perhatian serius.
Dalam rancangan awal undang-undang, GIPI telah mengusulkan pembentukan Badan Layanan Umum (BLU) Pariwisata yang dapat menarik pungutan dari wisatawan mancanegara. Dana tersebut diharapkan menjadi sumber pembiayaan bagi kegiatan promosi dan pengembangan destinasi wisata.
Namun, menurut Hariyadi, pemerintah justru mengambil konsep itu tanpa kejelasan mekanisme dan tanpa pelibatan pelaku industri. Ia menilai pemerintah kerap menikmati devisa dari sektor pariwisata tanpa memberikan dukungan nyata bagi pengembangan industri.
Pajak dari hotel, restoran, dan hiburan, kata dia, sering kali tidak kembali kepada daerah untuk mendukung promosi maupun peningkatan kualitas destinasi wisata.
“Selama ini, pungutan pajak hotel, restoran, dan hiburan jarang dialokasikan kembali untuk pengembangan pariwisata daerah. Pemerintah tidak bisa hanya menikmati devisa tanpa memastikan industri punya akses pendanaan untuk tumbuh,” tegasnya.
Tertinggal dari Negara Tetangga di ASEAN
GIPI menilai bahwa dukungan pemerintah terhadap industri pariwisata masih tertinggal dibandingkan negara-negara ASEAN lainnya. Sejumlah negara di kawasan ini telah memiliki Tourism Board yang aktif, didukung oleh pendanaan mandiri dan kebijakan promosi yang terintegrasi.
Hariyadi mencontohkan, di beberapa negara seperti Thailand dan Malaysia, lembaga promosi pariwisata berperan besar dalam menarik wisatawan dan investasi melalui program promosi global yang berkelanjutan.
Kondisi tersebut sangat berbeda dengan di Indonesia, di mana kebijakan promosi kerap bergantung pada anggaran pemerintah pusat yang terbatas dan tidak berkesinambungan.
Usaha Pariwisata Baru Belum Diakomodasi
Selain soal kelembagaan dan pendanaan, GIPI juga menyoroti belum adanya pengakuan terhadap jenis usaha baru dalam UU Kepariwisataan terbaru.
Salah satunya adalah usaha “Manajemen Usaha Pariwisata”, yang sebenarnya sudah diusulkan untuk masuk dalam revisi Klasifikasi Baku Lapangan Usaha Indonesia (KBLI) 2025.
Jenis usaha tersebut dinilai penting karena mencakup peran profesional dalam pengelolaan fasilitas pariwisata, seperti hotel, resort, dan destinasi wisata.
Dengan tidak diakomodasinya sektor ini, pelaku usaha menilai bahwa pemerintah belum memberikan ruang bagi inovasi dan profesionalisasi manajemen pariwisata yang dapat meningkatkan daya saing global.
Cerminan Belum Jadinya Pariwisata Sebagai Sektor Prioritas
Hariyadi menegaskan bahwa pengesahan UU Kepariwisataan yang baru mencerminkan belum terwujudnya pariwisata sebagai sektor prioritas dalam ekonomi nasional.
Ia menilai, di saat negara lain menjadikan pariwisata sebagai penggerak utama ekonomi daerah dan sumber devisa, Indonesia justru kehilangan struktur koordinatif yang dapat memperkuat daya saing industri.
“Saat negara lain mulai menjadikan pariwisata pendorong devisa dan ekonomi daerah, kita justru kehilangan payung koordinasi industri yang seharusnya memperkuat daya saing nasional,” ujarnya.
Menurutnya, tanpa adanya wadah koordinasi yang jelas, kebijakan pariwisata berisiko berjalan parsial dan tidak berpihak pada kebutuhan pelaku industri. Padahal, sektor ini berpotensi besar menyerap tenaga kerja, mendorong investasi daerah, serta menjadi sumber devisa utama bagi negara.
Dorongan Revisi dan Kolaborasi Ulang
Melihat berbagai kelemahan tersebut, GIPI mendorong pemerintah dan DPR untuk segera membuka ruang dialog dan melakukan revisi atas UU Kepariwisataan yang baru disahkan.
GIPI berharap regulasi ke depan dapat lebih berpihak pada industri, tidak hanya pada aspek regulatif, tetapi juga pada dukungan kelembagaan, pendanaan, dan inovasi usaha.
Hariyadi menegaskan, kerja sama antara pemerintah dan pelaku industri harus dikembalikan ke jalur yang inklusif dan strategis. Tanpa kolaborasi yang kuat, cita-cita menjadikan pariwisata sebagai penggerak utama ekonomi nasional akan sulit terwujud.
Dengan demikian, GIPI berharap pemerintah dapat mengevaluasi kembali arah kebijakan pariwisata agar sektor ini tidak sekadar menjadi sumber devisa, tetapi benar-benar menjadi pilar pembangunan ekonomi yang berkelanjutan dan inklusif.