Kesehatan

Kebiasaan Minum dari Botol Plastik Tingkatkan Risiko Mikroplastik

Kebiasaan Minum dari Botol Plastik Tingkatkan Risiko Mikroplastik
Kebiasaan Minum dari Botol Plastik Tingkatkan Risiko Mikroplastik

JAKARTA - Minum air kemasan dari botol plastik sekali pakai tampaknya menjadi kebiasaan yang sulit dihindari. Praktis, mudah dibawa, dan selalu tersedia di mana pun. 

Namun, penelitian terbaru menunjukkan kebiasaan ini bisa membuat seseorang menelan dua kali lebih banyak mikroplastik dibandingkan mereka yang hanya mengonsumsi air keran.

Peneliti dari Universitas Concordia, Kanada, mengungkap bahwa rata-rata manusia menelan antara 39.000 hingga 52.000 partikel mikroplastik setiap tahun. Tetapi, bagi mereka yang gemar minum dari botol plastik, jumlahnya melonjak hingga sekitar 90.000 partikel setiap tahun.

Partikel Mikroplastik Lepas dari Botol

Menurut hasil studi yang dikutip dari New York Post, partikel mikroplastik dapat terlepas dari permukaan bagian dalam botol dan larut ke dalam air. Kondisi ini sering terjadi ketika botol ditekan, disimpan lama, atau terkena panas.

“Minum air dari botol plastik boleh-boleh saja dalam keadaan darurat, tetapi sebaiknya tidak digunakan dalam kehidupan sehari-hari,” jelas Sarah Sajedi, pakar manajemen lingkungan sekaligus penulis utama penelitian tersebut.

Kebiasaan ini menunjukkan bahwa mikroplastik telah menjadi bagian dari kehidupan modern yang sulit dihindari. Paparannya bisa terjadi setiap kali seseorang membuka tutup botol untuk meneguk air.

Air Kemasan Jadi Primadona, Risiko pun Meningkat

Popularitas air minum kemasan terus menanjak, terutama di Amerika Serikat. 

Data industri mencatat bahwa pada 2024, air kemasan menjadi minuman terlaris selama sembilan tahun berturut-turut, mengalahkan minuman bersoda dan jus buah. Sebanyak 16,2 miliar galon dikonsumsi masyarakat AS, naik dua persen dari tahun sebelumnya.

Meskipun data konsumsi air kemasan di Indonesia belum tersedia, kecenderungan masyarakat terhadap penggunaan botol plastik sekali pakai juga tinggi. Hal ini memperbesar peluang paparan mikroplastik secara terus-menerus.

“Pendidikan adalah tindakan terpenting yang dapat kita ambil,” kata Sajedi. “Masalah utamanya bukan toksisitas akut, tetapi toksisitas kronis yang berlangsung lama.”

Dampak Mikroplastik terhadap Tubuh Manusia

Para ilmuwan masih berusaha memahami sepenuhnya dampak mikroplastik terhadap kesehatan manusia. Namun, bukti yang ada menunjukkan bahwa partikel-partikel kecil ini tidak hanya lewat begitu saja dalam tubuh. 

Mikroplastik berukuran lebih kecil dari sebutir beras mampu menembus aliran darah dan terakumulasi di organ vital seperti jantung, paru-paru, hati, ginjal, hingga plasenta.

Lebih mengkhawatirkan lagi, penelitian menunjukkan bahwa partikel mikroplastik dapat menembus sawar darah-otak — sebuah batas alami yang biasanya sulit ditembus oleh zat asing. Ketika partikel ini menumpuk, mereka bisa memicu peradangan kronis, merusak sel, mengganggu hormon, dan mengacaukan keseimbangan mikrobiota usus.

Seruan untuk Industri dan Pemerintah

Hasil penelitian ini menjadi peringatan bagi produsen air kemasan dan pembuat kebijakan. Sarah Sajedi dan timnya menyerukan adanya pengujian standar untuk mengukur kadar mikroplastik dalam air kemasan serta regulasi yang lebih tegas untuk membatasi kontaminasi plastik.

Studi-studi awal pada hewan dan sel manusia telah menemukan kaitan antara paparan mikroplastik dengan penyakit serius, termasuk kanker, infertilitas, gangguan jantung, dan gangguan paru-paru. Walau bukti langsung pada manusia masih dikembangkan, temuan-temuan ini cukup untuk mendorong tindakan pencegahan.

Menanggapi kekhawatiran tersebut, Asosiasi Air Minum Dalam Kemasan Internasional menyampaikan bahwa air kemasan hanya salah satu dari ribuan produk yang menggunakan plastik. 

“Industri air minum dalam kemasan berkomitmen menyediakan produk hidrasi yang aman dan berkualitas tinggi,” ujar asosiasi itu dalam pernyataannya. Mereka juga mendukung riset lanjutan untuk memahami risiko mikroplastik dengan lebih baik.

Bali Jadi Contoh Nyata Pembatasan Plastik

Sementara itu, langkah nyata sudah dilakukan oleh Pemerintah Provinsi Bali. Melalui Surat Edaran Nomor 2 Tahun 2025, Bali resmi melarang penggunaan air minum kemasan plastik mulai 3 Februari 2025. Kebijakan ini merupakan implementasi dari Peraturan Gubernur Bali Nomor 97 Tahun 2018 tentang pembatasan sampah plastik sekali pakai.

Larangan tersebut berlaku di seluruh instansi pemerintahan, sekolah, hingga kegiatan pelatihan. Sebagai gantinya, masyarakat dan pegawai diimbau membawa botol minuman pribadi berbahan logam tahan karat atau plastik bebas BPA.

“Kebijakan ini bertujuan memastikan bahwa seluruh perangkat daerah, BUMD, serta sekolah di Bali benar-benar menerapkan pembatasan penggunaan plastik sekali pakai,” kata Sekretaris Daerah Bali, Dewa Made Indra, di Denpasar.

Edukasi dan Perubahan Perilaku Jadi Kunci

Para ahli menegaskan bahwa edukasi publik dan perubahan perilaku menjadi kunci untuk mengurangi paparan mikroplastik. 

Menggunakan botol isi ulang berbahan aman, menghindari paparan panas pada kemasan plastik, dan memilih air isi ulang dari dispenser dapat menjadi langkah sederhana yang berdampak besar.

Kebiasaan kecil seperti tidak meninggalkan botol plastik di dalam mobil saat cuaca panas pun dapat membantu mengurangi pelepasan partikel plastik. Upaya kolektif antara individu, industri, dan pemerintah sangat dibutuhkan agar konsumsi mikroplastik tidak terus meningkat dari tahun ke tahun.

Dengan meningkatnya kesadaran publik dan dukungan regulasi seperti di Bali, harapannya, masyarakat global dapat beralih pada kebiasaan yang lebih ramah lingkungan dan sehat—tanpa harus menelan lebih banyak mikroplastik di setiap tegukan air.

Rekomendasi

Index

Berita Lainnya

Index