Energi

Indonesia Perkuat Kerja Sama Energi dengan Rusia Lewat BRICS

Indonesia Perkuat Kerja Sama Energi dengan Rusia Lewat BRICS
Indonesia Perkuat Kerja Sama Energi dengan Rusia Lewat BRICS

JAKARTA - Keanggotaan Indonesia di BRICS membawa peluang baru dalam memperluas jaringan kerja sama di sektor energi. Bergabungnya Indonesia ke dalam blok ekonomi yang beranggotakan Brasil, Rusia, India, Tiongkok, dan Afrika Selatan itu membuka ruang kolaborasi strategis, termasuk dengan Rusia yang dikenal memiliki keunggulan dalam teknologi energi dan eksplorasi sumber daya alam.

Tenaga Ahli Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), Satya Hangga Yudha Widya Putra, mengungkapkan bahwa Indonesia mulai menjajaki kerja sama dengan dua perusahaan besar asal Rusia, yaitu Gazprom dan Rosneft. 

Langkah ini dinilai penting untuk mendukung upaya transformasi energi nasional menuju net zero emission (NZE) tahun 2060. Menurut Hangga, Rusia menjadi mitra potensial karena memiliki kemampuan teknologi tinggi di sektor minyak, gas, hingga energi nuklir. 

Ia menyebut bahwa kerja sama ini bisa mencakup berbagai bidang, mulai dari penyediaan teknologi untuk penemuan cadangan gas skala besar hingga proyek pengembangan energi baru seperti nuklir dan teknologi penangkapan serta penyimpanan karbon (CCS/CCUS).

“Indonesia berfokus pada transformasi strategis energi menuju net zero emission (NZE) pada 2060 dan program hilirisasi di seluruh sektor sumber daya alam,” ujarnya seperti dikutip dari Antara.

Hangga menambahkan, pengembangan CCS/CCUS menjadi salah satu prioritas karena berperan penting dalam dekarbonisasi industri energi. Berdasarkan data Kementerian ESDM, potensi penyimpanan karbon di Indonesia diperkirakan mencapai 25,5 hingga 68,2 miliar ton. 

Pemerintah pun menargetkan ada 15 proyek CCS/CCUS yang beroperasi secara penuh hingga 2030. Langkah ini sejalan dengan komitmen pemerintah dalam mengurangi emisi karbon tanpa mengganggu pertumbuhan ekonomi.

Selain pengembangan teknologi penyimpanan karbon, Indonesia juga mulai mempersiapkan diri untuk memanfaatkan energi nuklir sebagai sumber energi baru. 

Rencana penggunaan reaktor modular kecil atau small modular reactor (SMR) sedang dikaji untuk diterapkan di beberapa wilayah potensial seperti Kalimantan dan Sumatra. 

Teknologi SMR dinilai lebih aman dan efisien untuk memenuhi kebutuhan energi di kawasan yang belum memiliki infrastruktur kelistrikan besar. Dalam konteks tersebut, Hangga menilai keahlian perusahaan Rusia seperti Rosatom bisa memberikan kontribusi nyata. 

Perusahaan ini memiliki pengalaman panjang dalam pengembangan reaktor nuklir modern dan penerapannya di berbagai negara. Dukungan teknis dan transfer pengetahuan dari Rusia disebut akan membantu Indonesia mempercepat langkah menuju diversifikasi energi.

Sementara itu, kerja sama dengan perusahaan minyak dan gas asal Rusia, Rosneft, juga menjadi salah satu fokus utama. Perusahaan tersebut berpotensi terlibat dalam proyek besar seperti Kilang Tuban di Jawa Timur. 

Proyek ini membutuhkan kolaborasi lintas sektor yang melibatkan sedikitnya 14 kementerian dan lembaga, mulai dari Kementerian Kelautan dan Perikanan, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Kementerian Keuangan, hingga Kepolisian Republik Indonesia.

Menurut Hangga, kolaborasi lintas Kementerian/Lembaga (K/L) menjadi kunci utama dalam mempercepat realisasi proyek energi strategis nasional. Ia menegaskan bahwa kerja sama antarinstansi harus terus diperkuat agar hambatan birokrasi dan regulasi bisa diatasi secara efisien.

“Kerja sama lintas Kementerian dan Lembaga harus terus dilakukan untuk memecahkan masalah energi di Indonesia,” tegasnya.

Selain kerja sama internasional, Indonesia juga tengah memperkuat sektor energi terbarukan. Berdasarkan data pemerintah, potensi energi terbarukan nasional mencapai 3.687 gigawatt (GW). Namun, pemanfaatannya saat ini baru sekitar 0,4 persen. 

Rendahnya tingkat pemanfaatan tersebut disebabkan oleh sejumlah faktor, seperti keterbatasan teknologi, infrastruktur, serta pembiayaan investasi energi hijau.

Sebagai bagian dari strategi transisi energi, pemerintah juga tengah mengembangkan program biodiesel B40, yakni campuran 40 persen fatty acid methyl ester (FAME) berbasis minyak sawit dengan bahan bakar diesel. 

Program ini direncanakan mulai diterapkan pada tahun 2025, dan dilanjutkan dengan B50 pada tahun 2026. Program biodiesel menjadi salah satu upaya nyata pemerintah dalam mengurangi ketergantungan terhadap energi fosil sekaligus memperkuat ketahanan energi nasional.

Bergabungnya Indonesia ke BRICS menjadi momentum penting dalam memperkuat kerja sama multilateral di sektor energi. Melalui BRICS, Indonesia dapat memperluas akses teknologi, pendanaan, dan pasar energi global. 

Negara-negara anggota BRICS juga memiliki kepentingan yang sama dalam memperjuangkan sistem ekonomi yang lebih inklusif, terutama dalam hal pengelolaan sumber daya alam dan transisi energi berkelanjutan.

Peluang kerja sama dengan Rusia dan negara anggota BRICS lainnya diharapkan mampu mendukung pencapaian target NZE dan mempercepat pengembangan energi bersih di Indonesia. 

Dengan kolaborasi strategis tersebut, Indonesia tidak hanya memperkuat posisinya di kancah internasional, tetapi juga membuka jalan bagi investasi dan inovasi baru di sektor energi masa depan.

Secara keseluruhan, langkah Indonesia mempererat hubungan energi dengan Rusia melalui BRICS menandai babak baru dalam kebijakan energi nasional. 

Sinergi lintas sektor, penguasaan teknologi mutakhir, serta peningkatan investasi asing akan menjadi fondasi penting dalam mewujudkan kemandirian energi dan ekonomi hijau di tanah air.

Rekomendasi

Index

Berita Lainnya

Index