BUMN

Reformasi BUMN di Era Prabowo: Antara Harapan dan Tantangan Baru

Reformasi BUMN di Era Prabowo: Antara Harapan dan Tantangan Baru
Reformasi BUMN di Era Prabowo: Antara Harapan dan Tantangan Baru

JAKARTA - Di atas kertas, BUMN tempat Arif bekerja seharusnya menjadi simbol kekuatan ekonomi nasional. Dengan pasar luas di negara berpenduduk 280 juta orang, pengalaman panjang, dan akses mudah terhadap pendanaan negara, perusahaan itu semestinya makmur. 

Namun kenyataannya jauh berbeda. Arif menyebut perusahaannya terus merugi, terlilit utang, terseret kasus hukum, dan kehilangan kepercayaan mitra swasta akibat skandal korupsi yang berkepanjangan.

Arif — yang enggan disebutkan nama lengkap dan tempat kerjanya — hanyalah satu dari sekian banyak pegawai BUMN yang menaruh harapan besar pada reformasi menyeluruh yang kini digagas pemerintahan Presiden Prabowo Subianto. 

Sejak awal tahun 2025, pemerintah menggulirkan langkah ambisius dengan membentuk Danantara, badan pengelola investasi yang bertugas membenahi portofolio dan efisiensi BUMN.

Danantara diberi mandat untuk mengelola aset senilai lebih dari Rp16 ribu triliun, membebaskan perusahaan negara dari intervensi politik, dan menempatkannya setara dengan korporasi global.

“Ketika saya melihat Danantara — orang-orang di baliknya, pernyataannya, rencananya — saya merasa punya harapan lagi,” ujar Arif, pegawai bagian hukum di salah satu BUMN besar.

Namun, optimisme itu kini dihadapkan pada kenyataan baru: revisi Undang-Undang BUMN yang mengubah Kementerian BUMN menjadi Badan Pengaturan BUMN (BP BUMN). 
Langkah ini menimbulkan tanda tanya besar: apakah transformasi kelembagaan tersebut akan mempercepat reformasi, atau justru memperumitnya?

Dua Lembaga, Satu Tujuan — atau Dua Jalur Berbeda?

Pada 8 Oktober 2025, Prabowo menunjuk Dony Oskaria sebagai Kepala BP BUMN, menggantikan fungsi kementerian lama. Dony sebelumnya menjabat COO Danantara dan dikenal sebagai figur reformis di bidang korporasi negara.

“BP BUMN dengan Kementerian BUMN itu hampir sama intinya. Kita ingin mempercepat transformasi BUMN, jadi diharapkan kolaborasi antara BP BUMN dan Danantara mempercepat konsolidasi,” ujar Dony dikutip dari Detik.

Secara teknis, BP BUMN akan tetap memegang “saham emas” negara (1 persen saham Seri A) di setiap BUMN, sementara 99 persen saham lainnya dialihkan ke Danantara sebagai operator. 

Saham emas itu memberi hak veto strategis bagi negara — mulai dari pengesahan merger, perubahan anggaran dasar, hingga keputusan yang berkaitan dengan kepentingan nasional. Namun, sejumlah pengamat menilai struktur baru ini berpotensi menciptakan tumpang tindih.

“Ini justru membuat semuanya lebih rumit. Rantai birokrasinya jadi lebih panjang,” ujar Bhima Yudhistira, Direktur CELIOS.

Sebaliknya, ekonom Achmad Nur Hidayat dari UPN Jakarta menilai pembagian peran itu justru memperjelas garis kewenangan yang selama ini kabur. “Secara kelembagaan, BUMN kini berdiri di atas landasan yang lebih kuat karena perannya sudah terdefinisi dengan jelas,” ujarnya.

Misi Prabowo: Bersihkan dan Perbaiki

Sejak menjabat, Prabowo menempatkan pembenahan BUMN sebagai prioritas utama. Dalam berbagai kesempatan, ia menegaskan tekadnya untuk menindak tegas korupsi dan salah urus di perusahaan negara.

“Saya perintahkan bersihkan itu BUMN,” tegas Prabowo dalam penutupan Munas PKS di Jakarta, 29 September lalu.

Prabowo menilai jika seluruh BUMN bisa mencatat rasio laba bersih 5 persen, maka keuntungan tersebut sudah cukup untuk menutup defisit fiskal negara senilai Rp660 triliun.

Laporan CNBC Indonesia mencatat, Danantara diperkirakan menerima dividen Rp114 triliun dari laba tahun 2024, sebagian besar berasal dari hanya delapan perusahaan besar seperti BRI, Mandiri, dan Pertamina. 

Namun, dari lebih dari seribu BUMN, sebagian besar masih merugi — bahkan lebih dari separuhnya kehilangan sekitar Rp50 triliun per tahun.

Danantara kini memegang mandat untuk memangkas jumlah BUMN menjadi 200–400 perusahaan dalam tiga tahun melalui merger, privatisasi, dan likuidasi.

Tantangan: Politik, Birokrasi, dan Kepentingan

Kendati visi besar Prabowo ambisius, sejumlah pakar memperingatkan bahwa tumpang tindih kewenangan antara Danantara dan BP BUMN dapat menimbulkan tarik-menarik kekuasaan.

“BP BUMN punya wewenang menyetujui anggaran dan rencana kerja Danantara. Ini membuat posisi BP BUMN sangat dominan, bahkan melampaui kementerian sebelumnya,” ujar Herry Gunawan dari Next Indonesia Center.

Kekhawatiran lain datang dari sisi politik. Kalimat multitafsir dalam UU BUMN yang memberi mandat “mengoptimalkan BUMN sesuai prioritas pembangunan nasional” dinilai membuka ruang bagi intervensi.

“Atas nama optimalisasi, BP BUMN bisa menginstruksikan proyek tanpa dasar bisnis yang kuat,” kata Herry.

Ekonom Tauhid Ahmad dari INDEF memperingatkan bahaya politisasi. Ia mencontohkan proyek kereta cepat Whoosh yang semula dibanggakan, tetapi kini menanggung kerugian Rp4,2 triliun pada 2024. 

“Ketika BUMN dipaksa menjalankan proyek non-komersial demi kepentingan politik, publik akhirnya yang menanggung biayanya,” katanya.

Utang Lama, Luka yang Belum Pulih

Sektor konstruksi negara menjadi contoh nyata dampak beban politik terhadap bisnis. Empat BUMN besar, termasuk Waskita Karya dan Wijaya Karya, pernah mencatat utang gabungan Rp215 triliun pada 2021. 

Meski telah turun menjadi Rp184 triliun pada 2025, banyak proyek yang belum menghasilkan keuntungan sepadan.

“Selama bertahun-tahun, BUMN dijadikan alat kebijakan fiskal — diminta membangun dan berutang tanpa hitungan bisnis yang sehat,” ujar Tauhid. “Model seperti itu tidak berkelanjutan.”

Menuju Tata Kelola Baru

Salah satu terobosan positif dalam UU BUMN baru adalah larangan rangkap jabatan dan syarat bahwa posisi komisaris harus diisi kalangan profesional.

“Melarang komisaris merangkap jabatan menteri atau wakil menteri adalah langkah mendasar untuk mengurangi konflik kepentingan,” ujar Achmad dari UPN Jakarta.

Namun penerapannya belum sepenuhnya berjalan. Di era Prabowo, masih ada 33 wakil menteri yang merangkap jabatan komisaris BUMN, meski pemerintah berjanji menyesuaikannya dengan aturan baru. 

Beberapa posisi juga diisi figur publik seperti Fauzi Baadilla di Pos Indonesia dan Yovie Widianto di Pupuk Indonesia. Achmad menegaskan, tantangan terbesar adalah menjadikan profesionalisme bukan sekadar slogan. 

“Tanpa mekanisme seleksi transparan dan indikator kinerja terbuka, profesionalisme akan kalah oleh kedekatan,” ujarnya.

Antara Reformasi dan Realita

Revisi UU BUMN dan kelahiran Danantara menandai babak baru dalam pengelolaan aset negara. Namun, efektivitasnya bergantung pada satu hal: kemauan politik untuk menegakkan transparansi.

Achmad menutup dengan peringatan yang lugas, “Undang-undangnya sudah ada. Sekarang tinggal memastikan pengawasan publik berjalan agar dana negara benar-benar digunakan untuk kepentingan rakyat, bukan untuk memperpanjang beban.”

Jika Prabowo berhasil menyeimbangkan kepentingan ekonomi dan politik, reformasi ini bisa menjadi tonggak baru dalam sejarah korporasi negara. Namun bila tidak, upaya “membersihkan” BUMN bisa kembali terjebak dalam siklus lama — penuh janji, minim perubahan.

Rekomendasi

Index

Berita Lainnya

Index